APA ITU CINTA ? (sebuah cerpen)
Tiga Surat Cinta untuk Bunga
Cerpen Heru Kurniawan
1.
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis surat cinta untukmu sebanyak tiga buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku. Selanjutnya surat-surat ini akan kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca dan membuangnya kembali. Sampai berkali-kali. Sampai surat-suratku tak terbaca dan menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi kita bisa bersatu kembali.
Saat aku tulis surat yang pertama, aku niati bahwa aku akan melakukan sandiwara untuk diriku. Maka aku memutusmu. Aku katakan padamu; Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Bunga. Kau telah layu setelah setiap malam percintaan kita selalu diakhiri dengan basah rambut. Aku sudah cukup menikmatimu. Kau sudah cukup basah. Aku ingin yang kering seperti saat pertama kau kubuat menangis, meratapi kejadian yang tak pernah kau alami.
Surat yang pertama selanjutnya kutaruh di bangku reot, tempat di mana pertama kali kau menatapku dengan penuh kebencian. Aku ingat, saat itu airmatamu jatuh menimpa bangku reot itu. Bangku tua yang tersudut di taman alun-alun kota. Saat kutaruh surat Ini aku membayangkan orang yang menemukan suratku adalah anak-anak yang tengah mengisi hari sorenya dengan ibunya. Saat anak itu menemukan surat ini ia pasti akan bergembira, mengharap apa yang terisi di dalam amplop putih itu adalah uang. Anak itu akan berteriak, "Aku menemukan uang".
Ibunya akan merebut sambil berbohong, "Kau masih tidak boleh membuka amplop itu. Amplop ini isinya surat, bukan uang"
Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
"Isinya surat apa, Bu?" anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca suratku ini.
"Cinta"
"Apa itu cinta, Bu?"
"Kau belum boleh tahu, Nak."
"Kalau begitu apakah boleh aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!"
"Untuk apa?"
"Membuat pesawat kertas untuk mainan."
"Bagus itu, biar Ibu yang membuatkan."
Jadilah tulisan-tulisan cintaku menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu. Pesawat kertaS itu di lempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya terdampar di ranting pohon beringin.
"Sudah mari kita pulang, Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di sana. Biar hancur oleh hujan."
Aku terhenyak mengembangkan lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis surat cinta untukmu, Bunga. Ternyata perasaan cintaku tak bisa menaklukan orang lain. Padahal jelas, dalam surat yang pertama aku juga menulis alasanku untuk meninggalkanmu; Aku tak kuasa percintaan kita dilanjutkan. Kita ditakdirkan saudara, Bunga. Ayahmu ayahku juga. Lelaki bejat yang setelah menitipkan bibitnya kemudian pergi menghilang. Aku kaget saat mendapati foto ayahmu yang tak sengaja kau simpan di buku harianmu. Lelaki dalam foto itu sama dengan lelaki dalam foto keluargaku. Tapi entah di mana dia sekarang. Setelah aku menginjak bangku SD lelaki itu menghilang. Beruntung kau belum pernah berkunjung ke rumahku yang terpencil. Aku berharap, Bunga, semoga kau sampai saat ini belum mengetahui rahasia ini. Seandainya kau tahu, pasti kau tidak akan memaafkan dirimu sendiri. Sama seperti diriku saat ini, ingin sekali membunuh lelaki itu. Dan bila melihat diriku di cermin, rasanya aku ingin juga membunuh diriku sendiri.
2.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.
Setelah surat yang kedua ini kumasukan dalam amplop putih dan kutulis buat Bunga, sama seperti surat pertama. Tapi, pada suratku yang kedua aku sengaja memesang foto kita, sedangkan yang pertama tidak. Aku letakan surat itu di bawah pohon randu yang tinggi, rindang, dan menjulang. Ini tempat kenangan kita. Di tempat ini aku pertama merayumu, memujamu, sampai timbul hasratku untuk memperkosamu. Dan hampir saja terjadi, untunglah, ulah anak kecil yang suka iseng mengintip itu mengagetkan hasratku. Tapi, di tempat ini aku nyata merasakan dan menyaksikan keindahan tubuhmu. Aku tak akan melupakan itu, Bunga. Ternyata keindahan tubuh perempuan yang dicintai itu 1000 kali indahnya dari tubuh perempuan yang kadang kusaksikan dalam film porno. Pantas saja, berawal dari nonton film porno, anak-anak remaja akhirnya memperkosa pacarnya. Padahal mereka baru anak-anak SMA. Apalagi aku padamu, Bunga. Bisa kau bayangkan betapa bernafsunya aku pada tubuhmu yang seksi menarik itu.
Setelah aku letakan surat ini di bawah pohon randu, aku membayangkan anak kecil yang pernah menggagalkan niatku untuk memperkosamu akan menemukan surat ini.
"Ada surat, Kak," anak kecil itu berteriak pada kakaknya.
"Sini, biar aku yang membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca surat."
"Memangnya itu surat apa, Kak?"
"Ini pasti surat cinta."
"Surat cinta itu apa, Kak."
Lelaki berusia belasan tahun itu tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan cermat surat itu.
"Isinya apa, Kak?"
"Kau belum boleh mengerti."
"Tapi, itu foto siapa, Kak?"
"Kakak tidak tahu, apa kau mengenal orang ini."
Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
"Apakah kau mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya di bawah pohon ini, Kak. Tapi, aku tidak tahu mereka itu siapa."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."
Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Tapi, Kak. Boleh aku menjadikan surat ini sebagai perahu kertas."
Diberikannya surat itu pada adiknya. Kemudian anak kecil itu secepat kilat melipat-lipat kertas itu menjadi perahu. Dilabuhkannya perahu kertas itu beserta foto sepasang kekasih itu pada sungai yang deras mengalir.
"Hore…, perahunya melaju cepat," anak kecil itu berteriak girang tentunya.
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Pertanyaan anak kecil itu seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Bunga, betapa nasib percintaan kita ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu, Bunga. Aku tahu kalau kita sudah tidak bisa bersatu, tapi kenapa aku masih berharap keajaiban. Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan. Saat itu anganku akan menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, "Apa yang terjadi pada kita bukan takdir, Raka. Kita memang saudara, tapi cinta tak menghendaki persaudaraan kita. Haruskah kita menanggung salah dari lelaki yang telah jadi ayah kita! Tidak, Raka. Cinta kita lebih berharga dari bapak kita. Lebih mulia dari norma dan agama. Kau tahu itu, Raka… "
Tidak!!! Aku berteriak keras memecahkan malam yang mulai menjaring bumi. Aku tidak bisa, Bunga. Aku hanya akan memberimu doa, semoga kau tidak akan tahu dengan rahasia ini. Aku lebih baik dibenci olehmu daripada kau tahu rahasia kita yang pilu dan menjijikan.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas. Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil. Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah, surat terakhirku paling tidak akan berharga bagi orang yang menemukannya.
3.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh, Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan, Bunga.
Kau ingat tempat pertama kali kita bertemu, Bunga, sebuah halte yang saat langit mengurai airnya lewat hujan, kau dan aku sama sedang menunggu Bus Kota. Tapi dasar negeri kita amburadul, demo berkali-kali terjadi. Dan hari ini giliran para supir protes dengan kenaikan BBM yang ingin diikuti kenaikan tarif. Ah, celaka kita akibatnya, tersudut di halte dengan di kepung hujan yang amat deras. Hujan pertama yang mengakhiri musim kemarau.
"Maaf, di rambut Nona ada kotorannya, boleh kuambil," kataku.
Kau diam menyilahkan, dan aku mengambil kotoran itu. Sejak saat itu kita terlibat pembicaraan yang sengit dan jadi kita sering buat janjian di halte ini. Sampai kita sepakat untuk menjalin percintaan.
Bunga, suratku yang terakhir untukmu akan aku letakan di kursi halte yang telah menjadi saksi perjumpaan kita. Aku membayangkan kalau suratku yang terakhir ini akan ditemukan seorang pemulung. Oleh pemulung itu suratku akan disimpan karena sepanjang hidupnya ia baru menemukan kertas yang indah dengan tulisan yang indah. Ah, aku akan senang. Betapa ternyata ada yang terselamatkan dari miliku yang paling berharga. Surat cinta untukmu, Bunga.
"Kenapa kau tidak membuka surat itu, Pemulung? Bisa saja isinya uang kan," kawan si anak pemulung memprotes.
"Tidak. Aku yakin surat ini isinya soal cinta. Dan kata guruku, cinta itu berharga, lebih berharga dari dunia, maka aku harus menjaganya."
"Siapa gurumu itu pemulung?"
"Guruku sangat cantik, ia Ibu guru yang tengah gagal soal cinta."
"Harusnya kamu tak usah peduli kata-katanya."
"Tapi itu benar, karena aku juga sekarang tengah mengenal cinta"
"Dasar edan."
…
Bunga, aku tak bisa membayangkan percakapan si pemulung itu. Aku takut kalau Ibu gurunya yang cantik adalah kamu. Bukankah kau pernah bercerita padaku bahwa cita-cita tertinggimu adalah menjadi guru untuk para anak-anak terlantar.
4.
Pada suatu pagi sebuah surat kuterima dari tukang pos. Itu surat darimu, Bunga. Dalam suratmu yang singkat kau menulis, "Kenapa kau memperlakukanku seperti ini. Aku membencimu sepenuh hati?"
Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga…***
Nana Sarea
Cerpen Dina Oktaviani
Ketika lalat-lalat kerotot menghampiri pondoknya suatu pagi hari, Tuan Sarea telah berada di perbatasan antara kampungnya dan kampung Arah Barat, jauh dari ladang-ladangnya. Bersama Layantara ia menyusuri pohon-pohon kering terakhir yang menjadi bagian kampungnya yang berada di Tengah Pulau Besar.
Layantara seorang pemuda dari seorang kakek buyut yang merupakan perantau dari Timoor. Tubuhnya kecil dan kuat. Usianya sembilan belas tahun, dan baru sekali itu ia mengikuti perjalanan ke kampung-kampung suku lain untuk melakukan barter. Ia merasa tersanjung sekaligus waswas tanpa alasan menyadari dirinya melakukan perjalanan hanya bersama seorang lelaki, sebab menurut kebiasaan perjalanan jenis ini dilakukan oleh sekelompok lelaki yang berjumlah sebelas orang.
Sebagai pelatihan, dan ini merupakan kebiasaan, Layantara dilarang mengenakan pakaian tebal atau makan garam sepanjang perjalanan. Tuan Sarea sendiri dapat seenaknya mengenakan dan melepas rompi bulu di setiap bagian dari petualangannya.
Tuan Sarea berusia 45 tahun. Berdasarkan silsilah yang dikisahkan secara lisan dan turun-temurun, ia salah seorang keturunan paling asli dari penemu Pulau Besar. Setidaknya sampai seorang peneliti berani membuktikan bahwa silsilah penemu Pulau Besar telah ditutup sejak pembantaian dan pembakaran hutan beberapa ribu tahun yang lalu oleh penjajah. Tuan Sarea adalah seorang keturunan asli penemu Pulau Besar. Wataknya terkenal keras. Tak kenal ampun bagi pelanggar.
Tuan Sarea menyuruh Layantara menghafalkan setiap jenis burung, jenis siul dan ke arah mana terbangnya sepanjang perjalanan. Dan pemuda kecil itu mengikuti semua perintah dengan cermat dan tulus. Layantara tidak mempertanyakan perihal berbagai kebiasaan yang dilanggar mengenai perjalanan ini. Di antara banyak kebiasaan itu, melakukan perjalanan bukan setelah panen adalah yang paling mengherankan. Dan jika pun ia mempertanyakan hal itu, ia tidak akan menyimpan jawaban yang buruk.
Dalam pemahaman Layantara, hal ini amat wajar bila mengingat dirinya merupakan calon menantu Tuan Sarea. Setidak-tidaknya, hanya nama Layantara yang disebut-sebut seluruh penghuni Kampung Tengah jika mereka membicarakan putri semata wayang Tuan Sarea, Nana Sarea, tiga bulan terakhir.
Perihal jodoh-jodohan oleh para penghuni Kampung Tengah tersebut, Tuan Sarea menampakkan sikap paling dingin, cenderung sinis, seperti sikap semua ayah Suku Tengah terhadap calon menantu yang bekerja sebagai peladang di hutan-hutan yang dikelola Perusahaan Canggih. Namun tepat dan selama seminggu sebelum memulai perjalanan, yakni dua minggu yang lalu, Tuan Sarea bersikap lebih lunak terhadap para pemuda Kampung Tengah termasuk kepada Layantara, sampai akhirnya, tanpa merasa perlu memberi penjelasan panjang karena terlalu menyadari otoritasnya, Tuan Sarea membuat Layantara ikut melakukan perjalanan ke kampung-kampung lain untuk barter.
Hari itu Layantara tampak amat gembira, sehingga ketika melewati pancuran tempat Nana Sarea mencuci rambut dalam perjalanannya bersama rekan-rekannya dari salah satu hutan Perusahaan Canggih ke pondoknya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyikut lengan rekan-rekannya sambil memejamkan-pejamkan mata seperti sedang menahan rasa sakit.
Malamnya, malam sebelum berangkat, kakak sepupu Nana Sarea, Anggau Sarea, mendatangi pondok Layantara dan berbincang-bincang dengan ayah Layantara dalam bahasa tua Suku Tengah. Layantara, yang lebih banyak dididik dalam bahasa Timoor dan memahami bahasa Tengah dari pergaulan di luar, tidak dapat sepenuhnya mengerti percakapan itu. Tapi Layantara mendengar Anggau Sarea bersiul menirukan suara salah satu jenis burung di akhir percakapan sebelum kemudian berlari tergesa-gesa meninggalkan pondok dan Layantara mengerti maksudnya. Maka, keesokan harinya, sebelum matahari terbit, berangkatlah Layantara mengikuti Tuan Sarea yang menjemputnya mengunjungi kampung-kampung suku lain.
Di tengah perjalanan, yang dalam pikiran Layantara sekaligus merupakan perjalanan untuk saling mengenal antarcalon anggota keluarga itu, dengan nuansa bangga Tuan Sarea menceritakan kisah sungai Sarea yang ditemukan pada zaman penjajahan. Tanpa menyebut nama bangsa, Tuan Sarea mengisahkan orang-orang putih yang pertama-tama datang ke Pulau Besar. Orang-orang putih itu sering minta diantar oleh pribumi ke pedalaman-pedalaman dan mencari lubang-lubang emas. Anak-anak sungai yang belum dinamai, pada zaman itu dinamai oleh orang-orang putih. Nama yang biasa digunakan adalah nama pribumi yang mengantar orang-orang putih tersebut. Nenek moyang Sarea waktu itu merupakan pemberani yang berwibawa, sehingga orang-orang putih tidak berani meminta pertolongannya tanpa menawarkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan jajahannya.
Untuk memimpin suku yang terdiri atas kampung-kampung, nenek moyang Sarea telah menyelamatkan orang-orang putih dari buaya sepanjang lima belas meter di sebuah sungai yang amat besar yang belum dinamai dalam sebuah perjalanan menemukan tambang emas terbesar. Setelah peristiwa heroik itu, sungai tak bernama itu dinobatkan sebagai sungai Sarea. Sementara gigi-gigi sang buaya disimpan keluarga Sarea dan boleh ditukar hanya dengan nyawa.
Layantara memasang telinga dengan gaya amat hati-hati dan tegas --khawatir melewatkan satu jenis siul burung dan kisah-- sambil terus berjalan ke Arah Barat. Dalam sikapnya itu, terdapat pula nuansa bangga yang misterius. Nuansa bangga yang terpancar dari seseorang yang sedang merasa menjadi calon menantu seorang suku besar.
Tuan Sarea dan Layantara tiba di sebuah kampung suku lain di Arah Barat. Dari tas besar misterius yang diseret Tuan Sarea sepanjang perjalanan, Tuan Sarea mengeluarkan seperangkat gigi-gigi besar yang tajam dan menyerahkannya kepada Kepala Kampung. Dari sang Kepala Kampung, Tuan Sarea harus meminta gantinya, namun ia menyerahkan kekuasaan itu kepada Layantara. Dengan pertimbangan yang paling intuitif, Layantara meminta parang dan tikar rotan halus yang menjadi hasil karya paling sohor dari kampung Arah Barat. Mulanya Tuan Sarea tampak terkejut dengan pilihan Layantara, tapi kemudian tersenyum mendengar alasannya yang polos.
Keluar dari kampung tersebut, di sebuah rimba yang telah dilewati dalam perjalanan sebelumnya, Tuan Sarea mengajak Layantara berhenti dan berbicara, "Aku tidak bisa kembali ke kampungku. Aku telah muak dengan keadaannya dan orang-orangnya, dengan alamnya yang tak lagi subur. Sebagai keturunan Sarea yang jantan, tugaskulah menemukan ladang-ladang baru.
Namun jangan engkau hiraukan keluhanku. Engkau masih muda, punya pekerjaan pula, dan sedang jatuh cinta. Tak ada tugas yang berat bagi seorang perantau selain mendapatkan permata dari tanah barunya."
Setelah diam beberapa saat, Tuan Sarea mengajukan sebuah pertanyaan. "Hai pemuda keturunan Timoor yang pemberani, engkau telah menjadi penghuni Pulau Besar dan menikmati pohon-pohonnya, dan engkau yang telah memilih parang dan tikar rotan sebagai ganti dari gigi-gigi buayaku, apakah engkau akan terus mengembara bersamaku mencari ladang-ladang baru dan hidup mandiri atau kembali ke tanah di mana engkau dilahirkan dan menikmati kembali pohon-pohonnya?"
Layantara terdiam. Baginya, pertanyaan itu tidak bisa dijawab kecuali dengan mengabaikan rasa malu. Sebab jika ia memutuskan ikut mengembara, ia tahu betul itu berarti meninggalkan kekasihnya, Nana Sarea, menderita tanpa cinta dan perlindungannya. Dan jika ia memilih mendapatkan Nana Sarea, ia merasa dirinya amat pengecut di hadapan keturunan Sarea.
Akhirnya ia memilih kembali ke Kampung Tengah untuk menikahi Nana Sarea berdasarkan cara-cara agama Kahrangan yang dianut Suku Tengah. Tuan Sarea tersenyum dan menjabat tangan Layantara dan mengingatkan Layantara pada petunjuk burung-burung yang sejak awal ia minta untuk dipelajari dan hafalkan.
Sementara Layantara berjalan menuju Kampung Tengah, Tuan Sarea berbelok kembali ke Arah Barat dan menemui sepuluh orang lelaki keturunan Sarea. Sebelas orang itu kemudian berjalan terus ke dalam Arah Barat dan bertemu tenda-tenda kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari sebelas lelaki suku asli Tengah Pulau Besar.
Sesampai Layantara di kampungnya, yang ia temukan hanya pondok-pondok yang terbakar, lalat-lalat kerotot yang lapar, dan matahari siang berwarna semerah senja yang menelan cintanya sampai hangus.
Di hari pertama, Layantara menggelar tikar rotan halus dan menangis bisu di atasnya. Sementara itu, rombongan perempuan yang naik trailer rampokan dari Perusahaan Canggih tiba di pedalaman Arah Barat. Di antara rombongan yang baru datang itu, tampak seorang perempuan muda dengan kecantikan yang sulit direlatifkan, yang berkulit cokelat dengan mata sipit dan hidung mungil yang menantang. Para pemuda bersorak dengan suara yang dicekat, "Nana Sarea! Tak mungkin jadi istri peladang Canggih!"
Begitulah, di pagi hari kedua, Layantara menggorok sendiri lehernya dengan parang --konon karena musim telah berganti sehingga burung-burung berubah arah dan bunga-bunga tumbuh tidak pada tempatnya. ***
Mata Yang Melihat Cahaya
Cerpen Ganda Pekasih
Santer terdengar di kampung Salimin akan dibangun salah satu masjid terbesar di di dunia. Salimin mendengar dari tetangga-tetangganya yang bergunjing tentang masjid itu bahwa masjid itu nanti kubahnya saja akan berlapis emas,lampu lampunya terbuat dari kristal,pilar pilarnya dilapisi marmer terbaik dari negeri negeri Eropa. Arsitekturnya modern berkiblat Timur Tengah….
Salimin ragu, apa betul di kampungnya akan berdiri masjid sebesar itu,karena hampir setiap subuh saja dia tidak mendengar ada orang adzan di kampungnya.Dia tahu orang orang di kampungnya orang yang taat ibadah,mereka juga menjalankan lima waktu.
Tapi saat salat subuh justru mushollah yang didatanginya sering terkunci rapat, gelap, tak ada suara yang menggemakan adzan dan seruan-seruan kebesaran-Nya. Kalaupun suatu hari ada yang salat berjamaah, hanya beberapa gelintir orang saja yang hadir, itu pun mereka yang sudah tua-tua yang sebentar lagi menemui ajalnya.
Padahal yang pernah didengar Salimin dari seorang musafir yang datang memberi tausiah di mushollah kampung mereka beberapa waktu lalu, bahwa sempurnanya salat lima waktu seorang hamba itu bisa dilihat dari salat subuhnya, dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan di masjid. Jika salat subuhnya belang-belang, kadang salat kadang tidak, dipastikan waktu-waktu salat lainnya pastilah akan mudah tergantikan urusan remeh-temeh dunia.
Rasa penasaran Salimin membuatnya mampir ke mushollah sore hari sehabis-berjualan bersama-istrinya, disuruhnya istrinya pulang lebih dulu. Di halaman mushollah orang-orang tengah ramai membicarakan bahwa rumah-rumah mereka yang setengah permanen akan diberi ganti untung melebihi harga pasaran. Bahkan beberapa rumah yang dinilai letaknya strategis walau terbuat dari gedhek akan dibayar beberapa kali lipat.
Terdengar tawa-tawa gembira mereka yang ingin secepatnya membeli tanah di tempat lain untuk membuat usaha dan sebagainya. Kehadiran Salimin tak ada yang menggubris. Bahwa yang didengar Salimin kemudian ternyata rumahnya tak masuk dalam wilayah yang dibebaskan. Itu berarti Salimin nanti akan bertetangga dengan masjid terbesar di dunia itu.
Rumah Allah yang sangat megah dan indah, bangga dan haru dirasakan Salimin bahwa dia akan salat di masjid itu dan mengikuti pengajian bersama jamaah lainnya. Ya, siapa yang peduli dengan Salimin yang bertongkat lagi miskin. Yang kerjanya hanya berjualan rujak bersama istrinya yang kurus dan penyakitan, yang lebih sering memikul kembali pulang jualannya hingga membusuk di rumah karena tak ada yang membeli.
Selesai salat, depan mushollah yang dilewati Salimin terasa makin sepi, Salimin berjalan pulang hati-hati mengayun tongkatnya. Rumah Salimin setengah batako setengah gedhek bambu, atapnya terbuat dari seng, jika siang hari terasa panas sekali. Jika hujan akan terdengar suara bising memekakkan telinga, tapi lingkungan tempat tinggal Salimin tak pernah terkena banjir. Entah esok atau lusa.
Seperti perumahan di belakang mini market tempatnya berjualan, jika banjir besar datang, air bisa naik setinggi pinggang orang dewasa. Padahal sebelumnya perumahan itu tak pernah digenangan air kalau musim hujan tiba. Salimin tiba di rumahnya, bahan-bahan rujak tumbuknya baru saja diantarkan beberapa tetangganya, pisang batu, jambu kelutuk bahkan cabe rawit.
Semua bahan rujak tumbuk itu didapatnya gratis, tetangga-tetangganya berbaik hati memberi tanpa diminta karena di kebun-kebun mereka semua itu tumbuh subur, Salimin hanya tinggal membeli garam dan gula merah saja di pasar. Anak anak Salimin tidak bersekolah, mereka kurus dan kurang gizi. Tapi mereka anak anak yang normal dan lincah.
Salimin tak mempunyai biaya untuk memasukkan mereka ke sekolah, untuk makan saja mereka kekurangan. Kebutuhan pokok yang harganya terus naik tak sebanding dengan penghasilan Salimin. Sering Salimin mendengar perut anaknya berbunyi tanda lapar saat dia terbangun untuk bertahajud, sementara Salimin sendiripun juga merasakan hal yang sama, hanya karena Salimin rajin puasa senin kamis, lapar itu menjadi ringan baginya, tapi tidak dengan anak anaknya….
***
Tak diduga salimin, pembangunan masjid itu demikian cepat, Salimin kerepotan berjalan di tempat yang biasa dilewatinya walau dituntun sang istri, pikulan rujaknya makin hari makin berat pula dirasakannya. Rumah-rumah sederhana tetangganya, beberapa batang pohon jambu kelutuk, pisang batu, semua mulai diratakan dengan bolduzer. Hari itu mereka langsung berkemas.
“Kang Imin, kami akan pindah hari ini juga, maafkan kalau ada salah-salah kata ya, Kang.” Mpok Sodah kawan dekat istrinya yang setiap hari mampir ke rumah membeli rujak tumbuknya memeluk Salimin. “Aku juga mohon maaf, Mpok. Aku banyak merepotkan.” “Aku akan sering sering melihat anak-anak dan istrimu nanti.”
“Trima kasih Mpok….” Lalu beberapa tetangga Salimin berkerumun, mereka menitipkan tanah kelahiran mereka, beberapa yang lainnya berjanji akan datang untuk ziarah dan mengikuti pengajian jika masjid telah selesai dibangun. Beberapa kuburan leluhur mereka sengaja dibiarkan tertanam di bawah tanah yang diratakan, mereka tak mau membawa serta tulang belulang itu karena di atasnya toh akan berdiri masjid yang megah, bukan tempat-tempat maksiat. Salimin meneruskan perjalanan memikul jualannya, orang orang lalu tak peduli, sibuk dengan urusan mereka masing masing.
***
Tersirat di hati Salimin seandainya rumahnya juga terkena pembangunan masjid itu, mungkin dia tak lagi berjualan rujak, dia akan membuka warung kecil-kecilan saja, diam di rumah, tinggal menunggu orang menitipkan jualan mereka dan mengambil keuntungan sekadarnya.Tapi kemudian bayangan masjid besar itu memenuhi penglihatannya yang gelap. Masjid yang sangat megah dan indah. Berkubah berkilauan menantang matahari…. Bertetangga dengan masjid itu tentu menjadi orang yang sangat beruntung pikir Salimin.
Dia tak akan pernah ketinggalan shalat subuh berjamaah, dimana saat orang-orang lelap tertidur, atau saat orang-orang terbangun sekejap karena diganggu panggilan adzan dia sudah ada di masjid menegakkan agama Allah. Dialah orang yang sangat beruntung itu….
Dia akan bisa memenuhi panggilan agung itu setiap waktu fardhu lainnya serta sunat-sunatnya, tak ada lagi mushollah yang terkunci rapat dan gelap tak bersuara kecuali serangga. Setiap langkah kakinya dari rumah ke masjid dihitung pahalanya, tubuhnya di akherat kelak akan bercahaya, semua doanya diijabah….
Membayangkan semua itu, Salimin merasa Masjid itu adalah anugrah terindah Allah baginya, ia merasa begitu disayang Allah, Allah masih memberinya kesempatan melihat perubahan yang tak pernah dibayangkan oleh semua orang di kampungnya, bahwa salah satu masjid terbesar di dunia sebentar lagi akan berdiri dan menjadi tetangganya, yang kubahnya saja katanya dilapisi emas murni 24 karat, lampu-lampunya terbuat dari kristal yang berkilauan cahaya. Pilar-pilarnya tinggi menjulang dilapisi marmer terbaik dari negeri-negeri yang tak pernah dibayangkan Salimin kemegahannya.
***
Masjid itu kini sudah selesai dibangun, kubahnya tinggi menjulang menantang matahari, kuning berkilau megah karena terbuat dari emas murni, bukan sampah emas atau sepuhan belaka. Terdengar orang-orang ramai berdatangan dari segala penjuru untuk salat, mengikuti pengajian atau sekadar melihat-lihat saja. Salimin ikut menikmati kemeriahan itu dengan bangga, tercium wangi yang tak pernah dirasakannya saat berpapasan dengan para jemaah yang datang dari segala penjuru kota.
Hari ini Salimin menanti adzan subuh pertama berkumandang di masjid itu, sebelumnya dia sudah menjalankan salat tahajud sambil mendengarkan bunyi perut anak anaknya yang lapar seperti hari-hari kemarin. Salimin pelan-pelan membangunkan istrinya, mengecup kening anak-anaknya yang lelap dibuai mimpi, tapi dia tak ingin membangunkan anak-anaknya untuk ikut salat karena itu akan menyiksa mereka. Mereka lebih baik tidur dari pada menahan lapar di pagi buta.
Salimin dan istrinya mulai meninggalkan rumahnya menuju Masjid yang sinar lampu-lampu di seantero halamannya terasa hangat di kulitnya mengalahkan udara subuh yang berhembus lembut. Embun di selasar-selasar dan pintu gerbangnya yang luas dengan bunga-bunga yang tumbuh di antara rerumputan terasa dingin, tetes-tetes embunnya membasahi ujung jari kaki mereka.
Di dalam Masjid yang megah itu, seusai adzan shubuh, Salimin salat dan menitikkan air mata bangga akan kebesaran-Nya, hingga dia bertanya dalam hati, siapa yang membangun masjid ini, dan kalau ada yang memilikinya, siapa dan seperti apa rupa wajahnya. Bahwa dia kini tengah salat berjamaah di masjid yang membuatnya lelah berjalan dari rumahnya, pantaslah kalau masjid ini salah satu yang terbesar di dunia.
Kemudian doanya kepada Allah agar dia bisa dapat melihat keindahan Masjid di dekat rumahnya ini yang selalu jadi bahan perbincangan di mana mana, terutama kubahnya yang berlapis emas itu, tapi sayangnya dia tak memiliki mata itu….
Salimin sudah lama sangat ingin melihat keindahan Masjid di dekat rumahnya saat mulai pertama dibangun dulu, tidak hanya bisa mencium dingin lantainya. saat sujud atau merasakan angin yang berputar di antara pilar-pilar raksasa berlapis granit yang lampu-lampu kristalnya berkilauan cahaya saat dia shalat kini.Telah jadi Ketentuan baginya memiliki mata yang tak bisa melihat, dan itu sangat disesalinya kini, Tapi kemudian dia cepat beristigfar berkali kali mohon ampun.
Yang dirasakannya bahwa Allah hari ini sangat dekat dengannya, lebih dekat dari jantung dengan detak dalam dadanya. Allah tak beranjak mendengar untaian doa, dzikir dan tasbihnya hingga terbit pajar. Bening air matanya berjatuhan dari kedua bola matanya. Usai salat, Salimin dituntun istrinya keluar dari Masjid. Salimin mengetuk-ngetukkan tongkat penunjuk jalannya ke lantai Masjid dengan hati-hati karena takut ujung tongkatnya yang tajam akan melukai lantai marmer yang dilaluinya.
Tiba di selasar yang panjang ratusan meter sebelum mengambil jalan menuju rumahnya, Salimin dan istrinya dikejutkan dengan kehadiran anak-anak mereka yang menjemput, tak pernah terdengar suara mereka segembira pagi ini. Mereka lalu berebut menanyakan adakah kue-kue atau nasi dalam kotak untuk mereka seperti yang biasa di bawa Salimin sehabis menghadiri acara sukuran.
Salimin hanya bisa mengelus kepala anak-anaknya sebelum senyum mereka redup, dan tiba- tiba dia seperti bisa melihat senyum dan bola-bola mata bening di wajah-wajah mereka bersama terbit fajar tanda kebesaran-Nya. Bola-bola mata itu sangat bercahaya. Tapi Masjid memang tak menyediakan makanan, dia hanya tempat zikir dan berdoa.
Salimin segera mengajak anak anaknya pulang, fajar mengiringi langkah langkah kaki kurus mereka sebelum kemudian langit berubah mendung. Dengan rasa malu kubah-kubah emas yang berkilauan segera menyembunyikan cahayanya hingga jauh ke balik awan.
***
Bawah Rembulan
Cerpen F. Moses
AWALNYA aku takut. Lama-lama jadi terbiasa. Hidup bersama orang-orang masa lalu di kota ini. Tanpa siang. Semua waktu adalah malam. Kadang hadir sebuah rembulan di langit. Membuatku senantiasa merasa sunyi walaupun sebenarnya aku suka sekali melihat rembulan. Malam rembulan.
Seorang penduduk, salah satu dari orang-orang masa lalu, pernah berkata padaku, kalau sebenarnya mereka letih untuk kembali bekerja ketika siang hari. Karena itulah mereka berkeputusan membakar siang. Membakar matahari.
Memang sudah lama aku mendengar kala waktu-yang katanya tanpa siang di kota ini. Siang sudah tak ada lagi. Siang telah menjadi malam. Kadang mereka juga kerap berpetuah pada pendatang yang kebingungan kerena menetap di kota yang selalu malam. Dalam ingatan, selintas petuah mereka terdengar. kau tak perlu ragu, jika hendak menetap di kota ini. Kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Jangan pernah ragu.
Ya. Selalu terngiang. Lantas, aku kembali berpikir, kenapa cemas? Cemas bagian sisi manusia. Kerap menghancurkan.
Tentang cemas, bagi orang-orang masa lalu hanyalah milik orang tak punya rasa syukur. Makanya, dahulu orang-orang masa lalu sepakat membakar matahari yang baginya membuat letih dan cemas. Terkadang sakit. Entah sakit yang bagaimana. Karena terbit sampai tenggelam matahari hanya menjadikannya bekerja. Alasan cengeng. Tapi sekarang mereka senang, petanda separuh hari telah mereka bakar. Semata, supaya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, paling hanya untuk tidur. Tindakan aneh. Tidak masuk akal, tapi begitulah kedaannya. Begitulah seterusnya.
Di hari yang selalu malam ini, terkadang aku melihat anak-anak kecil tampak riang bergembira tanpa beban. Betis ceking tanpa alas kaki, sambil bertelanjang dada, berlarian mengitari lapangan. Kembali lagi, dalam ingatanku, konon hal tersebut bagi mereka adalah ritual. Petanda bentuk penghormatan terhadap leluhur orang-orang masa lalu. Setiap hari mereka lakukan itu, sambil mengitari api unggun, mulai anak-anak sampai orang tua. Berkeliling. Begitulah seterusnya.
Sekali lagi, setiap hari malam rembulan. Dalam tatapan aku selalu melihat anak-anak berlarian. Saling kejar-kejaran. Dan remaja berpasang-pasangan, para orang tua asyik duduk tenang di setiap balkon depan rumahnya. Mereka menikmati malam. Malam bersahaja. Malam tak pernah mati.
Dalam sepanjang malam seperti ini, aku menikmati. Malam rembulan. Aku ingin mengerti semua ini. Aku tidak tahu, mengapa sedemikian berani mereka membakar siang. Aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu. Menggelisahkan.
***
Sungguh unik kehidupan di kota ini. Semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Barangkali inilah suatu kehidupan yang tak pernah ada di muka bumi ini. Kota tanpa siang. Selalu malam. Tanpa matahari.
Seperti tadi aku bilang, sekali lagi, semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Kecuali, perempuan itu. Sering aku memperhatikannya menyendiri. Sebenarnya hal itu kuperhatikan sejak pertama kali di kota ini. Aku tidak tahu namanya. Kerap aku memperhatikan, setiap gelagatnya jauh seperti perempuan umumnya yang selalu mampu menikmati malam. Tapi, sepertinya ia justru ternikmati sebagai suatu kesunyian. Bermain sunyi. Barangkali.
Suatu ketika, aku memandangnya dari kejauhan. Ia jauh dari keramaian umumnya. Dengan langkah amat perlahan aku mendekatinya. Aku mendengar isak tangis perempuan itu. Sekali lagi, kembali aku tak tahu. Entah kenapa ia menangis. Aku pun ragu untuk lebih mendekat. Hanya bertanya dalam hati. Menduga-duga.
Dugaan salah. Di malam rembulan ini, yang tanpa siang, masih ada perempuan menangis. Menangis setiap saat. Sepengetahuanku, sejak kota ini menjadi malam tanpa siang, sungguh penuh suka cita. Tanpa duka. Terlebih oleh perempuan tengah menangisi kota ini. Kotanya sendiri. Sekali lagi, aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu, selain keingintahuanku tentang mengapa sedemikian berani orang-orang di kota ini membakar siang. Membakar matahari.
Suasana aku nikmati menjadi begitu sunyi. Sunyi di balik derai tawa semua orang. Sunyi karena perempuan menangis. Menjadikan bukit-bukit tidak lagi tawarkan keindahan dari bayang-bayang selimut malam. Apalagi pagi, ketika embun membayang-bayangi bukit di tampak kejauhan. Laut juga tidak membawa debur ombak lagi. Apalagi ombak saling balap. Yang tersisa hanya gelap. Bermahkota bulan. Malam rembulan.
Kini aku benar-benar mendekati perempuan itu. Di belakangnya. Rupanya ia tahu. Tanpa kusadari, ia menangis sambil berkata-kata. Kata bersama isaknya yang terbata-bata. Sekarang aku benar-benar mendengarnya. Suatu hal paling aku inginkan.
Seketika itu pula kudengar ia berkata. Sambil terisak-isak. Menjadikannya terdengar terputus-putus.
"Inikah kotaku? Kota hancur. Mati. Orang-orang serakah. Matahari sudah mereka hancurkan. Matahari sudah tak milik kota ini lagi. Hancur. Langit tak punya salah. Langit kehilangan mataharinya. Kota ini tak bercahaya lagi. Semua mata pada gelap! Barangkali pikirannya pun demikian."
Aku tak mengerti. Ucapnya bercampur isak begitu menampakkan emosi batinnya terasa olehku. Terputus-putus. Sebisa mungkin aku merasakannya. Aku diam. Aku biarkan sampai ia berkata-kata kembali. Cukup lama aku menunggu. Kembali terlihat olehku, ia tampak sibuk memainkan jemarinya. Mengelus-elus putih kuku kerasnya. Memijat tangan lembutnya sendiri. Rasanya seperti menghitung-hitung irama kegelisahannya. Gundah. Rasanya banyak pula ingin dikatakannya. Kata kesal. Barangkali sesal.
Aku pun memulainya. Setidaknya ia kembali untuk berkata-kata lagi. Aku mendengar kata-katanya kembali. Tidak jelas. Sekuat tenaga, aku berusaha menangkap maksudnya. Sekuat tenaga, aku ingin mengerti kegelisahan mendaging dari miliknya. Rasanya. Ucap kesal dan sesal terdengar banyak. Sulit aku mengungkapkannya. Ungkapan mengalir dan seterusnya. Begitulah.
***
Aku kembali ke rumah. Melintasi jalan-jalan sepi. Lengang. Sembari masih teringat perempuan itu. Oh, kehidupan malam. Malam rembulan. Kau membuat aku selalu bertanya-tanya. Entah kehidupan macam apa ini. Mengapa sedemikian nekat orang-orang kota ini membakar siang. Membakar matahari.
Dalam pikiran, barangkali khayalan dalam angan, terlintas. Aku dan kekasihku masih berjauhan. Jarak jauh. Jarak terpisah oleh lautan. Bahkan pulau. Aku di sini, seperti aku bilang tadi, di pulau pada kota tak tanpa matahari. Siang mati. Sudahlah, aku hanya bayang. Seperti bayang dari wujud cahaya rembulan. Berpendar. Dari bulan tersiram matahari di pulau sana. Aku tak tahu. Di sini masih dan akan terus tanpa matahari. Malam selamanya. Sudahlah, sepertinya jadi makin mengigau sepanjang perjalanan ini. Gelap. Lengang. Selalu dan masih di bawah rembulan.
***
Seperti tak tersadar. Entah kemana aku melangkahkan kaki ini. Terus berjalan. Di bawah rembulan mengitari kota ini. Seperti kukatakan tadi, kehidupan orang-orang di sini seperti lebih bercahaya. Entah cahaya bagaimana. Bahkan cahaya apa. Dari pancaran mata orang-orang di sini tak menampakkan sebuah beban. Beban kosong. Kelamaan terkesan tak berpengharapan.
Seketika, kembali aku jumpai perempuan itu. Di pertigaan jalan itu. Seperti ada sesuatu ditunggunya. Tampak berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Tampak anggun. Di bawah sinar rembulan, tampak cahaya menyepuh seluruh tubuhnya. Tak seperti aku lihat sebelumnya. Meskipun demikian, auranya masih menggelisahkan. Ia masih menangis. Entah ke berapa kalinya. Entah karena apa lagi.
Kembali perlahan, aku mendekatinya. Amat perlahan. Entah kegelisahan apalagi darinya. Yang kutahu, sejak pertama memang cukup banyak seolah ia gelisahkan. Aku sudah mendekat. Ia tampak menangis. Seperti kala waktu aku menjumpainya.
Kali ini aku ingin berkata padanya, tapi tak dapat. Kecuali dalam hati. Entah kegelisahan apalagi kau punya. Padahal ingin banyak berkata-kata padanya. Ingin tahu, kesal maupun sesalnya.
Cukup lama aku menunggunya. Penasaran. Mungkin aku harus memulainya. Semata, memancingnya bicara.
Inilah kesekian kalinya kulihat kau menangis lagi. Entah duka apa kau punya.
"Malam tak ada lagi. Sungguh jahanam. Aku kehilangan segalanya dari orang-orang serakah yang telah membakar matahari."
Aku masih tak mengerti maksud bicaranya. Aku hanya melihat ia menangis kembali. Terisak-isak. Entah kepada siapa pula ia tujukan kata-kata itu. Entah apa yang mengganggunya.
Tiba-tiba ia kembali berkata."Aku merindukan lelakiku dan matahariku. Semua di sini pada puas. Kepuasan mematikan kehidupan siang. Orang-orang di sini hanya ingin enaknya saja. Selalu menikmati malam. Menghalalkan haram. Mengharamkan halal. Lelakiku terbunuh karena memertahankan siang. Sekarang hanya malam. Malam di kota penuh kejahatan. Aku merindukan terang."
Dengan langkah amat perlahan aku meninggalkannya. Tampak olehku dari kejauhan, ia masih berbicara seorang diri. Sambil sesekali terisak-isak. Aku kembali berjalan. Entah ke mana. Tidak ingin pulang ke rumah.
Ada sepi dan ramai. Kembali aku melintasi orang-orang menikmati malam bawah rembulan. Anak-anak masih tak letih berlarian. Penduduk kota masih dengan nikmatnya. Entah nikmat yang bagaimana. Semua tampak tanpa beban. Tempaan angin dari arah teluk cukup membuat dingin. Di kota selalu malam aku masih terus bertanya dalam hati. Kegilaan apa yang menjadikan mereka nekat membakar matahari.
Setiap hari, di malam bawah rembulan. Aku masih melewati ruas-ruas jalan di kota ini. Kota pekat. Kota nekat. Setibanya di pertigaan jalan itu, di sudut tembok, aku kembali melihat perempuan tengah menangis. Seorang diri. Kali ini bukan yang tadi kujumpai. Rasanya tak perlu lagi aku dekati. Hanya dalam hati: Entah kesedihan apalagi yang kau punya.
***
Teluk betung, November 2007
Rumah Warisan
Cerpen Yonathan Rahardjo
Kematian perempuan tua itu membangunkan duka. Terik matahari, yang membuat penduduk malas keluar rumah, tak sanggup menahan hati menuju gelap, ditutupi mendung kesedihan. Menantu perempuan tua itu, yang pertama kali menjumpai kematian sang perempuan tua, menjerit pilu.
Tangis janda anak kedua almarhumah itu mengundang cucu-cucu dan keponakan serta tetangga-tetangganya untuk datang. Kabar duka pun menyebar dari mulut ke mulut, memagnet anak-anak jenazah untuk segera berdatangan. Keluarga besar anak pertama, anak ketiga dan anak kelima, melengkapi anak cucu terdekat, menyatu dengan saudara dekat, tetangga-tetangga dan semua pelayat.
Suasana perkabungan bergulir dari satu acara ke acara lain, ditangani mereka yang ada. Sedang anak keempat beserta keluarganya dalam perjalanan dari luar kota.
"Catur sebentar lagi tiba."
"Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan.
"Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."
Banjir air mata terus mengalir merata pada diri para anak perempuan tua itu. "Emak menyusul Bapak dan Mas Dwi."
"Kita segera berangkat begitu Catur datang."
Keberangkatan jenazah pun dipastikan ketika dari ujung gang terdengar raung tangis Catur, anak lelaki keempat. Catur berjalan limbung, dipapah oleh istri dan anak-anaknya.
Prosesi harus berkejaran dengan perginya siang. Secepat langkah iring-iringan pengantar jenazah, secepat itu pula pemakaman yang diiringi nyanyian duka pengantar kepergian sang perempuan ke pemakamannya. Baru esok harinya si bungsu, anak perempuan almarhumah, Ragil, tiba, setelah menempuh perjalanan sepanjang Pulau Jawa. Yang menyambut adalah ketiadaan orang tersayang. Saudara-saudaranya tidak mungkin berdusta dengan suasana perkabungan yang begitu jelas. Meski, mereka membiarkannya membuka kain pintu kamar emaknya dan di situ tidak ia jumpai perempuan tua itu di atas pembaringannya.
Tangis kembali memecah hari. Wajah-wajah sedih kembali dibanjiri air mata duka, tidak mampu menahan diri sekaligus mencegah luapan duka cita anak bungsu yang baru tiba.
"Mengapa kalian membohongiku? Emak sudah dikubur! Aku tak boleh memberi penghormatan terakhir padanya?"
"Ragil, jangan salah paham. Sekarang kami antar ke makam Emak."
Di tanah kuburan yang masih basah, perempuan muda itu pingsan. Tangan-tangan saudara-saudaranya mencegahnya tersungkur mencium tanah bertabur bunga yang belum kering.
"Anakku, Emak sudah tenang di sini. Emak sudah bertemu dengan Bapakmu."
"Emak, mengapa lebih sayang Bapak daripada aku, anak kesayanganmu?"
"Sayangku pada Bapakmu sebesar sayangku padamu, anakku."
"Mengapa tidak menungguku datang agar aku mencium Emak sebelum Emak bertemu Bapak?"
"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang."
"Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya, diiringi doa-doa penghiburan, dan baru dimakamkan esok harinya, ketika aku sudah pasti tiba?"
"Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal."
Diiring senyum ibunya yang sangat ia kenal, perempuan muda itu tersilaukan oleh cahaya yang begitu terang. Ragil melihat ibunya tak setua yang ia kenal, bergandeng tangan dengan lelaki muda yang rasanya sangat ia kenal.
"Bapak...!"
Ragil, perempuan muda itu, tiba-tiba sadar. Saudara-saudaranya memandangnya dengan penuh rasa heran.
"Adik bungsu, mari kita pulang. Biarkan Emak tenang bersama Bapak dan Mas Dwi di rumah baru ini," ajak saudara-saudaranya ketika Ragil siuman.
"Mas Dwi? Aku tadi tidak berjumpa dengan Mas Dwi. Aku hanya berjumpa dengan Emak dan Bapak."
Saudara-saudara lelaki, kakak-kakak dari anak bungsu itu, terhenyak.
"Mengapa hanya Emak dan Bapak? Mengapa tidak bersama Dwi?"
Perjalanan pulang dari makam digelayuti pikiran-pikiran kusut, suasana duka diracuni hati cemburu.
"Jangan-jangan Emak dan Bapak tidak sayang pada Dwi," pikir si sulung Eko tentang hubungan adik kandungnya dengan kedua orang tuanya yang sama-sama sudah tinggal nama.
"Jangan-jangan Emak dan Bapak juga tidak sayang padaku seperti tidak sayangnya mereka kepada Dwi," pikir Tri, anak ketiga.
"Jangan-jangan.... Ah, biarlah," pikiran gundah tapi pasrah mendera anak ke empat, Catur.
"Wajar kalau Emak paling sayang pada Ragil. Sebab, ia anak bungsu dan satu-satunya perempuan," anak lelaki kelima, Ponco, punya pikiran sendiri.
Bagaimanapun, mereka, empat anak lelaki dan satu perempuan yang masih hidup, bersama istri, suami dan janda anak kedua, beserta semua anak mereka, tak dapat menghindar dari suasana duka. Tidak ada lagi orang tua yang melahirkan dan membesarkan mereka.
Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orang tua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi, mengapa harus ada perasaan aneh ini?
"Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam," tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras.
"Apa maksudmu, Tri?"
"Kita masih dalam suasana duka!"
"Ya, kita memang berduka. Tapi, kita semua adalah anak-anak Emak dan Bapak."
"Maksudmu?"
"Emak dan Bapak pasti sayang kita semua. Karena sayang kita, pasti Emak dan Bapak mau anaknya yang paling mampu menukar rumah ini dengan harga tertinggi untuk menggantikan hak semua anaknya."
"Berhenti!"
"Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini." "Tutup mulutmu, Tri! Soal ini kita bicarakan sesudah seribu hari meninggalnya Emak!"
"Sudah! Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan bungsu mereka, menampar setiap mulut untuk langsung terdiam.
"Tanah kuburan Emak masih basah, kalian sudah ngomong soal warisan."
"Ragil, aku tahu, kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi perempuan pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jagal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi, kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis. Menghidupi keluarga saja kembang-kempis. Apalagi mau membahagiakan Emak yang baru saja menyusul Bapak. Mana bisa?"
Tidak ada upaya menghentikan celoteh lelaki anak ketiga dari enam bersaudara dan tinggal hidup lima orang itu. Si bungsu diam. Bahkan suaminya yang sedari tadi hanya menjadi penonton 'pergulatan' lima bersaudara itu hanya diam dan menenangkan istrinya dengan meremas telapak tangannya.
Sejak saat itu, sekembali ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan Ponco, tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
"Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan...," celoteh meraka.
***
Anggang dari Laut
Cerpen Pinto Anugrah
"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!"
Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.
"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke samudra manapun."
Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan naik dari kapal-kapal.
"Apa yang kau lamunkan, Bujang?"
Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.
"Saya hendak sangat berlayar."
Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. "Ke mana kau akan berlayar, Bujang?"
"Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa."
"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?"
Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu."
"Apa yang hendak kau tanyakan?"
"Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?"
Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal rasa heranku.
Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat.
Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?"
Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!"
Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang."
"Aku anak Anggang!"
Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat.
"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai."
Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku.
Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!"
***
Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. "Asin," umpatku, "Seasin air laut..."
Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.
Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, "tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia menghilang di antara kerumunan orang yang menonton.
Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan mata.
"Kau dari mana?"
"Siak!"
Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar kelam.
***
"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!"
Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya.
"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang yang kau sebutkan tadi."
Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini."
Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa.
"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka kau bebas!"
"Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat.
Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar kapal ke hadapanku.
"Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!"
Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan berusaha membacanya satu persatu.
"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.
Ia langsung tercenung, semua tercenung.
"Inuk?"
"Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?"
"Kita tidak bisa masuk ke dalamnya."
"Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu."
"Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar."
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun."
Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku.
"Budak ini mencoba menipu kita!"
Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana mungkin, aku menepis pikiran itu.
Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka.
"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita."
"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya."
***
"Bangun! Bangunlah, Anakku!"
"Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?"
"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku."
"Di mana? Di mana kau, Ayah?"
"Ada di hatimu."
"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung."
"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan pesisiran."
"Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?"
"Ya, bentuk lain dari penyamaranku."
"Di mana aku saat ini?"
"Ada dalam dirimu."
"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?"
"Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?"
"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu."
"Laut telah mengikatku!"
"Ayah!"
"Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!"
"Ayah!"
"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!"
"Ayah!"
"Salamku untuk ibumu!"
"Ayah!"
"Bangun! Bangunlah, anakku!
"Oh, di mana aku?"
"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja."
"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!"
"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi."
"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?"
"Kau bicara apa?"
"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?"
"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!"
"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?"
"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!"
"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"
***
Kandangpadati, 0705 – 09
Sebotol Mineral
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
PEREMPUAN paruh usia bertutup kepala itu cepat sekali lenyap. Seperti ditelan remang senja. Seteleh mengucapkan terima kasih atas sebotol minertal untuk bernuka puasa. Mas Tohari berkali-kali keluar rumah makan, ingin mencari ibu itu. Tetapi, tak juga dilihatnya bayang-bayang ibu itu sedikit pun. Mas Tohari tampak gelisah, seperti menyesali diri.
"Ibu itu mungkin sudah jauh," kata Halim. Mereka baru tersadar setelah mas Tohari berkali-kali mendongakkan kepalanya keluar pintu, mencari ibu paruh usia yang berpakaian agak kumuh-betutup kela sejenis selendang digulung menyembunyikan rambutnya.
"Kukiran masih dekat. Mungkin ia masuk gang," ujar mas Tohari. Ia hendak mengajak Halim, teman kami yang lain. "Kau ikut aku, Lim, siapa tahu ibu tadi belum jauh. Siapa tahu mengaso di gang sebelah."
Halim beringsut dari kursi. Hidangan untuk berbuka puasa sudah disajikan. Di Ubud ini hanya sedikit mereka menemukan rumah makan yang bisa menyelerakan lidah: masakan Padang. Dan, dari sedikit itu hanya rumah makan ini paling tepat dengan lidah mereka. Itu sebabnya, untuk sahur dan berbuka puasa, rumah makan ini menjadi pilihan.
Semula mas Tohari dan Wira tak tahu rumah makan yang mampu menggairahkan lidah. Untunglah Halim yang kebetulan menyewa sepeda motor mengeliling setiap liku Ubud, dan dapatlah rumah makan khas Minang ini. Sejak itu-selama 5 hari di Ubud dalam rangka mengikuti suatu kegiatan internasional-mereka ketagihan mampir ke rumah makan sebelah Timur kota Ubud ini.
Dan, senja tadi seorang ibu paruh usia muncul di depan pintu. Ia ingin membeli sebotol mineral ukuran besar degan memberi uang Rp5 ribu. Tentu saja, penjual yang hanya pegawai tak memberi karena uang ibu tidak cukup. Mas Tohari segera meminta pedagang itu agar memberikan sebotol mineral itu pada ibu. "Ambillah, ibu. Saya yang bayar," kata mas Tohari.
"Alhamudillah. Terima kasih, uang ini untuk jajan buka puasa saya hari ini," kata ibu itu segera berlalu. Begitu cepat. Sebab hanya beberapa detik dari kepergiannya, mereka tersadar kalau ibu itu tak saja membutuhkan sebotol mineral untuk menghilangkan dahaganya, melainkan ia amat memerlukan uang-setidaknya-untuk membeli makanan untuk berbuka puasa.
"Ya Allah, kita sudah menganiaya diri kita," keluh mas Tohari. Usia Mas Tohari tertua di antara mereka. Ia juga dikenal sebagai ustad dan pemilik sekolah Islam di kotanya. Mas Tohari adalah, ah, tak perlulah kusebut profesinya yang lain yang konon cukup banyak itu.
Tapi, kali ini ia merasa terlecehkan. Rasa peduli sesama manusia kini teruji. Ia menyadari uang untuk membayar sebotol mineral buat ibu untuk bebruka puasa tiada nilanya, dengan uang yang dimilikinya di saku. Selama ini aku menggembor-gemborkan bahwa mencintai Tuhan sama artinya mengasihi orang-orang telantar, miskin, dan papa. Ia menggumam.
Yang lain hanya memandangnya kosong.
Mas Tohari seperti tak sedap duduk. Seperti ada paku yang menancap di kursinya. Ia gelisah sekali. Ia menyadari iblis yang teramat kikir sudah memengaruhi rasa kesetiaannya pada sesama. Mengapa tadi ia tak sekalian memberikan uang barang Rp50 ribu atau Rp100 ribu, toh tak akan menumpaskan isi sakunya? Seharusnya aku tadi segera memberi uang padanya. Tapi, kenapa tak jadi? Ia menggumam lagi. Menyesal sekali.
"Sudahlah, mas, mungkin rezeki ibu itu bukan di sini, bukan dari kita," Dendi berujar. Ia lalu mempersilahkan mas Tohari untuk menyantap. Hidangan sudah tersaji. Waktu berbuka sudah tiba. Bersegera memecahkan puasa adalah wajib. Namun mas Tohari tak lagi berselera mencecap sajian. Hanya membasahi tenggorokannya dengan seteguk air, kemudian keluar, setelah ia memberi uang Rp 100 ribu kepada Wira untuk membayar pada pemilik warung. Ia juga mengingatkan teman-temannya supaya jangan lupa membayar sebotol mineral untuk ibu paru usia tadi.
Mas Tohari kemudian mencari ibu paruh usia yang seakan lesap dalam keremangan maghrib. Sendiri.
Ia susuri sepanjang jalan di Ubud menuju Barat. Tak terasa ia melangkah mendekati Casa Luna, Warung Arys, Puri Palace-tempat di mana ia kemarin diundang makan dan pembukaan sebuah festival internasional. Kemarin aku makan di tempat mewah ini, dengan hidangan selera para turis namun tidak selera lidahku yang lokal ini. Aku hanya mencicipi sekadar untuk selanjutnya kubiarkan tersisa di meja sampai pelayan memungutnya kembali, dan menyajikan makanan lain. Tetapi, senja tadi aku diuji oleh seorang ibu paro usia. Hanya dengan sebotol mineral yang tak sanggup ia bayar untuk membuka puasanya, tentu tanpa makanan.
Dan, aku seperti masabodo pada nasibnya. Hanya membayar sebotol mineral yang tak lebih dari Rp 10 ribu. Sungguh, aku sudah kehilangan rasa syukurku. Apa gunanya aku seharian menahan haus dan lapar, kalau hatiku tak tergerak menyaksikan orang yang untuk membuka puasa pun tak lagi punya. Berulang-ulang ia menyesali keteledorannya. Menyesal mengapa hatinya tak menggerakkan tangannya untuk merogoh sakunya, dan memberi selembar atau dua lembar Rp 5 ribuan kepada ibu paro usia tadi?
Teman-temannya pun tak mengingatkan. Mereka juga baru tersadar dan seolah ingin berlomba berbuat amal, setelah ibu itu menghilang. Amal yang tiada gunanya. Niat yang cuma sebatas bibir.
Mas Tohari belum juga kembali ke rumah makan. Waktu sudah pukul 21.15. Teman-temannya yang ditinggal mas Tohari mulai gelisah. Mereka khawatir mas Tohari tersesap dalam keasingan kota Ubud. Was-was kalau-kalau mas Tohari tak tak tahu jalan ke penginapan.
"Kita harus cari mas Tohari. Aku khawatir ia kesasar!" ajak Halim.
"Ah, tak mungkinlah. Mas Tohari bukan anak-anak lagi. Ia bisa bertanya pada orang ke mana jalan ke penginapannya," bantah Wira.
"Siapa tahu dia benar-benar kesasar. Mas Tohari pergi dalam keadaan kalut, perasaan bersalah, pikirannya tentu lagi kosong!" Dendi mendukung Halim.
"Oke, kalau begitu!" akhirnya Wira menyetujui. "Kita berbagi arah. Halim ke Barat, Dendi ke Timur. Dan aku ke Utara. Jam 23 nanti kita bertemu di depan Casaluna, ya,"
Ketika berjumpa di Casaluna seperti waktu yang disepakati, ketiganya menggeleng. Mereka makin disergap cemas yang sangat. Kekhawatiran tak akan bertemu lagi mas Tohari, membuat wajahnya pasi.
Halim mengusulkan agar melaporkan ke pania. Wira menolak, sebab ia merasakan yang mereka lakukan belum maksimal. Tetapi, Dendi ngotot sebaiknya meminta bantuan pihak kepolisian untuk mencari mas Tohari.
"Bagaimana caranya kita harus menemukan mas Tohari malam ini juga!" kata Dendi.
"Siapa yang membiarkan mas Tohari hilang?" Wira berujar dengan suara sedikit meninggi. "Tapi, bukan begitu caranya. Jangan cepat menyerah. Kita belum maksimal mencarinya. Bagaimana kalau kita cari lagi? Kita susuri jalan ke rumah makan tadi? Di sana aku lihat tadi ada gang, agak gelap dan pengap memang, siapa tahu mas Tohari ada di sana."
"Aku tak yakin mas Tohari ke sana. Aku lihat sendiri tadi ia berbelok ke kanan, bukan masuk ke gang itu," elak Halim.
"Kupikir bisa kita coba usulan Wira."
"Ah, aku malas. Kalian saja," sela Halim. "Aku menunggu di sini saja, siapa tahu mas Tohari ke sini."
Tanpa berpikir lagi, Wira dan Dendi segera kembali menyusuri jalan ke arah rumah makan. Ia masuki gang pengap dan gelap tak jauh dari rumah makan tadi. Tetapi, selain rumah-rumah kumuh dan gubuk-gubuk terbuat triplek di dalam gang itu, mereka tak mendapati mas Tohari.
Entah di mana dan ke mana mas Tohari. Kecemasan mereka makin menjadi-jadi. Saling merutuk diri mengapa tak menemani mas Tohari mencari ibu paruh usia yang misterius itu? Sampai esok pagi mas Tohari tak kembali ke penginapan. Dan, ibu paro usia yang telah membuat hibuk itu, teramat sulit untuk dijumpai lagi di Ubud yang tak terjengkal luasnya oleh kaki mereka. Pohonan yang rindang dan lebat-sangat banyak menghiasi dan menjadi khas Bali-bisa saja menenggelamkan orang semacam ibu tadi.
Dan, mas Tohari sia-sia menemukan ibu itu. Sementara ketiga rekannya juga sia-sia menunggu kedatangannya. Layaknya mendapati sebatang jarum di keluasan padang pasir. ***
(persembahan buat Ahmad Tohari, Marhalim, dan Wiratmadinata)
Duel Dua Bajingan
Cerpen Fahrudin Nasrulloh
Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh mayat-mayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata yang durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Mulutnya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedhes! Mbelgedhes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka menumpahkan berahi di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di Bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan Bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke Jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata buta.
Lelaki itu berkelebat di udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang berbaju hitam yang menggembol bungkusan besar.
"Mau lari ke mana kau, Landa bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!"
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya
"Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian, Kau! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Memang mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati."
"Bangsat kalian semua! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Anjing najis kalian semua!!! Cuih! Bedebah! Cuih!"
"He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi Kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu cuma kau buang untuk berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!"
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai Kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
"Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?"
"Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku."
"Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?"
"Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya."
"Sontoloyo, celeng demit begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!"
"Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak cincong kau! Hayo kita bertarung!!!" Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keer telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.
"Hoi, Kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!"
"Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!" pekik Bajul van Keer.
"Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!" sambung Gajul van Deer.
"Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?"
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri kotoran anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga buta dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga pincang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang yang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke Jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar urakan biasa yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter yang keberanian dan ketangguhannya terbilang kacangan.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tersodok berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari Kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari Kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullahu
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan sodokan sama-saama mereka lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus mendesak. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desahan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
"Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!"
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, nyengar-nyengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Pelor rajah babi memang dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih tetap menodongkan pistol yang kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut Keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni itu. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss.... Jlepp....
Akhkhkh.... Eighghrrhghrrr...
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang hendak tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai, dan tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Adapun Sawungpati lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik. Nyalang mripatnya seolah mau menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya hendak memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia terjatuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti suara sapi kejang yang disembelih.? Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati yang tewas bersimpuh itu. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga sangat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lain keduanya cepat-cepat meninggalkan Bukit Kumbang itu.
***
Lembah Pring, Jombang, 2006-2007
Tanah Merah
Cerpen Dwicipta
Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan. Semula ia adalah seorang pahlawan untuk negerinya, negeri Belanda yang telah menguasai bumi Hindia Belanda selama ratusan tahun. Semua orang yang tahu atau pernah mendengar tentang peristiwa Banten yang menggegerkan itu sudah barang tentu telah mendengar keharuman namanya.
Oleh tindakan kepahlawanan itu Pemerintah Hindia Belanda telah menganugerahkan sebuah bintang kehormatan kepadanya. Orang-orang mengelu-elukannya. Ia mendapatkan undangan pesta dari para pejabat militer Batavia dan orang-orang yang ingin mendengarkan kisah pertempuran yang telah ia alami, bunyi letusan senapan dan jerit mengerikan ketika tubuh meregang nyawa. Sungguh, memabukkan.
Beberapa bulan setelah ia berhasil menumpas pemberontakan kaum merah di Banten, Pemerintah Batavia menunjuknya sebagai komandan ekspedisi yang pertama-tama untuk masuk ke Digul dan mempersiapkan kamp pembuangan bagi kaum interniran yang telah memenuhi penjara-penjara di Jawa dan Sumatera.
"Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke sana untuk mencari emas bahwa Digul adalah belantara yang dipenuhi para pengayau. Bagaimana kaum interniran bisa hidup di sana?" tanyanya kepada Letnan Drejer, opsir yang juga mendapatkan perintah untuk menemaninya masuk belantara Digul.
"Tampaknya tuan Gubernur Jenderal de Graeff ingin meniru bangsa Rusia. Bukankah di Rusia terdapat pembuangan yang terkenal di seluruh dunia? Siapa tak mengenal Siberia, neraka bagi siapa pun warga Rusia yang berontak atau menjadi bajingan!" ujar Letnan Drejer sambil tersenyum kecut.
"Kita bukan bangsa Rusia dan Siberia lain dengan Digul, Letnan. Digul hutan lebat. Apa yang bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu? Kalau kita membuka hutannya, masalah mengerikan lain telah menunggu: malaria! Bukankah itu sama saja dengan mengirimkan kaum interniran itu ke lembah kematian?"
"Saya tak takut dengan malaria, Kapten. Tapi tinggal di hutan lebat semacam Digul sama saja dengan menyerahkan kepala kita kepada para pengayau atau para kanibal hitam di sana. Itulah yang saya takutkan," ujar Letnan Drejer dengan kepala bergidik.
"Hehm, benar. Dan kita, kaum terhormat yang baru saja mendapatkan bintang kehormatan dari tindakan militer, harus mengotorkan tangan dengan tindakan memalukan. Sungguh keterlaluan orang-orang Batavia!"
"Yang lebih mengherankan, bukankah Gubernur Jenderal de Graeff itu terkenal berbudi baik, Kapten? Bagaimana ia bisa membuat keputusan-keputusan yang mengerikan seperti membuka kamp pembuangan?" ujar Letnan Drejer tak mengerti.
"Apalah artinya seorang gubernur jenderal berbudi baik bila sistemnya telah diracuni oleh para pejabat berhati kotor? Merekalah yang tak ingin kedudukannya terancam dengan ulah para pemberontak yang ingin menjatuhkan kekuasaan. Dan, untuk menangkal ancaman tersebut, tindakan kotor pun buat mereka tak apa-apa dan tak ada salahnya dilakukan."
Letnan Drejer mengangkat bahu. Dipandangnya punggung Kapten Becking yang jangkung itu. Rasa hormatnya yang tinggi tak pernah lenyap terhadap lelaki ksatria yang beranjak tua ini. Di luar dinas militernya, opsir berambut putih itu sungguh terpelajar. Satu minggu sebelumnya Kapten Becking telah meminta bawahannya untuk mencari segala pengetahuan yang ada hubungannya dengan Digul dan bumi hitam di ujung timur Hindia itu. Sementara para prajurit dan opsir bawahannya membual dan membayangkan petualangan di tanah mereka yang akan mereka lakukan, ia justru tenggelam dengan buku-buku dan tumpukan laporan tentang Digul dan wilayah New Guinea secara umum. Ia gemar sekali membicarakan suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara itu dan di sepanjang Sungai Digul, kebaikan-kebaikan mereka dan kesukaan mereka dalam mengayau. Tak jarang ia mengingatkan Letnan Drejer akan kebuasan alam tempat baru itu dan berujar ia akan menundukkannya secepat mungkin.
Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan 60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki Sungai Digul dan membuang sauhnya pada jarak ratusan kilometer dari pantai. Hujan tipis tak menghalanginya untuk keluar dari kapal, memandang ke arah hutan lebat maha luas dan tampak buas dalam bayangannya. Dari tabir tipis gerimis ia masih bisa menangkap keluasan hijau yang terbentang di depan matanya, daerah sunyi yang oleh Gubernur Jenderal de Graeff telah dipilih sebagai kamp pembuangan kaum interniran merah yang memberontak itu. Tubuhnya yang jangkung dan rambutnya yang memutih bergoyang-goyang oleh kapal dan angin yang bertiup cukup keras. Ia menggelengkan kepala dan menarik napas dalam-dalam.
"Di sinikah tahanan politik itu disembunyikan dari masyarakatnya, ataukah justru dikuburkan untuk selama-lamanya?"
Lama ia berdiri di pagar kapal, mengamati hutan belantara dan buaya-buaya yang berjemur dengan moncong terkatup di pinggir sungai. Ia membayangkan suku-suku pedalaman yang nanti akan terganggu oleh pekerjaan barunya. Sayang ia tak bisa mundur lagi. Dengan seluruh perasaan bersalah mengeram di dalam dadanya, ia menekan hasrat kemanusiaannya yang terus menggemakan pertanyaan demi pertanyaan. Ia menggenggam bintang kehormatan yang tersemat di dadanya dengan perasaan terhina dan masuk kembali ke kapal menemui Letnan Drejer dan segenap prajurit bawahannya.
Setelah berunding beberapa saat, mereka menurunkan seluruh keperluan pembukaan hutan dan perbekalan hidup mereka untuk masa tiga bulan. Kecuali pakaian dan perlengkapan anak buahnya, terdapat alat-alat duduk dan tidur, barang pecah belah, alat pertanian dan persediaan benih, lalu kaleng minyak tanah yang isinya tidak lain bahan-bahan makanan. Para kuli paksa dan sebagian besar serdadu membuka hutan dengan model setengah lingkaran terlebih dahulu sebagai tempat untuk mendirikan kemah dan tenda mereka. Sementara sebagian kecil serdadu menjaga bahan persediaan makanan dan segala barang perlengkapan yang telah diturunkan dari kapal.
Ketika kegelapan menyelimuti mereka, di tengah-tengah tenda dan kemah baru diletakkan lampu stormking. Kapten Backing dan seluruh pengikutnya bersiap-siap dengan serbuan pertama-tama manusia hutan Digul. Pada tengah malam, ketika keletihan telah merayapi tubuh mereka, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang datang dari berbagai jurusan sekalipun tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan dirinya di bawah penerangan lampu. Beberapa kuli paksa gemetaran dan membaca doa keras-keras, mengira suara-suara jeritan dari balik hutan sebagai kemarahan hantu-hantu hutan yang pepohonannya telah mereka babat. Namun, Kapten Becking dan sebagian besar serdadu yang dibawanya yakin itu adalah suara-suara para penghuni hutan yang telah menyaksikan aktivitas mereka sejak pagi. Setelah ditunggu-tunggu dan mereka tak juga muncul atau menyerang, seluruh serdadu dan kuli paksa menarik napas lega.
"Aku yakin mereka tidak buas, sebab kalau mereka buas sudah sejak semalam mereka akan menyerang kita," ujar Kapten Becking keesokan harinya.
"Aku harap juga demikian. Kalau mereka buas, pekerjaan kita bakalan lebih payah lagi," letnan Drejer menimpali dengan kecut.
"Benar. Bagaimanapun tugas berat ini harus cepat selesai, paling tidak sebelum satu bulan. Di samping tenda-tenda, kita harus mempersiapkan dua gudang untuk menyimpan seluruh barang-barang yang telah kita bawa, sebuah rumah sakit, satu stasiun radio dan sebuah kantor pos. Itu belum termasuk menyiapkan lahan-lahan permukiman bagi kaum interniran dan lahan pertanian mereka kelak."
"Kantor pos? Sungguh aneh, di sebuah hutan belantara seperti Digul bagaimana mungkin ada kantor pos? Sungguh konyol gagasan orang-orang Batavia itu," ujar Letnan Drejer mengejek.
"Sekarang mungkin kita tak membutuhkannya. Namun, nanti, ketika seluruh kaum interniran itu diangkut ke sini, mereka akan membutuhkannya. Apakah mereka akan dibiarkan betul-betul merana tanpa berkirim kabar pada saudaranya di tempat lain. Mereka orang beradab dan harus tetap berhubungan dengan peradaban."
"Mereka dibuang di sini saja bukan tindakan beradab, Kapten. Jadi sia-sia saja mereka mencari hubungan dengan orang-orang beradab."
"Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita," ujar Kapten Becking sambil menguap. Tak lama kemudian ia jatuh tertidur.
Begitu terang tanah telah sempurna, mereka kembali bekerja membabat hutan dan mempersiapkan tanah lapang untuk keperluan tempat tinggal dan segala bangunan yang akan diperlukan nanti. Serdadu yang berjaga dan ingin melepas kejenuhan menyusuri sungai dan berburu buaya.
Pada hari kelima, ketika mereka tengah siap memulai pekerjaan setelah istirahat tengah hari, mereka dikagetkan oleh suara jeritan seperti empat malam sebelumnya. Dari berbagai arah, dengan hanya berpakaian bulu burung cenderawasih dan membawa sebuah pepaya di tangan, manusia-manusia hitam bertubuh atletis itu menampakkan diri di hadapan para serdadu dan kuli paksa, mencoba menarik perhatian mereka lalu mendekat selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati. Kapten Becking, yang telah melakukan studi lama tentang daerah sekitar hutan ini beserta kebiasaan para penduduknya mendekati mereka dengan dada berdebar-debar. Busur, panah dan lembing mereka siap bergerak. Namun, buah pepaya yang ada di tangan para manusia hitam itu yang membuat Kapten Becking yakin mereka tak akan membuat keonaran.
Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau terebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan.
"Mungkin mereka heran bagaimana suara manusia bisa muncul dari gramofon itu, Kapten," kata anak buahnya sambil tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Tentu. Mereka mencari bagaimana benda sekecil itu menyembunyikan manusia," kata Letnan Drejer sambil tersenyum lebar.
Setelah beberapa minggu segala persiapan awal penyambutan kedatangan para internitan yang pertama-tama di bekas hutan Digul itu selesai, secara bergelombang datanglah kaum merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai Tanah Merah.
Siapa sangka jika pekerjaan meletihkan dan memalukan itu kemudian memaksanya berhenti dari dinas militer? Semuanya berawal ketika ia mengizinkan seorang wartawan berkebangsaan Denmark masuk ke kamp interniran dan melihat dari dekat segala hasil kerjanya. Kabarnya, wartawan itu mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga sampai di Digul. Komandan kapal yang tak ingin dosa-dosa para pejabat Batavia diketahui secara luas oleh seluruh dunia merampas kamera dan menghancurkan foto-foto yang telah dibuatnya selama di kapal. Alangkah murkanya ia ketika Kapten Becking justru mengizinkan wartawan itu masuk ke kamp pembuangan.
Ia juga tahu para pejabat Belanda di Merauke tak menyukai keberhasilannya membangun kamp pembuangan itu. Mereka membuat rencana busuk untuk menyingkirkanya. Suatu kali Letnan Drejer memberitahu bahwa Opsir Mon Joulah yang mengatur semua itu. "Ia sangat gila kekuasaan, Kapten," ujar Letnan Drejer muak.
Foto dari wartawan Denmark itu rupanya telah melukai kehormatan para pejabat Batavia. Mereka makin menyudutkannya atas tindakan ceroboh memasukkan wartawan ke kamp pembuangan sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Saat itulah ia memutuskan untuk mengirimkan kawat ke Batavia dan mengundurkan diri dari dinas militer!
Tak akan terlupakan hari keberangkatannya meninggalkan Digul. Ia berdiri di pagar kapal api, bukan lagi memandang hutan yang hijau sunyi, namun permukiman yang dibangunnya belum setahun yang lalu sembari merenungkan nasibnya. Hujan tipis membasahi baju dan rambutnya yang putih.
***
Sokawangi, Oktober 07
Bangku Beton
Cerpen Sunlie Thomas Alexander
BANGKU beton itu masih di sana, di bawah rindang batang jambu air. Kusam dan berlumut tebal. Alang-alang tumbuh lebat di sekelilingnya, tanaman pakis menjalar liar. Di atasnya, berserakan guguran daun-daun tua. Sebagian telah membusuk oleh hujan. Ia tertegak di pintu dapur, tak berkesip memandang bangku di sudut pekarangan rumah itu. Entahlah, lamat-lamat ia seolah mendengar tiupan harmonika, mendengar lagu Les Premiers Sourires de Venessa-nya Richard Clayderman. Beberapa saat lamanya ia merasa terbuai. Tapi, sesuatu seperti menyesaki dadanya. Tanpa sadar ia menggigit bibir. Pandangannya menjadi buram. Tentu ia tak pernah bisa melupakan lagu itu, juga lagu-lagu Richard Clayderman lainnya. Meskipun sudah demikian lama, bertahun-tahun, tak pernah mendengarnya lagi. Ia ingat, lelaki itu nyaris dapat memainkan semua lagu Richard Clayderman dengan segala instrumen, dengan cukup sempurna.
Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di sana sambil meniup harmonika. Hampir setiap sore, setelah toko tutup, lelaki itu akan duduk-duduk di bangku beton di bawah pohon jambu air lebat itu sambil meniup harmonika, membaca buku atau koran. Kadangkala secangkir kopi menemaninya. Lelaki itulah yang membuat ia jatuh cinta pada musik, juga mengenalkannya pada wushu.
"Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang," ia seperti mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. "Ya, turunkan kuda-kudamu lebih rendah. Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan mengelak dan menyerang bagian rusuknya."
Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. "Sudah Pa, sudah capek. Aku mau main bola..."
"Ah, manja kau!" lelaki itu menyeringai." Kau les piano kan nanti malam?"
Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour Adeline, A Comme Amour, Un Blanc Jour D’un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma Mere... Agaknya ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tidak pernah bisa memainkan lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih tertarik pada musik klasik murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach. Atau yang lebih kontemporer, Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar di akademi musik, ia pun lebih senang mengambil mayor gitar.
Ada jalan setapak kecil dari susunan batu-batu putih, membentuk lengkungan setengah lingkaran dari pintu dapur ke bangku beton itu, memotong hamparan rumput jarum yang meranggas. Agak ragu ia melangkahkan kakinya ke sana. Angin sore terasa basah, sedikit kencang, membuat dedaunan jambu air bergemerisik ribut. Ia melihat daun-daun tua keemasan yang melayang jatuh seakan dalam gerak slow motion. Dan, hal itu, entah kenapa, membuat perasaan sedihnya semakin tajam. Seperti mengiris di dada. Ah, waktu! Waktu!
Namun, saat langkah kakinya sampai di sana, bangku beton itu tiba-tiba terasa begitu senyap. Bungkam, seakanakan tak berkenan menyambut kedatangannya. Tak ada lagi tiupan harmonika, tak ada lagu-lagu Richard Clayderman yang mengiang di telinganya. Semua lenyap. Ia berdiri tertegun di bawah kerindangan pohon jambu.
Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus. Ia tahu, sejak muda ibunya bukanlah perempuan yang cukup telaten mengurus rumah. Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah dipulangkan ibu ke kampung setelah lelaki itu meninggal.
"Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampung. Ibu beri pesangon secukupnya," kata ibunya dalam sepucuk surat. Ah, dulu lelaki itu selalu wantiwanti kalau pekarangan belakang rumah itu harus selalu bersih dan rapi. Tiba-tiba ia baru menyadari kalau di teras belakang itu tak ada lagi pot-pot bunga berukuran besar-kecil yang tertata indah. Beragam bunga, terutama euphorbia, anggrek, dan adenium. ia termangu-mangu di depan bangku beton yang kusam berlumut itu. Mencoba mengingat semua kejadian indah yang pernah dilewati.
"Kau mau makan dulu?"’Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia berpaling dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur. Ia menggeleng ragu.
***
IA pulang juga setelah sembilan tahun. Rumahnya -sebuah ruko tepatnya-tidak banyak berubah seperti juga kota kecilnya. Bagian muka ruko tampak sepi, ketika ia turun dari angkot yang membawanya dari pelabuhan. Rolling door biru muda kusam berkarat tertutup rapat dengan gembok besar terkait di bagian bawahnya. Hujan rintik-rintik menyergapnya di depan ruko. Kernet angkot membantu menurunkan dua ransel besar yang dibawanya. Setelah membayar sesuai harga yang telah disepakati di pelabuhan, ia mengangkat kedua ransel besarnya, agak sempoyongan karena berat. Ada beberapa orang menatapnya. Ia berpaling ketika merasa mengenali seseorang. Seorang perempuan separo baya. Ia masih mengenali perempuan itu, tetangga bertahun-tahun. Ia tersenyum lebar. Tapi perempuan itu diam saja, terus menatapnya tak berkedip, meskipun kemudian mengangguk kecil. Tanpa senyum. Ah, apakah ia tidak kenal padaku lagi? Pikirnya kurang enak.’
Diteruskan langkahnya ke pintu depan rumah yang terbuka dengan rolling door tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan pembatas dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk itu. Lampu di lorong kecil itu belum dinyalakan.
Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Gelenggeleng kepala, ia meneruskan langkahnya melewati ruang tengah. Ada seekor kucing belang tidur di dekat sofa. Bangun mendadak ketika ia lewat. Kucing itu tampak waspada. Ia menyeringai lebar.
Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anaknya masuk. Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan kecantikan di masa muda.
"Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang." Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, "Duduklah." Perempuan itu kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk anaknya. Diperhatikan betul kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan itu. Ia tersenyum getir.
"Mama pikir kau tak jadi pulang," suara ibunya seperti menggantung. Ah, tidak Ma, aku pasti pulang seperti yang aku katakan di telepon, elaknya buruburu. Ibunya tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua kali ia pernah berjanji untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak perempuannya menikah. Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu, ia seolah ditelan tanah rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.
Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil di atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah, dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng bekas susu bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja. Tiga lembar kertas merah bertulisan China yang masing-masing ditempel pada dua batang dupa tertancap pada setiap kaleng. Ia tak bisa membaca hanji -meskipun pernah diajari- tapi ia tahu mana nama bapaknya, kakek, dan neneknya.
"Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!" kata perempuan itu sambil mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di depan meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging yang tertata dalam piring-piring di atas meja.
Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa itu begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang dupa di depan dada sekadarnya dengan mulut terkatup, tanpa mengucapkan sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya berdoa panjang-lebar setiap kali sembahyang.
Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti diucapkan untuk masa lalu. Orangorang yang telah pergi itu cukuplah menjadi hantu di dalam kenangan. Sekadar hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu -atau sakit-oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir ketika menancapkan dupa di kaleng. Sampai tiba- tiba ia menangkap bayangan bangku beton itu lewat ambang pintu dapur yang terbuka lebar.
***
Lelaki itu seharusnya bisa memilihuntuk melupakan masa silamnya. Seharusnya. Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia selalu yakin lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu akhirnya memilih tidak seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia pendam. Ia memang menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam perlahan mulai tumbuh di dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti lumut yang kini melapisi bangku beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.
Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu semakin sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan pintu.
Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang pasti, ia mulai jarang bicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindar bila berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba canggung. Richard Clayderman menghilang.
"Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan itu...."Ada senyum tipis di wajah ibunya. Mama tidak sakit kok! Papamu akan tetap bersama kita. Mama bisa mengerti dia. Sederetan kalimat meluncur lancar, senyum di wajah ibunya merebak lebih lebar. Tapi ia melihat luka menganga yang sia-sia disembunyikan itu, di dalam bola mata ibunya. Mata yang indah, meski sedikit sayu. Mirip dengan mata Natalia. Ah!
Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang suka dikisahkan perempuan itu waktu ia masih kecil. Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang manis. Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat itu, si lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang saku dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan itu, yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua. Diajaknya perempuan itu pulang ke kampung halaman.
"Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di sana?" kata perempuan itu bimbang. Lelaki itu tergetar oleh sepasang matanya yang begitu sunyi, "Tapi ada aku. Aku akan membawamu kepada orang tuaku." Biduan manis itu hanya tersenyum sipu, senyum yang tak kentara maknanya. Toh, itu sudah cukup membuat lelaki itu berbunga-bunga.
Namun, kampung halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima si perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.
"Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!" Suara bapaknya cukup keras di tengah malam, "Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya kan?!" Lelaki itu balas menatap bapaknya lekat-lekat, tak gentar. Ia tak peduli siapa perempuannya, siapa orang tua perempuan itu sebagaimana yang diceritakan bapaknya. Ia juga tak peduli pada peristiwa besar yang pernah terjadi di kota kecilnya, juga seluruh negeri. Sebuah peristiwa politik yang kelabu. Tahun gelap yang kemudian tercatat penuh dusta di buku sejarah anak-anak sekolah.
"Aku mencintainya!" Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya berapi-api. Tapi perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa meninggalkan pesan apa pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua kali.
***
IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal Natalia ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu pindah ke sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri pandang pada gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang sedikit berdebar. Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati, mendekat ketika ia menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan bersemangat mendekati gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka yang begitu muram di kedua mata Natalia yang sayu...
Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di laci meja baca bapaknya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci itu.
"Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!" Ibunya bergegas menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan kecil.
"Siapa perempuan di foto itu, Ma?" tanyanya. Namun ia tidak pernah mendapat jawaban.
"Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!" Lelaki itu menatapnya tajam dengan wajah agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu bersuara keras padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah perempuan cantik di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.
"Aku bertemu dengan perempuan dalam foto Papa...," katanya sore itu sepulang dari rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan padanya tinggal di mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diamdiam menguntit Natalia. Dan perempuan itu ada di sana, mempersilahkannya masuk dan menghidangkan untuknya secangkir teh. Ia sama sekali lupa apa tujuannya datang ke sana, pun ketika Natalia mempersilahkan minum. Mereka duduk berhadapan dengan begitu kaku.
"Aku bertemu dengannya, Ma," ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya wajah ibunya berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.
***
ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih duduk-duduk di sana, tapi tidak bermain harmonika atau membaca. Dia hanya duduk termangu di sana, dengan raut wajah yang kadangkala tampak kosong. Mereka tidak pernah lagi bicara. Badan kekar lelaki itu kian hari semakin susut, tampak rapuh. Asam urat, iritasi lambung, ada masalah dengan ginjal dan lever. Malarianya juga sering kambuh, kata ibunya terisak. Entah dari mana segala penyakit itu datang, barangkali akibat waktu muda papamu terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Dia dulu peminum? Tanyanya, tapi cuma di dalam hati. Lelaki itu meninggal ketika ia hampir tamat SMA. Ibu dan kakaknya menangis berhari-hari tapi ia tidak. Ia hanya menatap jenazah lelaki itu dimasukkan ke peti mati dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jelaskan sepenuhnya. Pandangan matanya seperti berkabut. Perempuan itu datang ke pemakaman bersama Natalia, keduanya mengenakan pakaian serbaputih seperti halnya ia, ibu, dan kakak perempuannya. Tetapi mereka tidak saling bertegur sapa.
Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil itu, dan tak pernah pulang sekali pun...
"Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut. Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang kakak iparmu!" Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari lalu. Ia tak menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sembahyang arwah Chit Ngiat Pan...
yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat kakak perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di pintu dapur.
Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers Sourires de Venessa dan lagu-lagu lainnya...
***
Gaten, Yogyakarta, Mei 2007 /kenang-kenangan buat bapak
Percakapan Tentang Sakit
Cerpen Setiyo Bardono
Mak,Indah ingin makan apel." "Tunggu ya Nak,Bapakmu belum pulang." "Mengapa harus menunggu Bapak?" "Tadi pagi,Emak sudah pesan pada Bapak,kalau pulang beli apel di stasiun."
"Emang Bapak punya uang,Mak." "Mudah-mudahan hari ini Bapak dapat banyak rezeki hingga bisa beliin Indah apel yang banyak.Makanya Indah doain Bapak ya..." "Iya,Mak." "Nah, gitu dong. Itu baru Indah, anak Emak yang cantik."
"Mak,biasanya kalau sakit kan banyak yang nengokin.Kayak waktu kita ikut nengokin Ibu Dede, Ibu Roni, Ibu Raihan.... Enak yaMak...Ada yang bawa buah-buahan. Ada yang ngasih makanan. Ada yang ngasih uang." "Hus... kamu ini, sakit kok dibilang enak." "Memang begitu kan,Mak."
"Tapi Indah nggak dirawat di rumah sakit?" "Jadi Indah harus dibawa ke rumah sakit biar ditengokin orang-orang?" "Kalau di kampung ini biasanya begitu, Nak." "Kalau begitu, mengapa Indah tidak dibawa ke rumah sakit saja?" "Uang Emak tidak cukup untuk biaya berobat ke rumah sakit.Bapakmu belum dapat kerjaan tetap.Kamu tidur ajadulu ya,sambil nungguBapak pulang.Mudahmudahan Bapak pulang bawa apel."
"Tapi Indah ingin apel dari orangorang." "Kan sama saja, Nak." "Enggak mau... Indah mau apel dari orang-orang." "Ssst...diam dulu Nak,tuh dengar ada pengumuman dari masjid."
"Perhatian bagi Ibu-Ibu warga RT 01 RW 04 yang ingin ikut menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah yang sedang di rawat di Rumah Sakit Waras Medika,harap berkumpul di rumah Ibu Ria nanti sore pukul tiga lebih tiga puluh. Sekali lagi, pukul tiga lebih tiga puluh.Terima kasih atas perhatiannya." ***
"Indah,anak saya sakit keras Pak RT." "Sakit apa?" "Sepertinya demam.Badannya panas, kadang muntah-muntah. Semalam tak henti-hentinya dia mengigau." "Sudah diperiksa ke dokter?" "Belum Pak RT?" "Waduh, jangan sampai terlambat Mas. Jangan-jangan Indah kena demam berdarah."
"Periksa ke dokter kan biayanya mahal Pak RT." "Ke puskesmas kan bisa." "Hari minggu kan puskesmas tutup Pak RT." "Iya, ya. Kalau begitu kasih obat penurun demam saja." "Sudah Pak RT, saya sudah beli obat yang sering diiklankan di televisi itu. Katanya begitu minum langsung baikan, ternyata panasnya gak turun juga.Mana harga obatnya lumayan mahal lagi."
"Namanya juga iklan, Mas. Jadi apa yang bisa saya bantu Mas Paijo." "Maaf Pak RT, sebenarnya saya malu mengatakannya... Indah hanya ingin makan apel.Kalau kemauannya dituruti pasti dia akan lebih baikan." "Belikan saja, kan di stasiun murah. Lima ribu dapat lima. Kalau nggak punya uang, pakai uang saya saja. Gitu aja kok repot."
"Kalau itu,saya juga tahu Pak RT.Setiap hari saya kan naik kereta.Tadi sudah saya belikan,tapi Indah tidak mau makan." "Memangnya kenapa?" "Indah ingin apel pemberian orangorang." "Maksudnya?" "Wah..saya jadi malu.Begini Pak RT... Sepertinya Indah ingin dijenguk ibu-ibu warga kampung kita dan diberi apel seperti orang-orang lain yang sakit." "Oh gitu..."
"Namanya juga anak-anak. Harap maklumlah Pak." "Jadi saya harus mengumpulkan ibuibu untuk menjenguk Indah?" "Terserah Pak RT saja. Nggak usah banyak-banyak juga nggak apa-apa.Dua atau tiga orang saya kira sudah cukup" "Tapi kan Indah belum dibawa ke rumah sakit. Bagaimana saya harus mengumpulkan warga."
"Bilang saja Indah sakit keras. Memangnya harus dibawa ke rumah sakit dulu baru warga bisa menjenguknya?" "Ya, tidak begitu mas Paijo.Tapi kalau sudah dirawat di rumah sakit,warga jadi tahu bahwa sakit Indah benar-benar parah.Saya juga lebih enak ngomong-nya." "Tapi Indah benar-benar sakit pak." "Saya tahu, tapi kalau tidak dibawa ke rumah sakit, nanti warga bilang, walah baru demam aja minta dijenguk."
"Jadi Indah harus saya bawa ke rumah sakit dulu?" "Lebih baik begitu.Bukan hanya agar bisa dijenguk warga, yang lebih penting agar penyakit Indah bisa dideteksi." "Saya juga bermaksud begitu pak RT, tapi saya sedang tidak punya uang.Biaya rumah sakit kan mahal." "Waduh gimanaya.Jadi serbasalah nih." "Jadi Pak RT tidak bisa menolong saya?" "Bukan begitu,Mas" "Jadi gimana dong" "Begini saja, nanti saya bicarakan dengan Ketua Pengajian."
"Kalau bisa sore ini Pak RT,saya takut Indah kenapa-napa." "Iya, saya tahu.Tapi sebentar lagi, Ibuibu akan berangkat menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah.Mas Paijo kan dengar sendiri tadi sudah ada pengumumamnnya dari musala. Nggak enak kan sama Ibu Nuriyah. Sudah dua hari ia dirawat di Rumah Sakit Waras Medika. Kabarnya sih mau dioperasi. Bagaimana kalau besok pagi saja."
"Kan Ibu Nuriyah orang kaya, punya rumah makan dan anaknya jadi pengusaha semua.Tanpa dijenguk pun ia bisa membayar biaya rumah sakit." "Jangan begitu Mas Paijo. Kita tidak boleh membeda-bedakan orang." "Kalau begitu, Pak RT juga jangan membeda-bedakan Indah dong." "Iya tapi Ibu Nuriyah sakit lebih dulu. Dan sekarang terbaring di rumah sakit menunggu operasi kanker kalau nggak salah.Pokoknya penyakit orang kayalah."
"Indah tidak saya bawa ke rumah sakit karena nggak ada biaya. Harusnya anak saya yang ditolong lebih dulu". "Waduh,saya jadi tambah bingung nih." "Begini saja Pak RT. Bagaimana kalau sebelum berangkat Ibu-ibu disuruh mampir ke kontrakan saya dulu." "Waduh, kan Rumah Sakit Waras Medika jauh pak. Tahu sendiri jalanjalan di ibukota seringnya macet. Kalau ibu-ibu pada ribut, nanti saya juga yang kena komplain,Mas" "Sebentar saja,lima menit juga cukup." "Besok pagi saja, Mas. Saya nggak enak sama Ibu-ibu." ***
"Walah, baru demam saja minta ditengokin." "Namanya juga anak-anak bu." "Emang sekarang di mana?" "Di rumah bu." "Saya kira dibawa ke rumah sakit." "Saya nggak punya uang buat bawa Indah ke rumah sakit." "Kita ini buru-buru mau ke rumah sakit, sore ini kita kan ibu-ibu sudah sepakat untuk nengokin Ibu Hajjah Nuriyah di Rumah Sakit Waras Medika."
"Saya tahu bu.Tapi sebentar saja,biar Indah puas" "Nanti kita terlambat bu. Jam besuknya kan antara jam empat sampai jam enam sore. Bagaimana kalau besok pagi saja, atau nanti malam sepulang dari besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Iya Bu Paijo, besok aja deh kita nengokin Indah. Nggak mungkin to, kita batal besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Maaf lho, bu. Bukannya mau beda-bedain, tapi rencana sore ini kanudahmenjadi kesepakatan kita. Bahkan warga sudah banyak yang iuran buat besuk Ibu Nuriyah. Nggak enak kalau dibatalin begitu saja." ***
"Gimana Bu..." "Katanya besok,Pak." "Tapi badan Indah semakin panas bu. Sewaktu Ibu tinggal, Indah juga muntah sampai empat kali." "Apa dibawa ke dokter saja?" "Bapak punya uang?" "Nggak sih." "Ke puskesmas saja." "Hari minggu kan puskesmas tutup." "Oalah, Pak... Kenapa Indah harus sakit di hari Minggu?" "Bukan hanya jangan sakit di hari Minggu bu. Kalau bisa jangan sakit di Jakarta dan sekitarnya."
"Jakarta dan sekitarnya.... Seperti adzan magrib saja. Mungkin memang beginilah nasib orang miskin. Makanya Bapak yang bener cari kerjaannya" "Jangan bilang begitu Bu.Bapak juga sedang berusaha. Maklumlah, Bapak kan cuma lulusan SMP. Sabar ya... Gusti Allah tidak tidur, semua pasti ada jalan keluarnya." "Gusti Allah memang tidak pernah tidur. Kamunya saja yang tidak pernah salat,makanya rezeki kita seret. " "Udah... udah... ah. Jangan diungkitungkit terus." ***
"Bu, Indah ingin makan apel." "Iya, Nak. Itu apelnya sudah ada. Ibu kupasin ya..." "Indah maunya apel dari orangorang." "Entar, ya... Ibu-ibu belum pulang dari rumah sakit." "Indah maunya sekarang." "Pak...gimana ini.Badan Indah semakin panas saja." "Gimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit." "Yang mau bayar siapa?" "Ya, gimana entar sajalah. Aku takut Indah kenapa-napa."
"Kalau begitu, coba Bapak ke rumah Pak RT lagi. Siapa tahu kali ini dia bisa menolong. Kalau nggak coba cari pinjaman ke rumah pak Husein." "Hutang yang dulu saja belum lunas Bu.Bunganya juga semakin menumpuk. Nanti kita bayarnya pakai apa?" "Ya, dicoba dulu Pak. Ngomong baikbaik, barangkali Pak Husein mau memberi pinjaman tanpa bunga." "Tanpa bunga? Sepertinya mustahil Bu.Tapi ya, udah-lah, Bapak akan coba bicara dengan Pak Husein. Tunggu sebentar ya..." ***
"Wah,rumah sakitnya bagus banget ya." "Iya, pasti biayanya mahal. Apalagi Ibu Hajjah Nuriyah dirawat di ruang VIP. Bisa habis puluhan juta tuh..." "Kalau aku, punya uang segitu, mendingan buat beli rumah. Nggak enak kan, bertahun-tahun hidup ngontrak melulu." "Anak-anaknya juga baik-baik semua. Udahkaya,baik lagi.Kapan saya bisa punya anak-anak seperti itu."
"Ibu Hajjah Nuriyah memang beruntung punya anak-anak seperti mereka." "Iya, ya. Tadi anak yang paling tua, malah nraktir kita semua makan fried chicken. Sebenarnya nggak enak, nyumbang cuma goceng, ditraktir makan enak. He... he..." "Nggak enak sih nggak enak. Tapi kayaknya kamu tadi nambah ya." "Enak aja.Bukannya kamu juga nambah." "Udah... udah... gitu aja ribut." "Iya, tuh.Kayak nggak pernah makan enak saja." "We... sirik. Kamu sendiri seringnya beli ikan asin di warung Bu Ijah.Udah itu ngutang lagi."
"Walah... kayak kamu nggak pernah ngutang aja. Sekarang kamu kan nggak pernah belanja di warung Bu Ijah.Takut ditagih utang tuh." "Udah... udah... baru njenguk orang sakit kok ya pada ribut to... Tuh lihat kita udah nyampe...." "Bang...Stop Bang.Sampai di sini saja." "Iya,Bang.Di sini saja,kalau di depan musala, jalannya kejauhan." "Ayo, turunnya jangan berebut." "Iya, nih...Orang kok badannya gedegede amat, jadi sulit turun."
"Sst, jangan ribut. Dengar tuh ada pengumuman dari musala." "Innalillahi wa innailaihi rojiun. Diberitahukan kepada seluruh warga RT I RW IV, telah meninggal dunia dengan tenang Indah Ratna Juwita Binti Paijo. Dimohon kepada seluruh warga, terutama anak-anak muda, untuk bisa membantu persiapan pemakaman yang Insya Allah akan dilaksanakan besok pukul sepuluh pagi."
***
Depok, 22 Desember 2007
Sopir Taksi dan Sebuah Kepala
Cerpen Naning Pranoto
Pukul 05.45, taksi biru tua yang dikemudikan Begjo distop oleh seorang lelaki tua bertopi pet, di dekat pintu tol jalur ke Jagorawi.
''Antar saya ke Bogor! Lewat tol,'' pinta lelaki tua itu, tergesa-gesa. Begitu duduk di jok belakang ia langsung menyerahkan amplop kepada Begjo. ''Apa ini, Pak?'' Begjo terkejut.
''Uang!'' sahut lelaki tua, bersuara ngebass. Begjo sempat mengamatinya. Penumpangnya itu, berusia 70-an, tapi masih tegap, sehat walau kulitnya keriput.
''Kasih uang saya kok banyak sekali, Pak? Begjo membelalak, ketika tangan kirinya menyingkap amplop dari penumpangnya itu. "Lagi pula, baru naik kok sudah mbayar.''
Tidak ada jawaban.
Penumpang itu membuka topi petnya, lalu mengenakan sunglass hitam gelap. Begjo melihat sekilas, kepala lelaki itu aneh: lonjong dan botak mengkilat.
''Pak saya takut, sampeyan mbayar banyak sekali. Seumur-umur baru kali ini saya nrima uang sebanyak ini!''
''Stt, jangan takut, Anda antar saya saja,'' gumam si penumpang, sambil membuka jendela taksi yang ada di sampingnya.
''Lho, Pak kok sampeyan ngeluarin kepala tho?'' Begjo terkesiap, penumpangnya menjulurkan kepala keluar jendela, posisinya tengadah, mulut ternganga, sepasang kacamatanya melotot seram.
Tidak ada jawaban. Taksi Bejo melaju kencang di tol Jagorawi. Si penumpang itu tetap menjulurkan kepalanya. Lehernya menegang, >kepalanya memanjang dan nyaris copot dari batang leher. Begjo panik.
''Pak, jangan bunuh diri!'' teriak Begjo, mengarah ke jalur lambat. Selama ia jadi sopir hampir seperempat abad, baru kali ini ia mendapat penumpang sangat aneh.
''Ayo, tancap gas Mas!'' pinta si penumpang itu sambil tertawa,
''Saya tidak mau bunuh diri. Saya cuma mau mbuang kepala saya di jalan tol!''
''Hah?'' Begjo melongo, ''Weleh, baru kali ini ada orang mau mbuang kepalanya. Berhenti saja ya, Pak.''
''Jalan terus. Saya tambah ongkosnya!'' ia berkata tegas, melemparkan amplop di pangkuan Begjo.
Begjo membelalak, melihat setumpuk uang asing, menyembul dari tutup amplop yang ada di pangkuannya.
''Itu uang dolar Amerika. Asli!'' kata si penumpang, ''Anda bisa beli rumah bebas banjir dengan uang dolar itu untuk anak-anak dan istri Anda.'' ''Maaf, tidak usah saja. Tapi, saya mau antar Bapak kemana pun, asal kepala Bapak tidak menjulur di jendela.'' Begjo berkeringat dingin. Ia menaruh dua amplop berisi uang itu di jok belakang.
''Anda menolak uang saya?'' lelaki itu tidak happy. ''Anda memerlukannya, paling tidak untuk membeli BBM selama mengantar saya.''
''Tidak usah. Saya mau berhenti.'' Begjo memperlambat taksinya.
''Jalan terus, sebelum saya berhasil membuang kepala saya. Ini proyek terakhir dalam hidup saya dan harus berhasil, karena saya telah sukses jadi pimpro berbagai proyek besar dan satu mega-proyek yaitu menobatkan seorang anak desa jadi orang nomor satu di negeri ini.'' Tiba-tiba lelaki itu tertawa lepas. Begjo limbung.
''Mas Sopir, jangan takut. Saat ini saya sedang super waras, setelah saya gila hampir empat puluh tahun. Maka, saya ingin mbuang kepala saya agar saya waras total. Selama kepala ini masih nempel tubuh saya, saya akan gila terus! Ketika Tuhan memanggil saya dalam kondisi waras, saya pasti mampu menyebut asma-Nya.''
''Pak maaf, saya tidak bisa melanjutkan nyopir.'' Begjo merintih. Ia ngompol pada titik puncak ketakutannya.
''Saya perlu bantuan Anda, untuk mbuang kepala saya di jalan tol. Sebab, bila kepala saya ini saya buang ke laut, akan dimakan ikan. Ikan yang makan kepala saya, akan dimakan manusia. Oh, jangan. Sebab, sari pati kepala saya penyebar virus berbahaya bagi siapa pun yang makan ikan ikan yang makan otak saya. Generasi yang memakan sari pati otak saya, akan jadi pengacau negeri ini. Kalau negeri ini terus menerus kacau, kapan mencapai Zaman Emas?''
''Zaman Emas, apa itu, Pak?'' Begjo heran.
''Jika Reformasi terwujud. Anda tahu reformasi?''
''Reformasi bermula waktu Pak Harto lengser jadi presiden karena didemo para mahasiswa yang ngumpul di Gedung DPR pertengahan Mei 1998? Apa benar, Reformasi itu artinya mbrantas pemerintahan yang korupsi?'' tanya Begjo lugu.
''Pinter.'' Seru lelaki yang ingin membuang kepalanya itu.
''Ah, saya ndak pinter, cuma lulus SD, lalu ajar nyopir dan jadi sopir taksi.
Bapak kerja apa?'' tanya Begjo memberanikan diri.
''Saya juga sopir, tapi bukan nyopiri mobil!''
''Nyopiri apa Pak?'' Begjo bingung.
''Nyopiri manusia, para petinggi negeri ini. Saya nyopir bukan dengan tangan, tapi dengan otak sumber berbagai taktik. Ya, otak kepala yang sekarang ini akan saya buang dan akan saya ganti dengan kepala bayi.''
''Kepala bayi?'' Begjo tambah bingung.
''Kepala bayi, otaknya masih suci. Tidak seperti otak saya, bejat, berisi otak iblis yang kerjanya menghasut, otak setan yang kerjanya menyesatkan, otak algojo yang ter-drive membunuh. Makanya, saya ingin punya kepala bayi hari ini, sebelum matahari terbenam, agar saya bisa mengisi otak itu dengan ajaran Kitab Suci yang dulu selalu dibacakan oleh ibu saya sebelum tidur. Saat-saat ibu saya membaca Kitab Suci, selalu mengusap-usap kepala saya, katanya agar apa yang ia baca bisa meresap ke otak saya. Itu kenangan indah dan termahal dalam hidup saya.''
Air mata Begjo menetes mendengar tuturan penumpangnya itu. Ia teringat masa kecilnya yang pahit. Ia tidak punya secuil pun kenangan manis bersama ibunya. Si ibu 'menghilang' saat ia berusia enam bulan. Setelah dewasa ia baru tahu, ibunya dibawa orang-orang bersenjata di pagi buta, setelah lebih dahulu dipukuli dan ditelanjangi oleh mereka itu. Ayahnya, telah hilang saat ia masih dalam kandungan.
''Kok nangis Mas Sopir?'' tanya lelaki tua yang semula menjulurkan kepalanya di jendela taksi, kini kembali duduk tertib di jok belakang sopir.
''Saya terharu Bapak tidak jadi mbuang kepala,'' Begjo berdusta.
''O..., saya tetap akan mbuang kepala saya!'' bisik lelaki tua itu, sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
''Tolong, tembak kepala saya!'' lelaki tua itu menyerahkan pistol pada Begjo. ''Pak, eling Gusti Allah!'' Begjo gemetar, menolak pistol itu.
''Anda tidak mbunuh saya. Ini kemauan saya, karena saya tidak mampu melakukannya, walau saya telah membunuh ratusan jiwa tahun enam-lima, hingga enam tujuh.'' Mata lelaki tua itu membasah. Lalu, ia menyerahkan lagi amplop pada Begjo sambil berbisik, ''Ini surat wasiat untuk Anda, ucapan terima kasih saya!''
Begjo diam. Ia tidak menginginkannya amplop itu.
''Mas Sopir, yuk cari tempat aman, agar Anda bisa nembak kepala saya dengan tenang,'' lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu begjo.
Begjo tidak taat. Ia mematikan mesinnya di jalur peristirahatan kendaraan. ''Maaf, saya tidak bisa lagi nyopir, Pak.'' Begjo pasrah. Ia buka pintu taksi. Tapi sebelum ia melangkah, terdengar tembakan lepas memuntahkan rentetan peluru, tepat mengenai kepala Begjo. Tubuh Begjo terkulai, menyangsang di pintu depan taksinya.
Tak sampai 10 menit, polisi patroli datang menghampirinya. Pada saat itulah lelaki tua itu menembak kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak, ''Saya ingin mbuang kepala saya. Kepala yang mengotaki pembunuhan terkeji di negeri ini. Saya juga yang menembak sopir taksi ini.''
Dor! Dor! Doorrrrr!
***
Hajah Miranti dan Siti
Cerpen Humam S. Chudori
SAMPAIKAN salam saya saja sama mereka," ujar Siti Qonaah, tatkala Hayatun Nufus mengajak menengok Miranti yang baru pulang dari tanah suci, setelah menunaikan ibadah haji.
"Saya masih ada kerjaan, Fus," lanjut janda beranak dua yang sedang menambal pakaiannya yang robek.
"Kita ke sana sebentar saja."
"Iya, saya tahu. Masa kita mau bertamu sampai berjam-jam. Apalagi mereka pasti masih lelah."
"Jadi, kamu mau ke sana?"
Siti Qonaah menggeleng. Lalu katanya, "Ya, nanti saja kalau sempat, saya ke sana sendiri juga tidak apa-apa, kok."
"Mumpung sekarang belum empat puluh hari, doa mereka masih makbul. Seperti kata Kyai Bisri orang yang belum genap empat puluh hari pulang dari tanah suci, doanya masih makbul. Kita minta mereka mendoakan kita."
Siti Qonaah diam. Ia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Satu sisi ia dapat menerima pendapat Hayatun Nufus. Sebab Miranti dan suaminya, memang, belum lama tiba di Tanah Air. Bahkan belum genap sepekan mereka berada di rumah. Hampir tiap hari pasangan suami-istri itu kedatangan tamu, para tetangga yang ingin mengucapkan selamat kepada mereka. Namun, di sisi lain ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman lagi dengan Istri Nuralam tersebut. Sebab setiap orang yang bertamu ke rumah itu, hampir bisa dipastikan, pulangnya akan membawa kantong plastik. Isinya oleh-oleh dari orang yang baru dipanggil dengan embel-embel tambahan kata haji di depan namanya.
"Siapa tahu kita nanti dikasih oleh-oleh sama mereka," lanjut Hayatun Nufus, setelah agak lama Siti Qonaah terdiam.
Siti Qonaah tersenyum
"Bagaimana?" tanya Hayatun Nufus.
"Ya, sampaikan salam saya saja kepada mereka," Siti Qonaah mengulang kalimat sebelumnya.
Hayatun Nufus diam. Kenapa Siti tidak mau? Mungkinkah Siti merasa minder ke rumah Pak Nuralam? Jangan-jangan Siti sudah mendapat oleh-oleh dari mereka, hingga ia merasa tidak perlu lagi datang ke sana. Sebab rumah Pak Nuralam tidak jauh dari sini, hanya berjarak lima puluh meter. Bahkan masih dalam wilayah erte yang sama. Atau jangan-jangan Siti sudah datang ke sana? Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi pikiran Hayatun Nufus.
"Kamu sudah ke sana apa belum?" tanya Hayatun Nufus, untuk menghilangkan keraguan yang ada dalam pikirannya. "Belum. Belum sempat Fus," jawab Siti Qonaah, "Nah, sekarang saja pekerjaan saya masih banyak."
"Ya, sudah. Kalau begitu," kata Hayatun Nufus.
Setelah berkata demikian, Hayatun Nufus meninggalkan Siti Qonaah.
Siti Qonaah merasa yakin bahwa orang yang baru pulang dari tanah suci tersebut masih tidak suka dengan dirinya. Gara-gara ia pernah tidak mau mengeroki istri Nuralam.
Memang. Siti Qonaah - perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu - sering dimintai tolong untuk mengerok tetangga. Apabila ada tetangga yang masuk angin, misalnya. Miranti sering menyuruh Siti Qonaah mengeroki punggungnya. Lantaran ia merasa cocok dengan kerokan Siti Qonaah.
Suatu ketika Miranti menyuruh anaknya datang ke rumah Siti Qonaah. Maksudnya agar janda beranak dua itu mengeroki punggungnya. Namun, karena pada saat yang sama Sri Winarti sedang demam. Suhu badan anak itu tinggi, Siti Qonaah tidak tega meninggalkan anaknya yang masih balita itu di rumah sendirian. Sebab Karima, kakak Sri Winarti, masih di sekolah. Terpaksa ia menolak permintaan Miranti.
Penolakan ini rupa-rupanya membuat Miranti tersinggung. Marah. Siti Qonaah tahu setelah keesokan harinya ia datang ke rumah Nuralam, untuk meminta maaf. Karena ia tak bisa mengerok Miranti sebagaimana biasanya.
"Kamu tidak usah tanya, saya sudah sehat apa belum. Buat apa? Saya butuh dikerok itu kemarin. Bukan sekarang," demikian kata pedagang sembako itu.
"Tapi, saya ke sini juga mau minta maaf, Bu. Karena kemarin ..."
"Minta maaf?" tanya Miranti, memotong kalimat Siti Qonaah.
Siti Qonaah mengangguk.
Namun, anggukan Siti Qonaah telah disalahtafsirkan Miranti.
Orang yang minta maaf, pasti bersalah, Miranti membatin. Berarti sebetulnya kemarin dia tidak punya kerjaan. Kenapa dia tidak mau mengerok saya?
Ya, kemarin Supardi yang disuruh menghubungi Siti Qonaah. Dan, anak lelaki itu hanya bilang "Bu Siti tidak mau, Bu," tanpa menjelaskan kenapa janda beranak dua yang biasanya mau disuruh mengerok tetangga itu menolak perintah Miranti yang disampaikan lewat Supardi.
"Kemarin saya tidak bisa ke sini karena ..." "Sudah," potong Miranti, untuk kedua kalinya, "Sekarang kamu pulang saja, Saya sudah sehat. Tidak perlu dikerok lagi."
Sejak itu, Siti Qonaah tidak pernah disuruh Miranti mengerok punggungnya. Namun, perempuan yang ditinggal mati suaminya itu hanya berpikir suami Nuralam itu sudah tidak pernah masuk angin lagi. Lantaran paling tidak dalam sebulan sekali ia pasti minta Siti Qonaah mengerokinya.
Siti Qonaah baru menyadari kalau Miranti masih marah terhadap dirinya, tatkala ia mencoba utang beras tetapi tidak dikasih. Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, Miranti sering mengutangi beras kepada Siti Qonaah. Terutama sejak Siti Qonaah ditinggal mati suaminya.
Rupa-rupanya Siti Qonaah masih kecewa kepada orang yang baru menunaikan ibadah haji itu. Itulah sebabnya ia tidak pernah berusaha bertamu ke rumah tetangganya yang baru pulang menunaikan ibadah haji.
Ketika dua hari yang lalu Sri Winarti - anaknya yang kedua - minta buah korma. Siti Qonaah tak bergeming. Anak perempuan berusia tiga tahun itu minta buah padang pasir setelah melihat Asih dan Kurnia makan buah berwarna pekat. Rupa-rupanya tetangga kiri dan kanan Siti Qonaah sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam.
Siti Qonaah yakin sekali kalau tetangganya sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam. Sebab ia melihat Supardi - anak Haji Nuralam - membawa tas plastik berwarna hitam ke rumah para tetangga. Termasuk ke rumah Kamal, orangtua Asih, dan ke rumah Agus, ayahnya Kurnia. Dua rumah yang berdiri mengapit tempat tinggal Siti Qonaah.
"Nanti kalau Emak punya duit, emak beli, Nak," kata Siti Qonaah kepada anak perempuannya yang merengek minta buah korma.
"Nia sama Asih tidak beli Mak. Tapi dioleh-olehi pak Haji Nuralam," jawab Winarti.
"Ya, sudah ..."
"Tapi, emak mestinya ..."
"ASSALAMUALAIKUM," sebuah suara membuyarkan lamunan Siti Qonaah.
Perempuan yang sejak tadi belum beranjak dari tempat duduknya, tersentak kaget. Ia tidak menyangka orang yang tadi mengajaknya bertandang ke rumah Haji Nuralam sudah kembali lagi. Ia membawa dua buah kantong plastik kecil warna hitam.
Belum dipersilakan penghuni rumah, Hayatun Nufus sudah masuk. Ia duduk di tempat semula, seperti beberapa saat sebelumnya. Hayatun Nufus memang selalu berbuat demikian jika bertandang ke rumah Siti Qonaah. Ya, apabila sudah mengucapkan salam dan pintu rumah dalam keadaan terbuka Hayatun Nufus langsung nyelonong masuk.
"Ini ada titipan dari Bu Hajah Miranti," ujar Hayatun Nufus, sambil meletakkan satu kantong plastik hitam di atas meja. "Apa ini?" tanya Siti Qonaah.
"Kurma sama kacang arab," jawab Hayatun Nufus.
Siti Qonaah diam. Ia seperti tidak percaya dengan penuturan Hayatun Nufus. Betapa tidak, beberapa saat sebelumnya ia sempat membatin tentang sikap orang yang baru datang dari tanah suci. Lantaran rumahnya dilewati oleh Supardi tatkala lelaki kecil itu membagikan buah tangan kepada para tetangga.
"Kamu tidak salah Fus?"
"Buat apa saya bohong?" Hayatun Nufus balik bertanya.
Siti Qonaah diam. Ia tetap masih tak percaya kalau kantong plastik kecil berwarna hitam itu untuk dirinya.
Selanjutnya Hayatun Nufus menceritakan pengalaman pahit yang dialami Nuralam dan Miranti ketika menunaikan ibadah haji, sebagaimana yang dituturkan oleh Miranti.
Mungkinkah apa yang dialami Bu Miranti karena ia pernah menolak saya hendak utang beras? Kalau cuma kejadian itu kan saya baru dua kali ditolaknya utang beras.
Sebab sebelumnya ia sering memberi pinjaman beras kepada saya? Atau barangkali bukan hanya saya yang sering diperlakukan demikian oleh Bu Miranti sehingga ia harus kelaparan di tanah suci? Jangan-jangan ....
Siti Qonaah segera istighfar, ia tidak ingin mengembangkan prasangka buruknya terhadap orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji itu.
Siti Qonaah memang sudah dua kali ditolak utang beras, lantaran Siti Qonaah terlambat menerima upah dari orang yang menyuruhnya mencuci pakaian. Terpaksa hari itu Siti Qonaah hanya mengisi perutnya dengan air. Jika siang itu Siti Qonaah makan, dapat dipastikan, kedua anaknya tidak akan kebagian nasi. Siang itu pun, nasi yang masih ada diusahakan Siti Qonaah untuk dua orang anak. Kendati ia yakin mereka tidak terlalu kenyang. Untunglah sore harinya Andi, anak Priono, datang. Lelaki kecil itu mengantar upah cucian dari orangtuanya.
"Ibu bilang, ibu minta maaf, Lik," kata Andi setelah menyodorkan uang kepada Siti Qonaah, "Ibu baru sempat ngasih."
"Tidak apa-apa, le," jawab Siti Qonaah, "Bilang sama Ibu, Lik Siti terima kasih."
Setelah menerima upah dari orangtua Andi, Siti Qonaah belanja beras di warung Miranti. Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan berhutang jika punya uang. Namun, tanggapan Miranti lain. Ia menganggap Siti Qonaah telah membohongi dirinya dengan mengatakan belum dapat uang.
"Kalau memang punya uang lebih baik beli seperti sekarang ini," kata Miranti, tatkala menyerahkan uang kembalian kepada sang pembeli, "Tidak usah pura-pura tidak punya uang segala."
Betapa sakitnya perasaan Siti Qonaah mendengar pernyataan sang penjual. Andai kata kalimat itu diucapkan sebelum Siti Qonaah menyerahkan uang, ingin rasanya Siti Qonaah membatalkan transaksi jual beli itu.
Peristiwa ini, sebetulnya, sempat terlupakan oleh Siti Qonaah. Tidak heran jika ia mencoba utang beras lagi, tatkala belum mendapatkan upah dari orang-orang yang menyuruhnya mencucikan pakaian. Hasilnya tetap saja sama. Siti Qonaah tidak diberi kesempatan mengutang beras lagi.
Padahal biasanya Siti Qonaah mudah mendapat utang beras di warung Miranti. Namun, setelah Miranti merasa kecewa karena tidak dituruti perintahnya. Perempuan bertubuh gembrot itu tak mau mengutangi beras lagi kepada Siti Qonaah. Dan, Siti Qonaah pun tahu diri. Ya, setelah dua kali tak diijinkan utang beras ia tak mau pinjam beras di warung Miranti. Siti Qonaah memilih membeli beras di warung lain. Lantaran ia tidak ingin mendengar suara yang tak enak dari mulut Miranti.
"Mudah-mudahan peristiwa yang dialami Pak Nuralam sama Bu ..."
"Katanya kita sudah dikasih korma, Mak?" Sri Winarti membuyarkan lamunan Siti Qonaah.
"Tadi Lik Nufus bilang emak sudah dikasih korma sama Bu Miranti," tambah gadis kecil yang baru masuk rumah itu, "Mana Mak?"
Siti Qonaah masih tetap mematung. Sebab beberapa saat sebelumnya ia sempat berpikir untuk mengembalikan korma itu, karena ia yakin tetangganya satu erte yang baru pulang haji itu terpaksa memberi oleh-oleh setelah diingatkan oleh Hayatun Nufus. Setelah dirinya 'kirim salam' lewat Hayatun Nufus.
Kini ia bingung sebab anaknya tampak sangat ingin sekali menikmati buah korma yang masih terbungkus di kantong plastik hitam yang ada di depannya.
"Ini ya Mak?" lanjut Sri Winarti.
Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, gadis kecil itu membuka kantong plastik hitam. Lalu memakannya. Membawanya ke luar rumah.
Sebenarnya Siti Qonaah ingin melarang anaknya memasukkan buah itu ke mulut. Namun, ia tidak tega melakukannya. Lantaran anak itu kelihatan senang sekali menikmati buah padang pasir yang baru pertama kali dimakannya.
"Ini buat Sri semua ya, Mak," ujarnya tanpa menoleh, sambil melangkah menuju pintu. Siti Qonaah diam.
Di depan pintu Sri Winarti berhenti sebentar. Menoleh ke arah ibunya. Lalu katanya, "Korma ini cuma sedikit. Mbak Rima tidak usah dikasih."
Siti Qonaah mengangguk. Tetapi, ia tidak tahu kenapa harus mengangguk.***
Cekokiah
Cerpen Beni Setia
LIMA tahun lalu mereka bertengkar berkepanjangan, sebelum Ina mau menerima ide berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk hamil - punya anak. Pertengkaran yang dimulai di pembaringan, dilanjutkan sebangun tidur, ketika sarapan, saat naik mobil, ketika pisah di halaman kantor Ina, saat menjemput Ina, ketika menonton TV, dan ketika mau tidur beradu punggung. Bahkan, seminggu kemudian, ketika berserentak berpura-pura bersenggolan sambil serentak masing-masing melengos membuang bayangan anak yang diuleni saat itu. Berkali-kali.
"Tapi aku tidak terbiasa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa," kata Ina membantah dengan kalimat baku buat menunjukkan penolakan formal. Berkali-kali, seperti membaca mantra penyihir untuk mengubah batu jadi apel, daun jadi duit seribu rupiah, dan orang jadi gagak. Setengah frustasi karena yakin tak mungkin akan ada perubahan sesuai ilusi dari kenyataan yang mengada - telah lima tahun mereka menikah, dengan ikrar utama ingin secepatnya beranak. Ya!
"Aku biasa sibuk," kata Ina, terisak-isak - pada akhirnya. Muksin merangkul Ina dan lembut membelainya. Mengecupi bibirnya, dengan sentuhan ringan yang berulang, seperti arus listrik dinamo menghidupkan sipat magnetik di besi batangan lewat arus di lilitan kawat. Berulang dan makin lama panjang melekat dan kelekatannya, seiring reaksi Ina. Yang percaya pada kalimat dr Kulanter Tengtong, kalau kualitas sperma Muksin dan daya renangnya prima, kalau sel telur, keasaman mulut rahim dan rongga rahimnya Ina kondusif untuk hamil.
Ya, tapi kenapa tak ada kehamilan?
Kini hari-hari mereka ditempuh dengan petunjuk dan perhitungan primbon kalender Ogino-Knaus, berlatih untuk memastikan dan menuruti petunjuk Keefe, Billings dan Mittelschmerz, dan berpraktek untuk memastikan peningkatan suhu basal tubuh Ina, kelimpahan lendir rahim, dan perubahan jaringan dan cervix. Sementara itu lukisan panorama di dinding kamar diganti dengan diagram ovulasi Dr J.A. Menezes, Dr Josef Rotzer, dan seterusnya - mengalahkan klinik KB bidan Istoolat. Tapi meski posisi Ina di atas agar jarak ke mulut rahim memendek dan semburan menderas - yang dipicu berpantang tiga minggu -, bahkan ditambah mantra yang diawali shalat malam, dzikir, dan puasa Daud: tidak sekalipun ada gejala hamil. Mensturasi Ina lancar terus. Deras seperti kran PDAM.
"Apa takdir kita harus sebatangkara?"
"Mungkin harus dipancing dengan anak pungut?"
"Kenapa nggak istri pungut? Gendakan?"
"Aku serius, Ina," kata Muksin. Ina tersedu. Muksin merangkul dan perlahan melembutinya. Itu hari Sabtu, satu hari setelah Ina memenuhi jadwal rutin bulanannya - mensturasi yang ketiga puluh lima di tahun ketiga mereka mengikuti petunjuk dr Pong Kettipong. Dan bagai batang besi yang dililiti kawat, tapi lama tak dialiri arus listrik, sipat magnetik Ina bangkit dan berinkarnasi sebagai si kekasih yang dikutuk setengah hari lagi dunia kiamat. Malam itu mereka bermesra tanpa bercinta, berbisik-gurau sampai hari berganti dan malam berikut datang. Bermesra sambil masak, makan, mencuci, mandi dan tidur tanpa bercinta.
"Kita tak akan punya anak," kata Muksin sambil tersenyum dan berguman ikut Pahama menyenandungkan "Kidung" di radio mobil. Ina cuma tersenyum, tanpa marah dan tersinggung ditakdirkan jadi perempuan yang tidak akan punya anak. Mereka percaya garis nasib, semacam jalan tol yang terbuka untuk ditempuh dengan menikmati apa-apa saja yang tiba-tiba menyeruak dan menggejala di sekitar mereka. Dan memang kegiatan mereka kini, tiap akhir pekan: traveling .ke luar kota dan bersantai di mana saja. Selalu bermesra di mobil lalu mampir ke sembarang hotel dan losmen untuk bercinta tanpa takut dirazia polisi susila. Bu-kankah mereka suami-istri, yang berpergian dengan membawa STNK, BPKB, SIM, KTP, kartu kredit, kartu debit dan surat nikah? Lengkap. Bermartabat.
Sampai satu malam, sehabis bermesra selama empat jam dalam perjalanan panjang dari Surabaya, seusai bercinta di sebuah villa di tepi danau di Sarangan yang dingin - setelah masing-masing menghabiskan lima belas tusuk sate kelinci -: Ina terjaga. Tersentak ditindih Muksin, yang memegang telor ayam cangkang putih. Ina memberontak, tapi kakinya dipegang oleh bapak dan bapak mertuanya. Muksin tertawa. Ibunya dan ibu mertuanya, sambil menindih tangannya berusaha mengangakan mulut. Tanpa senyuman Muksin memasukkan cairan telor - setelah cangkangnya dipecah di ujung ranjang. Ina terbelalak saat cairan telor itu me-rasuk kerongkongan dan mencercah lambung, membangkitkan kontraksi mual. Ina berteriak. Tersentak. Terjaga. Celingukan dalam dingin tak berpakaian. Lalu menyelusup ke balik selimut dan hangat tubuh Muksin.
"Aku mimpi dicekoki telor mentah," kata Ina, mual-mual, pagi-pagi ketika bangun terlambat. Muksin, sambil membaca koran pagi, tersenyum. Mengecupnya. "Oleh siapa? Aku?" katanya. Ina tersentak. Ina tersipu. Lalu pura-pura sigap meraih nasi pecel dan membuka bungkusan sate kelinci yang sudah dibeli Muksin dari kios di tepi telaga. Siangnya Ina makan nasi kelinci. Malamnya Ina makan sate kelinci. Dan paginya, sebelum pulang, kembali sarapan sate kelinci. Bahkan memesan lima puluh tusuk sate kelinci, yang dimakan tanpa nasi, sampai habis dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Muksin melirik.
"Masih trauma mimpi dicekoki?"
"Ya,"
"Kenapa?"
"Anu, telornya amis - telor ayam kampung sih," gumannya. Lalu bungkam, karena perutnya melilit-lilit. Seakan-akan irisan daging kelici dari lima puluh tusuk sate itu, yang hancur oleh enzim dalam lambung itu, bergabung dan membentuk sesosok kelinci kloning yang mencari jalan ke luar. Meloncat-loncat. Memanjat. Merangkak sampai di pangkal kerongkongan. Ina pening - mual. Ina ingin muntah. Dan memang muntah ketika mobil sampai di rumah, dan Muksin turun membuka pintu halaman. Tubuhnya dingin. Muksin gopoh membimbingnya masuk. Memijit kuduknya. Membalur tubuhnya dengan minyak kayu putih. Membuat minum hangat ketika Ina kembali muntah. Tubuhnya dingin. Menggigil di tempat tidur. Meringkuk bagai tahanan politik.
"Ada apa ini?"
Ina menggeleng. Dan, tidak seperti biasanya, ia mulai menangis, sehingga Muksin gopoh berangkat ke Lamongan. Di jalan ia menelpon Ibunya dan ibunya tertawa. "Kamu mungkin jadi bapak," katanya. Muksin tak percaya. Ia menelepon ibu mertuanya dan mendapat jawaban yang sama. Ia tak percaya. Ia meneleponi semua temannya dan mendapat jawaban yang serupa. Ia ingin menelepon lagi tapi pulsa HP-nya habis. Ia membeli lima porsi tahu campur dan bergegas pulang. Di rumah ia melihat Ibu dan Mertuanya tertawa menyambut kegopohan dan kepanikannya. Tapi benarkah Ina hamil? Benarkah Ina ngidam? Muksim tak yakin, ia masih harus menunggu tujuh hari, sampai jadwal mensturasi Ina tiba.
***
Uang Jemputan
Cerpen Farizal Sikumbang
Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?
Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?
Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat pindah tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.
Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk. Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya begitu gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping. Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk tubuhmu.
Maka ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari kata untuk mengenalmu.
Di dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu. Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu.
Tepat pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu. Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah, siku tanganmu menyentuh bahuku.
"Maaf," katamu pelan sambil sedikit tersenyum.
"Tak apa," jawabku pula.
Lalu kamu kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan.
"Mau ke mana," tanyaku.
"Ke Padang," jawabmu.
Aku terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara.
"Ke Padang tempat siapa," begitu kataku selanjutnya.
Sejenak engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban.
"Ke rumah orangtua," jawabmu.
"Lalu di Bukittingi tempat siapa?"
"Tempat kakak."
"O."
"Kalau uda dari mana?"
"Dari Medan," jawabku
"Dari Medan," katamu pelan.
Lalu selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas Negeri Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup kenal. Aku pun tak mengerti, mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.
Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku menemukan rumahmu.
Rumahmu berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu dengan tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan kamu yang membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikannya itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.
"Menikah? Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya," tanya abak setelah kunyatakan keinginanku itu.
"Rumahnya di Air Dingin," jawabku
"Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis Batak itu kemari," jawab amak.
"Tidak-lah mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di sana."
"Kalau memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan."
"Iya bak."
Lalu dua hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan mereka. Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak kita duga.
"Apa? Sepuluh juta?"
"Ya."
"Bagaimana kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk pesta dan membeli perlengkapan lain."
"Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan."
"Terus terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami."
Lalu tidak berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri.
"Abak, mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu," tanyaku.
"Sepuluh juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri."
"Tapi abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta pernikahanku."
"Ini soal adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan."
"Itu kan lebih bagus abak."
"Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah susah payah aku sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu."
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan tubuh di atas kasur. Tidak lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu.
"Uda, ayah sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda"
Begitu bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu.
Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak berdinding ini, kuharap kau mengerti deritaku ini.
***
Padang 2007
Ceracau Ompu Gabe
Cerpen Hasan Al Banna
Ompu Gabe?" sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, "…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar...."
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, "Marihot…." katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan dirinya menghadap deretan botol tuak. Lalu, tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kegelisahan—entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan cita-cita dengan istilah—yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak!
Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling Sumatera dan Jawa? Maka, dengan air muka yang berkeciak, Marihot membeberkan liuk-lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dengan kilau pertunjukan modern. Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos- mitos batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi.
Maka, sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi, juga menggalah dukungan—motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka, Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas segala kenangan tentang opera batak.
Namun, Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan menyodokkan pertanyaan yang mesti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.
Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Ketika itu, siapa yang sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak adalah primadona, selalu ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan dalam hitungan minggu.
Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli dengan beras atau hasil ladang. Monis pe dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung. Maka, orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan dan jengking siutan pun cukup ampuh menjerang tubuh.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, sejak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, dan bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton. Puja-puji apalagi yang tidak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah kehilangan daya. Diam- diam, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir dan tidak segan menonton di barisan depan.
Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan bendera cinta. Pun ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yang ke sekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda!
Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung. Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu Gabe. Teresia adalah mata air kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman berganti gaun dan masyarakat halal menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang, termasuk grup tempat Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan, bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer.
Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu, Teresia tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke lubang yang gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan. Dan ya, berhasil. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta menampung kembali pemain dan pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dari gebyar panggung.
Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris mengamuk karena pertunjukan lalai dimulai. "Aku yang main!" Teresia menghadap suaminya, lalu segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.
Maka, tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia memikat hati penonton—juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tidak pernah menghasut Teresia memikat hati siapa pun di luar lakon. Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu adalah lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah kebahagian sempurna! Tapi kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu, sahabat Ompu Gabe, bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib meninggalkan sekerat surat. Hanya sembilan tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur tujuh dan lima tahun. Ompu Gabe berkubang luka!
Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya, menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat hasrat untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun menjual seluruh perangkat musik dan segala aset opera. Lalu, janji pun ditancapkannya ke udara: tidak untuk opera dan tidak untuk perempuan!
Nah, ketika sebagian teman— mantan pemain opera—masih tetap berkesenian meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah, ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda bernama Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka.
Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak lama gagal menjemur luka dan membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia pun sebenarnya paham jika Marihot tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan Ompu Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak pantas menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak lalu tak terkunci?
Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling, terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, dan hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi tekun memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika Marihot menjumpai Ompu Gabe pada kesempatan yang lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, dan bernyanyi sampai serak.
"He, jariku masih mahir memetik senarnya," Ompu Gabe mengumbang diri.
"Lebih paten kalau dipetik di panggung," Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim.
"Mmh, tidak…" Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang.
Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar. Apalagi ketika mengetahui pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yang mulai goyah? Maka, pada malam yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan.
"Baiklah. Aku bersedia, Marihot…" Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, "Aku juga akan membujuk kawan-kawan untuk berlatih dan main." Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan gairah.
"Tapi ada syaratnya, Marihot…" sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, "Aku yang menjadi anak mudanya, heh!" Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing.
Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung. Mungkin pekan depan lebih meriah saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya ketika berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala.
Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman, jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal dan lihai main silat. Nah, cerita punya cerita, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan— vorhanger, juga istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu telah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel. Lalu, ya, dihukum gantung….
Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk- tang. Meski masih berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya.
"Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…?" Ompu Gabe bergumam. Dari tadi, dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar,tetapi cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. "Biasanya kau duduk di depan itu…." Namun ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, "Mmh, kau tidak datang…?" bisiknya ke telinga sendiri. Harapannya terjungkal!
Adegan pengujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, setelah pembacaan pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak.
Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak- sorai. Tak ada yang tahu ajal sudah tercerabut dari mulut yang berceracau:
"Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!"
***
Gung Ayu Ariani
Cerpen Sunaryono Basuki Ks
GUNG Ayu Ariani seolah merasa berdiri di depan candi bentar1 yang terukir indah, pintu gerbang yang terbuat dari batu merah jalan masuk ke dalam puri.2 Dia tak menyadari bahwa peristiwa itu sudah lama berlalu, sejauh dia dapat merasakan perasaannya yang tercabik-cabik. Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak terakhir kali dia berdiri di depan pintu gerbang puri tempat keluarga besarnya tinggal. Di rumah besar itu tinggal kakek neneknya yang sekarang sudah almarhum, ayah ibu dan saudara-saudaranya. Dia selalu ingat Gung Biyang, ibunya, dan Gung Aji, ayahnya, sangat baik kepadanya. Mungkin dialah anak yang paling mereka sayangi. Kenangan kepada keduanya mengguncangkan bandul lonceng perasaan di dadanya, yang kemudian terasa sesak, mau meledak, dan benar-benar pecah dalam derai air mata yang tak terbendung. Desakan perasaan dari dalam itu seolah memompa dadanya dan satu-satunya cara merekamnya ialah berurai air mata. Di ujung bandul dia bisa merasakan kesedihan yang tertekan, di ujung yang lain dia merasakan kegembiraan. Bukankah kedua orang tuanya sudah memberinya kebahagiaan sampai dia dewasa?
Beberapa tahun lamanya dia merasakan perih tersayat di dadanya bilamana memikirkan keluarganya, terutama Gung Biyang. Kepedihan itu makin menyayat saat dia mendengar Gung Biyang meninggal, dan pada tahun berikutnya, Gung Aji menyusul. Pada kedua kesempatn itu dia ditolak para orang tua dalam keluarga untuk masuk ke dalam puri untuk memberikan penghormatan terakhir pada kedua orang yang dicintainya dan mencintainya itu. Upacara kematian itu harus berlalu dengan menorehkan luka di dadanya.
Hantaman badai di dadanya itu membuat Gung Ayu Ariani patah hati, dan tak akan pernah memberi tahu anakanaknya siapa dirinya sebenarnya, dari mana asalnya. Terasa berat untuk berbohong, tetapi dia harus berbohong agar anak-anaknya tidak terkena getah keputusannya meninggalkan keluarga dan memilih menikah dengan lelaki idamannya. Kalau anak-anaknya bertanya, dia selalu menjawab bahwa dia berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Timur, dan bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Dia memang berbohong tentang kampung asal usulnya, tetapi tidak tentang kakek nenek mereka yang memang sudah meninggal. Anak-anak tidak tahu bahwa dia berasal dari sebuah puri di Klungkung, bahwa dia adalah seorang perempuan bergelar Anak Agung, dan bahwa anak-anaknya itu punya sepupu dan juga paman yang bergelar Anak Agung. Dia kubur semua itu dalam-dalam, dan dia menjadi seorang wanita baru. Alangkah terkejut anak-anaknya bila mereka tahu asal usulnya dan kemudian ditolak oleh keluarga besar untuk sekadar menengok kediaman kakek nenek mereka.
Gung Ayu Ariani bisa berbahasa Jawa dengan lancar karena sejak kecil dia banyak bergaul dengan orangorang Jawa yang sudah lama menetap di Klungkung, bermain-main dengan sebayanya, bahkan memainkan permainan anak-anak yang berasal dari Jawa. Orang bilang, dulu mereka keturunan Majapahit, datang ke Bali sejak jatuhnya kerajaan besar itu. Dulu mereka menjadi pengawal seorang putri yang sudah memeluk agama Islam, untuk menjemput pangeran yang lari ke Bali. Pangeran itu menolak untuk diajak pulang dan berganti agama, dan tetap bersikukuh untuk memeluk agama Hindu. Karenanya sang putri pulang kembali dengan sedikit pengawal, sedang pengawal-pengawal lain ditinggalkan di Klungkung. Kisah itu mungkin benar, mungkin juga tidak benar. Tetapi memang kalau ditanya dari mana asalnya, mereka hanya bisa menjawab bahwa mereka sudah lama menetap secara turun-temurun. Lalu, ada pendatang baru dari Jawa yang berbaur dengan mereka. Kebanyakan dengan pendatang baru inilah Gung Ariani bergaul.
Tak seorang pun mengira bahwa dia bukanlah seorang penutur asli bahasa Jawa. Aksen Bali tak terdengar, apalagi namanya bukan Anak Agung Ayu Ariani lagi. Sekarang orang-orang mengenalnya sebagai Hajjah Ari, yang rajin menghadiri pengajian dan ke manamana mengenakan jilbab. Seorang mualaf 3, tak seorang pun mengira bahwa dia seorang mualaf. Tak seorang pun mampu menelusuri asalnya. Bahkan beberapa teman yang berasal dari Bali yang tinggal di kota ini, tak pernah mengira bahwa dia berasal dari Bali. Dan bahasa Jawanya makin halus karena dia pernah tinggal di Yogyakarta.
Dua puluh tahun telah berlalu, tujuh tahun setelah pernikahannya dengan Retmono, saat dia sudah melahirkan bayi perempuan dan lelaki. Dia pernah memberi tahu kedua orang tuanya bahwa lelaki yang dicintainya itu adalah Raden Mas Retmono, putra Raden Mas Retono dengan Raden Ayu Ambarwati. Namun, mereka tak pernah memasang gelar itu di depan nama mereka. Orang tua Retmono berasal dari keluarga bangsawan di Solo, namun tak pernah menganggap gelar kebangsawanan itu penting.
Mungkin, yang dianggap kesalahan besar adalah pernikahan itu. Gung Biyang pernah menyebut nama Gung Jelantik, paman jauhnya, untuk menjadi suaminya. Di dalam kehidupan bangsawan Bali, seorang gadis baik menikah dengan sepupu atau sepupu jauh. Lebih baik lagi kalau bisa menikah dengan paman jauh, jadi dapat memanggil suaminya nanti dengan sebutan Gung Aji. Walaupun Gung Jelantik pamannya, usianya hanya berbeda tiga tahun dengannya. Dia adalah sepupu ayahnya, putra termuda dari saudara termuda kakeknya.
Bisa juga karena proses pernikahan mereka tak pernah direstui kedua orang tuanya. Karena tahu Gung Ayu Ariani tak akan mendapat simpati kedua orang tuanya dalam pernikahan itu, dia pun berkonsultasi dengan seorang paman yang tak terlalu konservatif. Pamannya itu mengenal Retmono dengan baik dan dapat menilai bahwa lelaki itu memang lelaki baik-baik, sesuai untuk suami Gung Ayu Ariani, walaupun dia bukan dari kalangan keluarga. Paman itu memberi saran agar sebaiknya mereka kawin lari saja.
Merangkat merupakan solusi biasa bilamana ada halangan dalam sebuah perkawinan, terutama bilamana mempelai berasal dari kasta yang berbeda: yang wanita dari kasta yang lebih tinggi. Merangkat dilaksanakan dengan rapi sesuai tuntutan adat: Gung Ayu Ariani membawa beberapa potong pakaian ketika dijemput Retmono di tempat yang telah disepakati. Mereka langsung menuju tempat persembunyian yang dirahasiakan, dijemput sejumlah kenalan yang lebih tua, yang sudah siap mengenakan pakaian adat Bali. Merekalah yang bertindak sebagai utusan, sebagai pejati yang mengabarkan bahwa Gung Ayu Ariani sudah dilarikan orang. Mereka mulamula menuju rumah ketua RT tempat keluarga Gung Ayu tinggal, untuk melaporkan maksud mereka. Dengan diantar ketua RT, mereka menuju puri dengan menyalakan dua lampu minyak tanah sebagai tanda bahwa mereka adalah utusan. Kedua pejati itu bertemu keluarga Gung Ayu, bicara dengan bahasa halus, bahkan teramat halus, namun pihak keluarga merasa terkejut dan marah. Mereka minta Gung Ayu dan calon suaminya dibawa menghadap agar bisa ditanyai langsung, apakah mereka memang saling mencintai.
Dari pertemuan itu, Gung Ayu Ariani mendapat keputusan yang memukul perasaannya. Keluarga tidak akan menghadiri upacara pernikahan dan mereka tak diperkenankan memasuki puri untuk waktu yang tak ditentukan. Mula-mula Gung Ayu Ariani mencoba meyakinkan dirinya bahwa kedua orang tuanya tidaklah bersungguh-sungguh dengan keputusan ini. Di dalam pertemuan keluarga yang bersifat resmi ini, mereka memang harus menunjukkan sikap tegas untuk memberi kesan bahwa mereka memang sungguh-sungguh mematuhi peraturan keluarga dan tidak melanggar adat. Tidak satu pun gadis dari keluarga itu boleh menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah atau juga dengan lelaki dari suku lain. Namun Gung Ayu Ariani juga tahu bahwa sejumlah keluarga lain mengizinkan putri mereka menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah asal punya gelar akademik khusus atau bahkan berpangkat. Dia tahu temannya menikah dengan Dr Wayan Dibia yang lebih rendah kastanya, atau dengan Kapten Marinir Ketut Pugeh. Mereka seolah menutup mata. Dan dia akan menikah dengan Ir Raden Mas Retmono, bukan lelaki biasa. Dia berharap, lama-kelamaan hati kedua orang tuanya akan melunak, apalagi bila mereka berhadapan dengan cucu-cucu yang lucu. Mungkin Gung Ayu Ariani akan diizinkan pulang, disambut sebagai keluarga. Namun, hal itu tak pernah terjadi, apalagi kedua orang tuanya meninggal satu per satu. Pernah mereka datang ke puri dengan membawa dua bocah kecil yang lucu untuk melunakkan hati Gung Biyang dan Gung Aji. Namun Komang Ratning, pembantu mereka yang sudah tua yang keluar dan dengan lidah hampir terpaku menyampaikan pesan bahwa Gung Biyang dan Gung Aji tak berkenan menerimanya. Dilihatnya mata perempuan tua itu berkubang air mata. Ingin dia memeluk perempuan tua ini, yang mengasuhnya sejak kecil, namun niat itu diurungkannya. Diam-diam diberikannya beberapa lembar uang kertas yang mula-mula ditolak, namun akhirnya diterima dengan isak tangis. Saat itulah dia memandang dengan hati bolong candi bentar yang memisahkan dunia keluarganya dan dunianya. Gapura itu tak pernah lagi dilintasinya. Itulah kenangan yang diingatnya untuk waktu yang sangat lama: dua puluh tahun.
Gung Ayu Ariani masih memegang gagang telepon yang bergetar di tangan.Antara rasa bahagia dan rahasia yang ingin dikuatkannya. Hampir tak dapat dipercaya apa yang didengarnya. Telepon dari Dewi Saraswati, anak sulungnya dari Columbus. Jam lima pagi, udara sejuk di luar.
"Dewi harap Mama tidak terkejut. Dewi berhasil memperoleh gelar master, dan juga seorang calon suami."
Calon suami? Apakah orang Amerika? Tapi teka-teki segera pecah.
"Dia sangat baik, sabar, penuh pengertian, dan setia. Mama dapat menilai dari suaranya. Dewi bukan lagi gadis kecil, Ma. Mau tahu namanya? Anak Agung Alit, lulusan ITB. Dia juga memperoleh gelar master di Ohio State University tempat Dewi belajar. Alit dari Klungkung! Pasti Mama menyukainya!"
Memang, Dewi bukan gadis kecil lagi, yang rambutnya dijalin dengan hiasan pita merah. Bukan gadis kecil yang dengan manja minta dipangku dan disuapi kala makan walau sudah duduk di kelas dua SD.
Dewi seorang perempuan dewasa. Pribadi yang mungkin tak lagi dikenalnya. Dan dia segera pulang dengan seorang calon suami pilihannya sendiri. Bukankah dia juga memilih Retmono sebagai calon suami, memilih sendiri, dan menolak pilihan Gung Biyang? Dia tidak terkejut oleh isi berita yang disampaikan padanya, tetapi dengan cara Dewi bercerita tentang calon suami. Rasanya, Dewi bukan gadis remaja yang dikenalnya. Tetapi, siapakah Gung Alit? Apakah dia anggota keluarganya sendiri? Apakah sejarah akan berulang kembali seperti kata orang Prancis? Tak kuasa dia menahan air matanya yang tumpah.
Gung Ayu memberi tahu Gung Alit agar keluarganya datang berkenalan, tanpa memberitahu bahwa sesungguhnya dia juga seorang Anak Agung dari Klungkung. Tetapi, banyak keluarga Anak Agung yang tak saling berhubungan, yang berasal dari Klungkung.
Pada hari yang ditentukan, Gung Ayu merasa gelisah, tak tenteram di tempat duduknya. Dia bergerak dari ruang ke ruangan, memberi petunjuk kepada kedua pembantunya tentang hidangan yang akan disuguhkan. Dewi sendiri nampak bahagia dan anggun dalam pakaian kain kebaya gaya Yogya. Gung Alit memang pemuda yang tampan dan menarik. GungAyu mencoba menelusuri wajah siapa yang menjejak pada wajah Gung Alit. Mungkin salah seorang keluarganya. Sekilas, Gung Alit mirip Gung Aji Purwa, salah seorang pamannya. Namun, sesaat kemudian lelaki itu mengingatkannya kepada pamannya yang lain, atau sepupunya. Pikiran-pikiran itu membuatnya tambah gelisah. Saat tiga mobil berhenti di depan rumah, keluarga Retmono dan tetangga dekat yang bertugas sebagai penyambut tamu bergegas menuju halaman. Kemudian mereka diantar masuk ke dalam rumah. Mereka berpakaian adat Bali. Yang lelaki mengenakan sarung dan kemeja yang dibungkus jas, serta mengenakan ikat kepala dari kain batik. Yang perempuan mengenakan kain dan kebaya, dengan hiasan kepala dari bungabunga emas. Setiap tamu diperkenalkan kepada Retmono dan Gung Ayu Ariani seorang demi seorang oleh yang nampaknya paling tua. Gung Ayu Ariani menyalami mereka. Ketika yang tertua maju, Gung Ayu memandangnya tanpa senyum. Walaupun dia bertambah gemuk, mungkin sepuluh atau lima belas kilogram, Gung Ayu Ariani tetap mengenalinya sebagai Gung Jelantik. Lelaki itu terkejut dan ingin mengatakan sesuatu, namun Gung Ayu Ariani diam saja. Lelaki itu tahu pasti situasi sulit baginya, jadi dia diam saja dan hanya tersenyum kecil.
Gung Ayu Ariani merasa pertemuanitu sangat resmi. Ketua rombongan menghaturkan oleh-oleh yang diletakkan di atas nampan kayu yang berkaki. Di atasnya setumpuk kain batik dan songket warna-warni. Di atas nampan lain buah-buahan segar dan juga kue-kue. Mereka menyampaikan maksud kedatangan untuk berkenalan dan juga melamar Dewi Saraswati untuk Ir Anak Agung Ngurah Alit MSc. Utusan itu juga mengatakan bahwa Gung Alit adalah putra Anak Agung Udayana yang berhalangan hadir dalam esempatan baik ini. Ariani tahu bahwa Gung Udayana adalah saudara tua Gung Jelantik, dan Gung Alit adalah bayi kecil yang dulu dilihatnya sebelum dia meninggalkan puri. Gung Ayu Ariani yakin keluarganya masihingat bahwa dia adalah salah seorang anggota keluarga yang pernah memprotes adat keluarga. Mungkin juga mereka tahu bahwa Gung Ayu Ariani berjuang keras untuk tetap hidup dengan melanggar peraturan itu. Semuanya diam, tak seorang pun berani mengungkap rahasia itu. Retmono tidak mengenal mereka secara dekat, namun dapat merasakan ketegangan antara istrinya dan keluarganya. Dewi dan Gung Alit nampaknya tak menyadari akan situasi sulit ini. Semua tamu menunggu tanda dari Gung Ayu Ariani untuk mengakhiri perselisilahan keluarga yang cukup lama itu. Mungkin saat yang tepat untuk rujuk di antara keluarga. Mereka merasa bersalah karena dulu tak berani melawan keputusan para tetua keluarga, dan seharusnya berdiri kokoh membela Gung Ayu Ariani. Gung Ayu Ariani tahu semua adik dan kakaknya hadir di sini. Mereka menentang pernikahannya dan tak pernah berkabar sekalipun kepadanya. Apakah dia harus menolak lamaran ini sekadar untuk mempertahankan rasa bangganya dan menghancurkan kebahagiaan anaknya? Apakah dia tidak bisa mengorbankan penderitaan masa lalunya untuk masa depan Dewi? Apakah dia harus bertindak kejam kepada putrinya sendiri? Apakah belum cukup penderitaan bertahun-tahun hanya untuk dirinya sendiri, tak perlu dibagi? Beberapa saat lamanya dia tak bisa mengambil keputusan. Retmono sudahmemberi tahu tamunya bahwa istrinya yang mengambil keputusan untuk anak perempuan, dan dia akan mengambil keputusan untuk anak lelaki mereka.
Hidangan kue dan minuman dibiarkan tak tersentuh. Ruang tamu seakan beku. Bahkan detak jam dinding pun tak terdengar. Semua menunggu. Menunggu. Tiba-tiba Gung Ayu Ariani melempar senyum yang makin melebar. Terdengar napas lega di sudut-sudut ruang tamu.
"Gung Aji!" kata Gung Ariani memecah sunyi, "Selamat datang di rumah kami."
Dewi Saraswati menoleh ke kanan dan kiri, mencoba untuk memahami keadaan itu.
***
Singaraja, 7 Juli 2007
KETERANGAN
1 Candi bentar= gerbang untuk rumah bangsawan
2 Puri = kediaman bangsawan Bali yang bergelar Anak Agung
3 Mualaf = seorang muslim sebagai hasil memeluk agama baru. Banyak mualaf, baik lperempuan maupun lelaki, akibat dari sebuah pernikahan.
Dajjal
Cerpen Beni Setia
Jemur bantal, guling dan kasur. Setidaknya seminggu sekali gantilah seprei dan sarung bantal-gulingmu." "Agar tak ada Dajjal, Yah?" "Agar Dajjal mengerut dan terbakar jadi abu. Agar abunya terbang di panas siang dan tidak buru-buru bersarang di dalam tanah pekarangan.Tepuk-tepuk bantal dan guling agar bulu-bulu halus Dajjal beterbangan dan tidak bersarang di bantal dan guling––sehingga kamu batuk-batuk."
"Apa Dajjal pocong itu, Yah?" "Bukan. Pocong adalah orang mati yang tak ikhlas menerima kematiannya. Ia mempertahankan tubuhnya, percaya bahwa satu saat tubuhnya akan hangat lagi, lalu bisa bangun dan pulih seperti biasa. Ia menekur, berjaga di sisi tubuh yang dikafani dan dikubur dengan berbantal gumpal tanah di rongga lahad.
Dan Dajjal, setelah tiga bulan penguburan, terkadang muncul dari balik bantal tanah untuk menggerayangi hidung dan menyelinap ke rongga dada. Dajjal selalu rindu lubang hidung, atau kuping, karena tidak punya kaki,tangan,badan, kepala dan mata. Ia ingin jadi manusia, segala hewan dan tanaman yang bisa muncul di permukaan tanah tanpa mati dibakar sinar matahari."
***
Dajjal itu monster, jejadian, siluman. Induk dari segala Dajjal berada jauh di dasar Bumi,berupa batang kelam seperti tanaman parasit berujud akar––seperti bunga bangkai––, yang terpendam lama sebelum memunculkan kuncup bunga dan kemudian mekar jadi bunga raksasa beraroma busuk pemancing serangga.Nun.
Tapi Dajjal tidak memunculkan kuncup bunga. Ia melepas ruas batangnya,seperti cara pembiakan cacing pita, yang terapung dan bersarang di bawah bantal yang lembap berbau. Bertahan sampai dua tahun––bila tak dijemur di panas matahari. Diam-diam mengincar isi rongga dada lewat lubang hidung, lubang kuping dan mulut orang tidur, yang tak pernah menjemur bantal, guling, dan kasur.
Mencengkeram dan tumbuh sebagai Dajjal sempurna di paru-paru, lambung, dan jantung. Pada mulanya Dajjal hanya serabut transparan berbulu, yang gampang rontok dan bila terhirup menyebabkan kita batuk-batuk di waktu tidur. Setelah sempurna, ia jadi sulur-sulur hitam dengan kepala yang berupa setangkup cocor bebek yang akan menggerogoti tulang rawan hidung dan kuping, atau menyedot cairan isi mata dan kepala sehingga setiap manusia seperti tidak punya hidung, kuping, mata, dan otak.
Mengendalikan manusia seperti dalang mengendalikan boneka marionette dengan tali atau wayang dengan batang bambu kecil. Mendominasi sehingga tubuh itu hanya alat untuk memuaskan keinginan Dajjal, sampai manusia bersangkutan kurus, kering dan garing seperti ranting, mati dan mayatnya dikuburkan.
Pada tahap ini ia bisa bertahan seratus tahun, sambil setiap lima tahun melepas ruas tubuhnya menjadi serabut-serabut Dajjal,yang bila dalam dua tahun tidak terbakar matahari bisa mencapai rongga dada manusia akan mencapai tahap dewasa––dengan mengendalikan dan menyedot daya hidup inang.
Lantas, dikuburkan untuk bisa berkembang biak dengan menerbangkan serabut transparan–– meniru Dajjal purba yang ada di dasar Bumi. Nun.Tapi apa Dajjal itu? Di abad apa ia mulai tumbuh? Apa kreasi liar yang terbentuk di masa purbani dan gagal disisihkan seleksi alam karena memiliki daya tahan sebanding dengan agresivitas destruktif? Atau ia makhluk vegetatif penyusup dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya asing? ***
Dalam cerita wayang, dalam komik Ramayana, Rahwana adalah makhluk raksasa yang lahir dari seorang putri ambisius yang kepingin menguasai ilmu kesempurnaan hidup milik dewa, dengan seorang lelaki petapa yang telah menguasai ilmu ke-sempurnaan dan tergoda kemolekan si putri ketika dia mencoba mengajarkan ilmu itu atas permintaan anak lelakinya yang menaksir si putri.
Mungkin karena mereka mengurung diri dalam kamar, terperangkap pada fakta ketubuhan di ruang tertutup, dan berselingkuh sehingga lahirlah anak-anak yang ada di antara gradasi nafsu dan keutamaan,Rahwana dan Wibisana.Dalam epos Ramayana itu diceritakan Rahwana mencuri Dewi Sinta, istri Betara Rama dengan tipu daya, dan tak mau mengembalikannya ketika diminta secara baikbaik.
Maka pecahlah perang besar, yang ditutup dengan kekalahan Rahwana. Tapi Rahwana tak pernah mati––ia memiliki aji Pancasona yang menyebabkan tubuh dihuni nyawa lagi begitu menyentuh tanah setiap kali terbunuh.Karena itu, ia dikejar-kejar panah sakti yang dilepaskan Rama, berusaha [tunggang- langgang] untuk bersembunyi di sembarang tempat.
Gagal dan karenanya ia menyusup ke dalam tanah dan akhirnya terjepit oleh kerak bumi yang saling bergesekan sebagai lempeng landas benua––terjepit dan terdorong ke kawah magma gunung kembar. Tidak bisa bergerak karena terjepit, tak mau bergerak karena diincar panah sakti, dan karenanya ia hanya mengorok dan menggelokgok melepas aneka rupa angan-angan, nafsu––seperti bocah kampung meniup busa sabun dari mangkuk air sabun.
Tetapi, tentu saja, tanpa tawa dan canda. Dipenuhi oleh kemarahan dan dendam ia meniupkan hipnotis dan sugesti kepada orang-orang hidup yang bebas gentayangan di muka Bumi–– agar angkara seperti dirinya. Ya! Tapi apa Rahwana itu biang Dajjal? ***
Aku kelas empat SD dan adik baru kelas satu SD. Saat itu hari hujan,lampu mati sehingga TV tak bisa dinyalakan–– kami yang tak bisa main game. Aku ingat pada cerita Ayah tentang Dajjal yang bersarang di bawah bantal. Teringat akan momen ceritanya di tiga bulan lampau––pada saat yang juga malang seperti sekarang ini––, yang kemudian disusul dengan desas-desus munculnya setan pocong Bu Bariah, yang meninggal dalam kondisi hamil muda.
Aku membayangkan Dajjal seperti membayangkan pocong, yang berwarna kelam dan bersembunyi di bawah bantal,karenanya hanya seruas jari kelingking.Aku minta Ayah menggambarkannya di kertas dan bukan memperagakannya dengan empat jemari di dua telapak tangan. Lantas Ayah menggambar di buku tulis dan memberinya warna sehingga aku yakin akan keberadaannya.
Karenanya aku bertanya lagi: apa Dajjal itu hewan atau tumbuhan? Apa Dajjal itu jantan atau betina? Apa Dajjal itu virus atau parasit? Ayah tertawa. Ayah bilang, tidak ada Dajjal dan yang ada hanyalah Om Zal. Aku dan adik mengernyit. Om Zal itu adik ayah. Sudah tua tapi kesenangannya bermalasan, teler, dan hampir setiap hari minta duit sama Oma––Opa sudah meninggal––, dan marah bila tidak diberi duit.
Karenanya Oma menelepon Ayah, menelepon Tante Maryam dan Om Yusuf. Bila ditelepon begitu,begitu terdengar, Ibu selalu marah dan mencaci maki Om Zal. Ayah bilang, ia terpaksa memberikan sokongan karena ingin menyenangkan Ibu. "Itu bakti saya kepada Mama," katanya. "Tapi itu sama saja dengan membiasakan Zal tergantung padamu. Menggerogoti kita .…" kata Ibu.
Ayah bungkam––Oma masih menelepon dan minta sokongan. Apa mungkin Om Zal itu Dajjal? Aku berpikir: mungkin Dajjal bersarang di bawah bantal Om Zal,lalu masuk ke rongga perut lewat lubang hidung, kuping atau mulut.Bersarang dalam lambung, dan menyerap segala rokok,minuman, pil, dan entah apa saja yang dimakan oleh Om Zal.
Dan pada gilirannya, Om Zal itu sendiri sudah bukan lagi Om Zal, tapi sebuah Dajjal yang memakai tubuh Om Zal––setidaknya karena mata dan otaknya kering terhisap. Kalau begitu, ke mana Om Zal yang sejati? Apa yang terusir dari tubuhnya itu nyawa atau ruh? Apa hanya kesadaran dan harga diri yang menyebabkannya jadi orang tak malu hidup bermalasan dan bermanja––parasit yang merepotkan orang, seperti yang dibilang Ibu bila tahu Ayah menyokong Om Zul?
Dan karenanya, untuk bebas dari Dajjal, kita tidak boleh bermanja, tidak boleh merepotkan orang lain––tak boleh jadi parasit. Punya harga diri dan kemauan untuk hidup mandiri.Dengan senantiasa menjemur bantal,guling,kasur, dan selalu ganti sarung bantal dan guling dan seprei seminggu sekali — seperti yang selalu dikatakan ayah. OK! Tetapi kenapa Ayah tidak membebaskan Om Zal dari dominasi Dajjal?
Apa di dunia ini memang tak ada obat untuk membebaskan orang yang di- cengkeram dan dikuasai Dajjal? Bila begitu apa Dajjal itu asli jejadian yang tumbuh bersama evolusi planet Bumi atau justru datang dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya lain. Serdadu komando alien yang berusaha menguasai Bumi dengan menguasai dan menggerogoti tubuh manusia Bumi?
***
Apa mungkin Dajjal itu sabu-sabu, ekstasi, putaw, rhohipnol, pil koplo, ganja,bir,wiski, vodka, arak, dan segala entah apa lagi yang selalu dikonsumsi oleh Om Zul? Atau …
***
Anting
Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
Dalam tiap acara keluarga besar kami, sejak kecil aku merasa Antinglah yang jadi selebritis. Dari sekian puluh cucu eyang putri, cuma dia yang cantik. Konon, Anting mirip leluhur kami, garwa kepala prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Malang.
Saya yang belajar biologi, sebetulnya heran genetik leluhur (teori Mendel) eyang cuma jatuh ke Anting. Padahal, ada sekian puluh cucu perempuam eyang, termasuk aku (Dini). Anting paling beruntung. Om Didit (papa Anting) pengusaha restoran yang sukses. Di Jakarta saja punya lima belas cabang, padahal yang dijual hanya bakso dan ayam goreng khas Malang. Mama bisa lebih enak membuat masakan itu, tapi tidak pernah sukses memperdagangkannya.
Dibanding Om Didit, ekonomi keluarga kami kalah jauh. Mama dan Papa, lulusan IKIP Malang, hanya guru SMA. Bisa dibayangkan, sejak kecil, aku dan Mbak Anting seperti bumi dan langit. Sekalipun, sebisa-bisanya kala lebaran mama memberiku baju yang lebih bagus dari yang lainnya, agar aku tidak terlampau merasa kalah dengan Anting.
Tapi, papa selalu memprotes sikap mama. "Kamu tidak mendidiknya dengan baik. Seharusnya Dini sejak kecil diajari memahami realitas hidup ini. Aku bukan pebisnis. Gajimu dan gajiku tidak akan sama dengan pendapatan Om Didit."
Sejak remaja aku tidak suka mendengarkan itu. Seolah-olah aku betul-betul miskin, dan tidak akan pernah sejajar dengan Anting. Apalagi, pada waktu remaja Anting sudah bermain sinetron. Saat itu aku sudah tidak suka menceritakan pada teman-teman sekelasku bahwa dia sepupuku. Pastinya mereka tidak akan pernah percaya, bagaimana mungkin aku bisa bersaudara dengan Anting yang cantik dan anak orang kaya itu.
Semua orang tahu kami tinggal di perumahan BTN. Kedua orang tuaku hanya punya sepeda motor. Aku dan adikku, Dina, memang pernah membicarakan hal itu dan kukatakan padanya, "Jangan bilang sama orang, kalau Anting itu kakak sepupumu. Mereka tidak bakal percaya." "Mbak, teman-temanku percaya kok. Malah mereka bilang, sampeyan dan Anting itu mirip. Cuma saja baju sampeyan bukan baju bermerek." Aku benci mendengarkan itu. Sejak remaja aku sudah bertekad untuk tidak akan pernah kalah dengan Anting, yang semakin kelihatan naik daun.
Aku kini menjadi wartawan sebuah harian nasional. Suatu kali redaksi daerah memanggilku. "Dini, coba liput Anting, dia kan saudara sepupumu. Kamu akan berkerja sama dengan seorang wartawati senior dari Jakarta. Liputannya untuk halaman tokoh. Akan dimuat dua minggu lagi. Menurut kabar, dia akan menjadi artis terbaik tingkat ASEAN."
Aku menganggukkan kepala. Sesungguhnya aku tidak suka tugas itu! Tulisanku akan menjadikannya lebih populer. Aku, secara individu maupun secara lembaga, akan ikut membesarkanya. Aku benci memikirkan itu. Kala remaja aku adalah bayang-bayangnya. Aku tidak ingin mendorongnya menjadi orang besar dengan tulisanku di koran tersebut.
Tapi, tidak mungkin aku menolak tugas. Aku bisa disingkirkan dari media itu. Aku benci. Aku seorang sarjana teknik material. Seharusnya aku berada di perusahaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Anting. Tapi, kehidupanku berbicara lain. Setelah hampir enam bulan menganggur, setelah tamat SI, aku cuma bisa diterima di media tersebut.
Sebetulnya, sampai hari ini, aku tidak suka bekerja di tempat seperti ini. Apalagi, harus bertemu dengan Anting, ikutan membesarkan orang yang membuat aku merasa tidak berarti apa-apa di muka keluarga besar kami, juga di muka Tom (pacarku) yang selalu dengan terkagum-kagum bilang, "Astaga, aku tidak tahu Anting, tapi luar biasa ya bakat dan cantiknya."
Tentu saja aku tidak menunjukkan perasaan tidak sukaku pada Anting di muka Tom. ketidaksukaanku itu akan membuat hasil liputanku amburadul. Padahal, aku ingin sekali ke Jakarta untuk membuktikan aku bisa menulis untuk media ini. Saat kukatakan tugasku ini pada Dina, gadis remaja itu berkata kepadaku, ''Mintakan fotonya ya, Mbak, dengan tanda tangan, biar teman sekelasku tahu kalau aku ini adiknya selebritis."
Dan, mama menambahi, "Kalau kau ketemu Anting, aku mau kirim keripik tempe untuk Om Didit dan tantemu, mangga yang masak di batang dari teman yang punya kebun mangga di Probolinggo."
Aku berlagak sibuk dan masuk ke kamar. Mengotak-atik komputer, mencoba membuat format untuk profil Anting. Menurut teman-teman, wartawati senior yang akan meliput bersamamu, orang yang cerewet. Dan aku harus berhati-hati, karena pengaruhnya besar pada atasan. Bisa jadi, aku diberhentikan dengan tidak hormat, kalau dia tidak suka, kepada pekerjaan yang aku lakukan. Bisakah dibayangkan aku sebetulnya tidak selalu ingin menjadi orang kedua sejak kecil. Aku sering mengatakan pada diriku sendiri, "Aku harus punya nilai lebih dari Anting."
Aku tidak pernah sepakat dengan omongan papa yang mengatakan bahwa, "Tidak setiap orang bisa menjadi nomor satu. Di dunia ini, pasti ada yang nomor dua dan tiga. Kita adalah aktris dan aktor yang disutradarai oleh-Nya. Setiap orang pegang peranan, hanya untuk kembali kepada-Nya."
Aku sangat marah mendengar ucapan papa. Menurutku papa seharusnya tidak pasrah seperti itu. Dia seharusnya mengambil S2, S3 dan menjadi guru besar di universitas, bukan hanya guru SMA. Waktu itu mama bercerita, "Papamu tidak mau kuliah di luar kota, karena takut membebani orang tuanya. Dia menyuruh adik-adiknya yang sekolah di luar kota. Secara ekonomi mereka tidak seberuntung aku dan saudara-saudaraku." "Toh adik papa yang kaya-kaya itu tidak memberi bantuan kepada kita sekalipun papa sudah berkorban untuk adik-adiknya."
Mama tersenyum, "Nduk, kita kan sudah cukup sekalipun tidak sekaya Pakde Didit." Yah, aku tidak tahu bagaimana seharusnya menghadapi Anting. Dia pasti akan menegakkan kepalanya di mukaku, kala berbicara seolah-olah dunia ini cuma dia yang memiliki. Tentu saja, dia tidak jelek seluruhnya. Kadang-kadang Anting memberiku sebotol parfum dari kelas bermerek. Kadang-kadang, dia menyelipkan uang kepada adikku yang membuat adikku berjingkrak-jingkrak.
Tapi, aku memang tidak begitu suka padanya. Apakah aku membencinya? Mungkin juga tidak. Kadang-kadang kalau pulang lebaran dia bercerita banyak. Tentang sinetron, atau jalan-jalannya ke luar negeri, dan aku menikmati juga ceritanya. Dia pasti tidak lupa memberi mama parfum, yang pasti tidak akan terbeli oleh kami. Jadinya, aku mungkin orang yang lagi iri hati saja. Dalam diskusi panjang dengan Tom, dia mengatakan, "Seharusnya kita mengukur baju kita sendiri."
Aku merasa omongannya tidak jelek. Tapi, aku selalu tidak mau terkurung omongan orang. Berhari-hari aku membikin profilnya dan kukirim ke wartawati senior yang akan meliput bersamaku. Wartawati itu bilang, "Saya sudah pas dengan semua pertanyaanmu, dan sudut yang kau ambil. Cuma aku harus menambah di sana-sini, tapi tidak banyak."
Pulang dari wawancara, seluruh keluargaku mendapat hadiah termasuk aku. Dia memberiku laptop yang sudah lama aku inginkan. Anting bilang, "Ini pakailah. Aku baru beli tiga bulan lalu, namun aku tidak suka warnanya. Kan kamu sekarang wartawati."
Hari minggu pagi adikku berteriak-teriak, liputan yang aku buat tentang Anting sudah ada di koran. Kemudian, wartawati senior dari Jakarta meneleponku, "Ini pekerjaan yang bagus. Saya merekomodasi kamu untuk bekerja di pusat saja."
Setelah itu, aku membaca lagi jawaban atas surat lamaranku yang datang kemarin. Aku diterima bekerja di sebuah perusahaan baja di Jakarta. Aku sudah menata kopor untuk keberangkatanku besok Senin. Dan, aku juga sudah menulis e-mail kepada Tom, pacarku, yang sedang meliput gempa bumi di Sumbawa.***
Perempuan Petelur
Cerpen Iggoy el Fitra
TIADA
yang tahu bagaimana perempuan itu dapat bertelur seperti unggas. Semua bermula dari kedatangannya yang tiba-tiba di sebuah pulau di tengah keheningan Laut Cina Selatan. Entah di mana pulau itu berada, tak setitik pun ia tampak di peta. Lebih jauh dari Kepulauan Paracel, lebih jauh lagi dari Kepulauan Filipina. Pesawat kargo yang terbang rendah menjatuhkannya di tengah lembah bersama sekotak peti yang telah mengurungnya sejak berangkat dari landasan udara di pesisir selatan Borneo. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia digiring bersama beberapa perempuan sebayanya menaiki kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Telawang.
Dia tidak tahu bagaimana bisa dipisahkan dari rombongan ketika sampai di pelabuhan. Tentara-tentara Jepang berkali-kali menodong-nodongkan senjata ke wajahnya yang dekil. Di atas kapal, di sebuah kabin, dia diperkosa dengan kasar oleh seorang kuli angkut atas suruhan para tentara itu. Setelah tak berdaya, para tentara beramai-ramai meludahinya, lalu pukulan gagang senjata sekejap membuatnya pingsan.
Dan di lembah ini, dia langsung terbangun setelah seluruh tubuhnya terhempas dengan keras sekali. Peti kayu itu pecah, tetapi tubuhnya tidak apa-apa. Hanya kepalanya yang sedikit pusing. Dia tak menyadari bahwa tiada sehelai benang pun membalut tubuhnya. Sambil merangkak dia menghampiri sebuah air yang terpancur dari balik batu. Dia meminumnya dengan tergesa-gesa.
Barangkali dia terkena amnesia. Atau hanya demensia belaka. Berulang-ulang dia usap belakang kepalanya sambil meringis sakit, kemudian menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah dia baru terjaga dari tidur yang panjang. Dia mulai berjalan menyusuri semak belukar. Ada tebing menuju puncak lembah. Tidak begitu curam, mungkin dapat didaki. Dia mencoba memanjatnya hati-hati.
Telah seharian dia menyusuri hutan, namun pulau ini seperti tiada bertepi. Dia mulai mendekap dadanya. Dingin. Rimbun ilalang juga membuat kulitnya gatal-gatal. Dia menggaruknya sampai memerah dan berdarah. Semak-semak di depannya terlihat semakin sedikit, tanah yang dipijaknya mulai berubah menjadi pasir. Apakah dia telah sampai di sebuah pantai?
"Aku kedinginan dan lapar," gumamnya.
Dia dapat bicara meski sepatah kalimat saja. Sebuah pohon yang dapat dia jangkau buahnya menghentikan langkahnya. Buah itu hanya sebesar kepal, maka dia memakan banyak sekali. Perutnya langsung sakit. Dia buang air besar di atas pasir.
Ternyata di depannya bukanlah pantai, melainkan sebuah gurun yang tak dapat dilihat batasnya. Walaupun begitu, dia menyusurinya tanpa ragu-ragu. Berhari-hari sudah, berlama-lama dia berjalan menyusuri gurun pasir itu. Dia terlalu lelah. Perutnya telah membesar. Bukan karena terlalu banyak makan, tapi mungkin benih-benih orang-orang yang menyetubuhinya telah tumbuh.
Dahaga yang begitu hebat dirasakannya tertuntaskan oleh sebuah oase yang muncul sedikit demi sedikit dari balik gurun. Dia bukan nabi, bukan pula istri seseorang yang sangat mulia, tetapi kolam jernih itu begitu saja ada di depannya seakan-akan memang hanya diciptakan untuknya. Adapun dia hanya pelacur yang belum puas dengan hidupnya sendiri.
Dari orang-orang di desanya, dia mendengar pengumuman bahwa para gadis muda akan dipilih untuk dipekerjakan di Borneo. Sudah lebih dari dua tahun pengiriman itu berulang. Dia tak masuk dalam pilihan, sebab meskipun masih muda, tetapi dia sudah memiliki anak, lagipula kulit hitam dan wajahnya yang burik tidak membuat para agen tertarik. Namun dia bersikeras meyakinkan kepada orang-orang itu kalau dia bersedia bekerja apa saja. Dia berharap dipekerjakan menjadi pelacur, sebab sebelumnya dia telah melacur diam-diam di desanya. Seorang teman pernah melarang. Tapi dia sangat ingin melayani orang-orang Jepang yang banyak uang.
***
PERANG
masih berlangsung. Tentara Belanda memang makin jarang terlihat di Tanah Jawa, tetapi tentara Jepang sepertinya mengambil posisi mereka. Pada 11 Januari 1942, mereka kali pertama mendarat di Indonesia dengan menyerang pasukan Belanda di Tarakan. Dini hari itu terjadi pertempuran besar. Ladang-ladang minyak terbakar. Borneo telah penuh dengan tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, ketika perempuan itu dimasukkan ke dalam peti, pesawat yang membawanya hampir saja ditembus rudal dari pesawat tempur Australia. Dia telah menyingkir dari Perang Pasifik yang hampir berakhir.
Ditenggelamkannya kepalanya di dalam kolam. Sambil menyelam, dia meminum airnya. Langit bergemuruh sekali-sekali. Hari tidak mendung, melainkan sangat terik. Agaknya dia benar-benar lupa dengan pesawat-pesawat tempur yang berdesing-desing di atasnya. Dia memang mengalami amnesia.
"Di mana ini? Perutku sakit, siapa yang akan membantuku bersalin?" dia berucap menengadah langit.
Tiba-tiba dia mengerang. Kakinya mengangkang dengan tidur terlentang. Dia mengejan, dia berusaha mengejan sekuat-kuatnya. Sebuah cangkang muncul di liangnya, mulai membesar serupa kepala bayi yang biasa keluar lebih dulu. Perempuan itu berusaha mengeluarkannya.
Dia berusaha kuat mengejan mengeluarkannya. Mungkin saja liangnya sobek, sebab cangkang bulat sebesar kepala orang dewasa itu terlalu besar untuk dikeluarkan seorang perempuan. Napasnya terengah-engah, situasi sulit itu lewat sudah. Tanpa ketuban yang pecah, juga tanpa tali pusar dan plasenta, telur itu tergeletak di atas pasir begitu saja.
Mulanya dia heran dan takut. Tapi dia segera sadar bahwa di dalam telur itu ada buah hatinya yang harus dierami dan dijaga. Diseretnya telur itu ke dalam kolam, dimandikannya. Lalu dia mengambil pelepah-pelepah pohon palem satu-satunya yang menjulang di dekat kolam itu. Dia menjadikannya sebuah tas, tempat telur yang akan dibawanya berkelana.
Telur itu berat sekali.
Dia berjalan lurus, tapi gurun pasir ini sungguh-sungguh luas seperti tak berbatas. Seharian sudah dia berjalan. Dia kembali menemui keajaiban. Di depannya terbentang sungai yang mengaliri gurun. Dan di sanalah, dia mengerami telurnya semalaman. Perutnya kembali sakit, dia kembali mengerang. Dia akan bertelur sekali lagi. Kali ini tampaknya dia tidak lagi kesulitan untuk bertelur lantaran pengalaman yang sebelumnya. Akan tetapi pada saat dia mengejan, berkelebat ingatan-ingatan di kepalanya.
"Abang boleh nyobain saya dulu, deh. Kata orang, dicoba dulu baru dibeli. Iya, kan?" dia berkata kepada seorang agen di sebuah barak.
Lelaki brewok itu terlipat keningnya. Gairahnya tidak ada sama sekali. Namun sebelum ia beranjak pergi dan mengusirnya, perempuan berkulit hitam itu segera menanggalkan baju lalu menggoda si agen. Dengan keadaan demikian, tentu saja si agen tak dapat mengelak. Mereka bercinta di dalam barak, dengan harapan agar perempuan itu bisa ikut dengannya ke Borneo.
Telurnya terguling-guling sebentar.
Dia kelelahan bukan karena bertelur, tapi bayangan-bayangan di kepalanya telah membuatnya pusing. Telur barunya dia dekap, dia cium-ciumi. Telurnya yang satu lagi bergoyang-goyang. Sebuah kaki tiba-tiba menembus cangkang, sementara dia segera membantu telur itu menetas. Cangkangnya tidak lagi mengeras. Dia tak butuh menunggu 30 hari untuk kelahiran anaknya. Cukup semalaman. Tak ada tangisan. Tak ada keramaian seperti orang-orang desa yang bersama-sama menyambut kelahiran anak pertamanya yang lahir tanpa bapak. Hanya senyap, seiring bayang-bayang yang mengganggunya itu lenyap.
Tak lama dia langsung menyusui anaknya. Dia hanya tertawa-tawa sambil mengusap rambut anaknya yang tebal. Ah, barangkali bukan saja amnesia yang mengganggunya, tetapi juga skizofrenia.
***
MAKA
begitulah, perempuan itu bertelur setiap hari dalam perjalanannya. Di pulau itu tak seorang manusia pun dia temui. Tampaknya memang pulau yang tidak berpenghuni. Anak-anaknya satu persatu telah menetas. Tiada yang tahu bagaimana dia dapat bertelur seperti unggas.
Perang telah berakhir. Tak ada lagi pesawat-pesawat lewat di langit yang dia tatap. Dia tidak tahu ada kemenangan, dia tidak tahu ada kemerdekaan. Tetapi baginya, kesempatan untuk bertahan hidup adalah kemenangan yang mutlak. Di pulau itu hanya dialah orang dewasa selain anak-anaknya yang mulai dapat berjalan dan menangkap ular-ular di balik rerumputan.
Dia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mencari makan, mengolah daging-daging hewan agar enak dimakan. Sisa-sisa ingatan masih ada di kepalanya, tentang hidup yang pernah dijalaninya bersama orang-orang. Mereka memasak dengan membakar api di dalam tungku, dia ingat hal itu selalu. Tetapi tak ada yang dikenalnya, tak ada satu pun orang yang dia ingat siapa mereka.
Dalam kehidupannya yang baru itu, dia telah menelurkan lima belas anak, tujuh perempuan, delapan laki-laki. Anak yang menetas terakhir bernasib malang, tubuhnya dikoyak-koyak anjing hutan. Jadi semua anaknya berjumlah empat belas. Dengan begitu, dia mengawinkan anaknya berpasang-pasangan.
Pada hidup yang terus berjalan, telur-telur bergeletakan di atas pasir, di tepi sungai, di dalam lembah, bahkan di puncak bukit yang paling tinggi. Mereka telah berkembang biak, telah beranak pinak, bertelur serupa induknya.
Semakin renta, perempuan tua itu semakin sering bertekur di sebuah lembah, tempat di mana dia dijatuhkan, dipisahkan dari dunia yang penuh dengan ledakan, rentetan peluru, dan darah. Tapi dunianya yang baru ini tiada memberikannya kebahagiaan. Telah bertahun-tahun kepalanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan, "Siapakah aku, di manakah diriku berada, apa tujuanku di sini?"
Betapa dia sangat kesepian di pulau ini. Tak ada lagi seorang pun yang dapat diajaknya bercanda, bersenda gurau, dan saling menyayangi.
Anak-anaknya hidup damai di segala penjuru pulau. Perempuan hitam itu telah menjadi nenek bagi cucu-cucunya. Dan di pulau ini, mereka membuat peradaban baru yang ganjil. Membuat rumah, membuat kampung, dan menyebarkan bahasa yang mereka yakini. Tentu saja, mereka jauh lebih cerdas ketimbang Homo Sapiens. Akan tetapi, amnesia yang dibawa induk mereka dahulu telah menjadi sesuatu yang diidap turun-temurun. Mereka hidup berkeluarga, dipisah-pisahkan oleh rumah-rumah, namun seorang ayah dapat masuk begitu saja ke rumah tetangga sebelah. Yang datang tidak tahu bahwa yang dimasuki bukanlah rumahnya, dan yang punya rumah pun tidak tahu siapa yang tiba. Lantas penghuni rumah tiba-tiba saja memanggil laki-laki itu sebagai bapak mereka, dan laki-laki itu seakan-akan sadar kalau rumah itu adalah rumahnya.
Oleh karena itulah, perempuan tua yang memunculkan kehidupan baru di pulau ini sering menjadi sedih. Tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang dia ingat, dan anak-anaknya pun tak mengingat siapa dia. Maka makin seringlah dia menyendiri. Barangkali dia terlalu tua, batinnya.
Dia menatap langit. Ah, andai pesawat-pesawat itu kembali berlalu di atas, dia hendak bertanya. Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada suara gemuruh mesin di angkasa. Dia makin nelangsa. Tetapi sekejap saja dia berharap, deru-deru yang dirindukannya terdengar dari balik awan. Pesawat-pesawat jet berlewatan.
Mereka saling menembak. Suara-suara bersipekak, udara meledak-ledak, dia menutup telinganya. Setelah ledakan besar, sesuatu terjatuh di lembah itu. Seorang pilot dengan kursi lontarnya jatuh tanpa parasut. Melihat pilot itu tampak kesulitan membuka sabuk pengaman, perempuan itu tertatih-tatih pergi menghampirinya. Dikeluarkannya belati untuk memotong tali.
Dia mengusap wajah pilot itu yang pucat ketakutan.
"Telah lama aku menunggu seorang laki-laki tanpa istri. Aku ingin bertelur lagi," ucapnya sekonyong-konyong.
Perempuan itu tertawa sambil menutup giginya yang ompong
.***
Ilalangsenja, Padang, 2 November 2007
Cerpen Heru Kurniawan
1.
Selama sebulan ini, sejak kisah cinta kita putus, aku sudah menulis surat cinta untukmu sebanyak tiga buah. Isinya sama, tentang cinta yang sia-sia. Namun, surat-surat ini tak akan kuberikan padamu. Cukup kutulis saja tentang perasaanku. Selanjutnya surat-surat ini akan kubuang. Aku hanya berharap suatu saat ada orang yang menemukan kemudian ia membaca dan membuangnya kembali. Sampai berkali-kali. Sampai surat-suratku tak terbaca dan menyatu dengan bumi. Kalau ini terjadi, bagiku sudah cukup aku bermimpi kita bisa bersatu kembali.
Saat aku tulis surat yang pertama, aku niati bahwa aku akan melakukan sandiwara untuk diriku. Maka aku memutusmu. Aku katakan padamu; Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Bunga. Kau telah layu setelah setiap malam percintaan kita selalu diakhiri dengan basah rambut. Aku sudah cukup menikmatimu. Kau sudah cukup basah. Aku ingin yang kering seperti saat pertama kau kubuat menangis, meratapi kejadian yang tak pernah kau alami.
Surat yang pertama selanjutnya kutaruh di bangku reot, tempat di mana pertama kali kau menatapku dengan penuh kebencian. Aku ingat, saat itu airmatamu jatuh menimpa bangku reot itu. Bangku tua yang tersudut di taman alun-alun kota. Saat kutaruh surat Ini aku membayangkan orang yang menemukan suratku adalah anak-anak yang tengah mengisi hari sorenya dengan ibunya. Saat anak itu menemukan surat ini ia pasti akan bergembira, mengharap apa yang terisi di dalam amplop putih itu adalah uang. Anak itu akan berteriak, "Aku menemukan uang".
Ibunya akan merebut sambil berbohong, "Kau masih tidak boleh membuka amplop itu. Amplop ini isinya surat, bukan uang"
Dengan cemberut anak itu menyerahkan apa yang baru ditemukannya.
"Isinya surat apa, Bu?" anak itu bertanya setelah ibunya selesai membuka dan membaca suratku ini.
"Cinta"
"Apa itu cinta, Bu?"
"Kau belum boleh tahu, Nak."
"Kalau begitu apakah boleh aku minta kertas-kertas yang isinya cinta itu, Bu!"
"Untuk apa?"
"Membuat pesawat kertas untuk mainan."
"Bagus itu, biar Ibu yang membuatkan."
Jadilah tulisan-tulisan cintaku menghias sayap, tubuh, dan kepala pesawat kertas mainan itu. Pesawat kertaS itu di lempar ke sana-ke sini, terbang kian-kemari, sampai akhirnya terdampar di ranting pohon beringin.
"Sudah mari kita pulang, Nak. Memang pantas nasib pesawat kertas itu di sana. Biar hancur oleh hujan."
Aku terhenyak mengembangkan lamunanku. Betapa sia-sia aku menulis surat cinta untukmu, Bunga. Ternyata perasaan cintaku tak bisa menaklukan orang lain. Padahal jelas, dalam surat yang pertama aku juga menulis alasanku untuk meninggalkanmu; Aku tak kuasa percintaan kita dilanjutkan. Kita ditakdirkan saudara, Bunga. Ayahmu ayahku juga. Lelaki bejat yang setelah menitipkan bibitnya kemudian pergi menghilang. Aku kaget saat mendapati foto ayahmu yang tak sengaja kau simpan di buku harianmu. Lelaki dalam foto itu sama dengan lelaki dalam foto keluargaku. Tapi entah di mana dia sekarang. Setelah aku menginjak bangku SD lelaki itu menghilang. Beruntung kau belum pernah berkunjung ke rumahku yang terpencil. Aku berharap, Bunga, semoga kau sampai saat ini belum mengetahui rahasia ini. Seandainya kau tahu, pasti kau tidak akan memaafkan dirimu sendiri. Sama seperti diriku saat ini, ingin sekali membunuh lelaki itu. Dan bila melihat diriku di cermin, rasanya aku ingin juga membunuh diriku sendiri.
2.
Bunga, pada suratku yang kedua, aku kisahkan hidupku setelah kita berpisah. Hidupku terasa telah mati. Aku selalu membayangkan di dunia yang kedua kita tak juga bisa untuk bersatu kembali. Padahal kita telah berjanji, bila di dunia kita tak bersatu, kita berkeyakinan di alam baka bisa terus bertemu. Bunga, kau akan hidup di surga, sedangkan aku di neraka. Ini karena kau tak mengerti dengan apa yang telah aku lakukan padamu. Kau tak berdosa dengan persetubuhan kita. Kau melakukannya dengan rela, sedangkan aku memaksa. Kau atas nama cinta, sedangkan aku atas nama birahi membara. Tapi, kau harus tahu, birahi dan cinta bagi lelaki hampir tak ada bedanya.
Setelah surat yang kedua ini kumasukan dalam amplop putih dan kutulis buat Bunga, sama seperti surat pertama. Tapi, pada suratku yang kedua aku sengaja memesang foto kita, sedangkan yang pertama tidak. Aku letakan surat itu di bawah pohon randu yang tinggi, rindang, dan menjulang. Ini tempat kenangan kita. Di tempat ini aku pertama merayumu, memujamu, sampai timbul hasratku untuk memperkosamu. Dan hampir saja terjadi, untunglah, ulah anak kecil yang suka iseng mengintip itu mengagetkan hasratku. Tapi, di tempat ini aku nyata merasakan dan menyaksikan keindahan tubuhmu. Aku tak akan melupakan itu, Bunga. Ternyata keindahan tubuh perempuan yang dicintai itu 1000 kali indahnya dari tubuh perempuan yang kadang kusaksikan dalam film porno. Pantas saja, berawal dari nonton film porno, anak-anak remaja akhirnya memperkosa pacarnya. Padahal mereka baru anak-anak SMA. Apalagi aku padamu, Bunga. Bisa kau bayangkan betapa bernafsunya aku pada tubuhmu yang seksi menarik itu.
Setelah aku letakan surat ini di bawah pohon randu, aku membayangkan anak kecil yang pernah menggagalkan niatku untuk memperkosamu akan menemukan surat ini.
"Ada surat, Kak," anak kecil itu berteriak pada kakaknya.
"Sini, biar aku yang membuka, kamu masih kecil tidak boleh membaca surat."
"Memangnya itu surat apa, Kak?"
"Ini pasti surat cinta."
"Surat cinta itu apa, Kak."
Lelaki berusia belasan tahun itu tak membalas pertanyaan adiknya. Ia membaca dengan cermat surat itu.
"Isinya apa, Kak?"
"Kau belum boleh mengerti."
"Tapi, itu foto siapa, Kak?"
"Kakak tidak tahu, apa kau mengenal orang ini."
Anak kecil itu mengerutkan keningnya.
"Apakah kau mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya di bawah pohon ini, Kak. Tapi, aku tidak tahu mereka itu siapa."
"Itu namanya kamu tidak mengenal, Bloon."
Anak kecil itu nyengir dihina kakaknya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan mencari kambing-kambing kita."
"Tapi, Kak. Boleh aku menjadikan surat ini sebagai perahu kertas."
Diberikannya surat itu pada adiknya. Kemudian anak kecil itu secepat kilat melipat-lipat kertas itu menjadi perahu. Dilabuhkannya perahu kertas itu beserta foto sepasang kekasih itu pada sungai yang deras mengalir.
"Hore…, perahunya melaju cepat," anak kecil itu berteriak girang tentunya.
Tapi, tidak berapa lama kemudian perahu kertas itu hanyut dan tenggelam terbawa arus.
"Kak, perahunya hanyut tenggelam. Kenapa, ya?"
Pertanyaan anak kecil itu seakan-akan nyata dan mengagetkan lamunanku. Ah, Bunga, betapa nasib percintaan kita ditakdirkan hancur. Terus apa yang masih kutunggu darimu, Bunga. Aku tahu kalau kita sudah tidak bisa bersatu, tapi kenapa aku masih berharap keajaiban. Terkadang masih ada hasratku untuk menolak kenyataan. Saat itu anganku akan menghadirkanmu yang tiba-tiba datang dan mengatakan padaku, "Apa yang terjadi pada kita bukan takdir, Raka. Kita memang saudara, tapi cinta tak menghendaki persaudaraan kita. Haruskah kita menanggung salah dari lelaki yang telah jadi ayah kita! Tidak, Raka. Cinta kita lebih berharga dari bapak kita. Lebih mulia dari norma dan agama. Kau tahu itu, Raka… "
Tidak!!! Aku berteriak keras memecahkan malam yang mulai menjaring bumi. Aku tidak bisa, Bunga. Aku hanya akan memberimu doa, semoga kau tidak akan tahu dengan rahasia ini. Aku lebih baik dibenci olehmu daripada kau tahu rahasia kita yang pilu dan menjijikan.
Dalam tidur malam ini aku dihantui oleh pesawat dan perahu kertas yang nasib naas. Terdampar dan hanyut yang berujung pada kehancuran yang diakibatkan oleh ulah anak kecil. Ini memupus impianku tentang suratku yang kuharap akan dibaca banyak orang. Aku berharap pada suratku yang ketiga bayanganku bisa indah, surat terakhirku paling tidak akan berharga bagi orang yang menemukannya.
3.
Pada suratku yang ketiga ini, aku menuliskan keputusanku yang bulat; Aku akan pergi jauh, Bunga. Aku sudah tidak sanggup lagi dihantui oleh perasaan terluka seperti ini. Selamat jalan, Bunga.
Kau ingat tempat pertama kali kita bertemu, Bunga, sebuah halte yang saat langit mengurai airnya lewat hujan, kau dan aku sama sedang menunggu Bus Kota. Tapi dasar negeri kita amburadul, demo berkali-kali terjadi. Dan hari ini giliran para supir protes dengan kenaikan BBM yang ingin diikuti kenaikan tarif. Ah, celaka kita akibatnya, tersudut di halte dengan di kepung hujan yang amat deras. Hujan pertama yang mengakhiri musim kemarau.
"Maaf, di rambut Nona ada kotorannya, boleh kuambil," kataku.
Kau diam menyilahkan, dan aku mengambil kotoran itu. Sejak saat itu kita terlibat pembicaraan yang sengit dan jadi kita sering buat janjian di halte ini. Sampai kita sepakat untuk menjalin percintaan.
Bunga, suratku yang terakhir untukmu akan aku letakan di kursi halte yang telah menjadi saksi perjumpaan kita. Aku membayangkan kalau suratku yang terakhir ini akan ditemukan seorang pemulung. Oleh pemulung itu suratku akan disimpan karena sepanjang hidupnya ia baru menemukan kertas yang indah dengan tulisan yang indah. Ah, aku akan senang. Betapa ternyata ada yang terselamatkan dari miliku yang paling berharga. Surat cinta untukmu, Bunga.
"Kenapa kau tidak membuka surat itu, Pemulung? Bisa saja isinya uang kan," kawan si anak pemulung memprotes.
"Tidak. Aku yakin surat ini isinya soal cinta. Dan kata guruku, cinta itu berharga, lebih berharga dari dunia, maka aku harus menjaganya."
"Siapa gurumu itu pemulung?"
"Guruku sangat cantik, ia Ibu guru yang tengah gagal soal cinta."
"Harusnya kamu tak usah peduli kata-katanya."
"Tapi itu benar, karena aku juga sekarang tengah mengenal cinta"
"Dasar edan."
…
Bunga, aku tak bisa membayangkan percakapan si pemulung itu. Aku takut kalau Ibu gurunya yang cantik adalah kamu. Bukankah kau pernah bercerita padaku bahwa cita-cita tertinggimu adalah menjadi guru untuk para anak-anak terlantar.
4.
Pada suatu pagi sebuah surat kuterima dari tukang pos. Itu surat darimu, Bunga. Dalam suratmu yang singkat kau menulis, "Kenapa kau memperlakukanku seperti ini. Aku membencimu sepenuh hati?"
Terimakasih, Bunga. Aku sungguh bahagia dengan suratmu. Semoga kau selamanya tidak akan tahu dengan rahasia ini. Hari ini aku akan bunuh diri.
Selamat jalan, Bunga…***
Nana Sarea
Cerpen Dina Oktaviani
Ketika lalat-lalat kerotot menghampiri pondoknya suatu pagi hari, Tuan Sarea telah berada di perbatasan antara kampungnya dan kampung Arah Barat, jauh dari ladang-ladangnya. Bersama Layantara ia menyusuri pohon-pohon kering terakhir yang menjadi bagian kampungnya yang berada di Tengah Pulau Besar.
Layantara seorang pemuda dari seorang kakek buyut yang merupakan perantau dari Timoor. Tubuhnya kecil dan kuat. Usianya sembilan belas tahun, dan baru sekali itu ia mengikuti perjalanan ke kampung-kampung suku lain untuk melakukan barter. Ia merasa tersanjung sekaligus waswas tanpa alasan menyadari dirinya melakukan perjalanan hanya bersama seorang lelaki, sebab menurut kebiasaan perjalanan jenis ini dilakukan oleh sekelompok lelaki yang berjumlah sebelas orang.
Sebagai pelatihan, dan ini merupakan kebiasaan, Layantara dilarang mengenakan pakaian tebal atau makan garam sepanjang perjalanan. Tuan Sarea sendiri dapat seenaknya mengenakan dan melepas rompi bulu di setiap bagian dari petualangannya.
Tuan Sarea berusia 45 tahun. Berdasarkan silsilah yang dikisahkan secara lisan dan turun-temurun, ia salah seorang keturunan paling asli dari penemu Pulau Besar. Setidaknya sampai seorang peneliti berani membuktikan bahwa silsilah penemu Pulau Besar telah ditutup sejak pembantaian dan pembakaran hutan beberapa ribu tahun yang lalu oleh penjajah. Tuan Sarea adalah seorang keturunan asli penemu Pulau Besar. Wataknya terkenal keras. Tak kenal ampun bagi pelanggar.
Tuan Sarea menyuruh Layantara menghafalkan setiap jenis burung, jenis siul dan ke arah mana terbangnya sepanjang perjalanan. Dan pemuda kecil itu mengikuti semua perintah dengan cermat dan tulus. Layantara tidak mempertanyakan perihal berbagai kebiasaan yang dilanggar mengenai perjalanan ini. Di antara banyak kebiasaan itu, melakukan perjalanan bukan setelah panen adalah yang paling mengherankan. Dan jika pun ia mempertanyakan hal itu, ia tidak akan menyimpan jawaban yang buruk.
Dalam pemahaman Layantara, hal ini amat wajar bila mengingat dirinya merupakan calon menantu Tuan Sarea. Setidak-tidaknya, hanya nama Layantara yang disebut-sebut seluruh penghuni Kampung Tengah jika mereka membicarakan putri semata wayang Tuan Sarea, Nana Sarea, tiga bulan terakhir.
Perihal jodoh-jodohan oleh para penghuni Kampung Tengah tersebut, Tuan Sarea menampakkan sikap paling dingin, cenderung sinis, seperti sikap semua ayah Suku Tengah terhadap calon menantu yang bekerja sebagai peladang di hutan-hutan yang dikelola Perusahaan Canggih. Namun tepat dan selama seminggu sebelum memulai perjalanan, yakni dua minggu yang lalu, Tuan Sarea bersikap lebih lunak terhadap para pemuda Kampung Tengah termasuk kepada Layantara, sampai akhirnya, tanpa merasa perlu memberi penjelasan panjang karena terlalu menyadari otoritasnya, Tuan Sarea membuat Layantara ikut melakukan perjalanan ke kampung-kampung lain untuk barter.
Hari itu Layantara tampak amat gembira, sehingga ketika melewati pancuran tempat Nana Sarea mencuci rambut dalam perjalanannya bersama rekan-rekannya dari salah satu hutan Perusahaan Canggih ke pondoknya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyikut lengan rekan-rekannya sambil memejamkan-pejamkan mata seperti sedang menahan rasa sakit.
Malamnya, malam sebelum berangkat, kakak sepupu Nana Sarea, Anggau Sarea, mendatangi pondok Layantara dan berbincang-bincang dengan ayah Layantara dalam bahasa tua Suku Tengah. Layantara, yang lebih banyak dididik dalam bahasa Timoor dan memahami bahasa Tengah dari pergaulan di luar, tidak dapat sepenuhnya mengerti percakapan itu. Tapi Layantara mendengar Anggau Sarea bersiul menirukan suara salah satu jenis burung di akhir percakapan sebelum kemudian berlari tergesa-gesa meninggalkan pondok dan Layantara mengerti maksudnya. Maka, keesokan harinya, sebelum matahari terbit, berangkatlah Layantara mengikuti Tuan Sarea yang menjemputnya mengunjungi kampung-kampung suku lain.
Di tengah perjalanan, yang dalam pikiran Layantara sekaligus merupakan perjalanan untuk saling mengenal antarcalon anggota keluarga itu, dengan nuansa bangga Tuan Sarea menceritakan kisah sungai Sarea yang ditemukan pada zaman penjajahan. Tanpa menyebut nama bangsa, Tuan Sarea mengisahkan orang-orang putih yang pertama-tama datang ke Pulau Besar. Orang-orang putih itu sering minta diantar oleh pribumi ke pedalaman-pedalaman dan mencari lubang-lubang emas. Anak-anak sungai yang belum dinamai, pada zaman itu dinamai oleh orang-orang putih. Nama yang biasa digunakan adalah nama pribumi yang mengantar orang-orang putih tersebut. Nenek moyang Sarea waktu itu merupakan pemberani yang berwibawa, sehingga orang-orang putih tidak berani meminta pertolongannya tanpa menawarkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan jajahannya.
Untuk memimpin suku yang terdiri atas kampung-kampung, nenek moyang Sarea telah menyelamatkan orang-orang putih dari buaya sepanjang lima belas meter di sebuah sungai yang amat besar yang belum dinamai dalam sebuah perjalanan menemukan tambang emas terbesar. Setelah peristiwa heroik itu, sungai tak bernama itu dinobatkan sebagai sungai Sarea. Sementara gigi-gigi sang buaya disimpan keluarga Sarea dan boleh ditukar hanya dengan nyawa.
Layantara memasang telinga dengan gaya amat hati-hati dan tegas --khawatir melewatkan satu jenis siul burung dan kisah-- sambil terus berjalan ke Arah Barat. Dalam sikapnya itu, terdapat pula nuansa bangga yang misterius. Nuansa bangga yang terpancar dari seseorang yang sedang merasa menjadi calon menantu seorang suku besar.
Tuan Sarea dan Layantara tiba di sebuah kampung suku lain di Arah Barat. Dari tas besar misterius yang diseret Tuan Sarea sepanjang perjalanan, Tuan Sarea mengeluarkan seperangkat gigi-gigi besar yang tajam dan menyerahkannya kepada Kepala Kampung. Dari sang Kepala Kampung, Tuan Sarea harus meminta gantinya, namun ia menyerahkan kekuasaan itu kepada Layantara. Dengan pertimbangan yang paling intuitif, Layantara meminta parang dan tikar rotan halus yang menjadi hasil karya paling sohor dari kampung Arah Barat. Mulanya Tuan Sarea tampak terkejut dengan pilihan Layantara, tapi kemudian tersenyum mendengar alasannya yang polos.
Keluar dari kampung tersebut, di sebuah rimba yang telah dilewati dalam perjalanan sebelumnya, Tuan Sarea mengajak Layantara berhenti dan berbicara, "Aku tidak bisa kembali ke kampungku. Aku telah muak dengan keadaannya dan orang-orangnya, dengan alamnya yang tak lagi subur. Sebagai keturunan Sarea yang jantan, tugaskulah menemukan ladang-ladang baru.
Namun jangan engkau hiraukan keluhanku. Engkau masih muda, punya pekerjaan pula, dan sedang jatuh cinta. Tak ada tugas yang berat bagi seorang perantau selain mendapatkan permata dari tanah barunya."
Setelah diam beberapa saat, Tuan Sarea mengajukan sebuah pertanyaan. "Hai pemuda keturunan Timoor yang pemberani, engkau telah menjadi penghuni Pulau Besar dan menikmati pohon-pohonnya, dan engkau yang telah memilih parang dan tikar rotan sebagai ganti dari gigi-gigi buayaku, apakah engkau akan terus mengembara bersamaku mencari ladang-ladang baru dan hidup mandiri atau kembali ke tanah di mana engkau dilahirkan dan menikmati kembali pohon-pohonnya?"
Layantara terdiam. Baginya, pertanyaan itu tidak bisa dijawab kecuali dengan mengabaikan rasa malu. Sebab jika ia memutuskan ikut mengembara, ia tahu betul itu berarti meninggalkan kekasihnya, Nana Sarea, menderita tanpa cinta dan perlindungannya. Dan jika ia memilih mendapatkan Nana Sarea, ia merasa dirinya amat pengecut di hadapan keturunan Sarea.
Akhirnya ia memilih kembali ke Kampung Tengah untuk menikahi Nana Sarea berdasarkan cara-cara agama Kahrangan yang dianut Suku Tengah. Tuan Sarea tersenyum dan menjabat tangan Layantara dan mengingatkan Layantara pada petunjuk burung-burung yang sejak awal ia minta untuk dipelajari dan hafalkan.
Sementara Layantara berjalan menuju Kampung Tengah, Tuan Sarea berbelok kembali ke Arah Barat dan menemui sepuluh orang lelaki keturunan Sarea. Sebelas orang itu kemudian berjalan terus ke dalam Arah Barat dan bertemu tenda-tenda kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari sebelas lelaki suku asli Tengah Pulau Besar.
Sesampai Layantara di kampungnya, yang ia temukan hanya pondok-pondok yang terbakar, lalat-lalat kerotot yang lapar, dan matahari siang berwarna semerah senja yang menelan cintanya sampai hangus.
Di hari pertama, Layantara menggelar tikar rotan halus dan menangis bisu di atasnya. Sementara itu, rombongan perempuan yang naik trailer rampokan dari Perusahaan Canggih tiba di pedalaman Arah Barat. Di antara rombongan yang baru datang itu, tampak seorang perempuan muda dengan kecantikan yang sulit direlatifkan, yang berkulit cokelat dengan mata sipit dan hidung mungil yang menantang. Para pemuda bersorak dengan suara yang dicekat, "Nana Sarea! Tak mungkin jadi istri peladang Canggih!"
Begitulah, di pagi hari kedua, Layantara menggorok sendiri lehernya dengan parang --konon karena musim telah berganti sehingga burung-burung berubah arah dan bunga-bunga tumbuh tidak pada tempatnya. ***
Cerpen Ganda Pekasih
Santer terdengar di kampung Salimin akan dibangun salah satu masjid terbesar di di dunia. Salimin mendengar dari tetangga-tetangganya yang bergunjing tentang masjid itu bahwa masjid itu nanti kubahnya saja akan berlapis emas,lampu lampunya terbuat dari kristal,pilar pilarnya dilapisi marmer terbaik dari negeri negeri Eropa. Arsitekturnya modern berkiblat Timur Tengah….
Salimin ragu, apa betul di kampungnya akan berdiri masjid sebesar itu,karena hampir setiap subuh saja dia tidak mendengar ada orang adzan di kampungnya.Dia tahu orang orang di kampungnya orang yang taat ibadah,mereka juga menjalankan lima waktu.
Tapi saat salat subuh justru mushollah yang didatanginya sering terkunci rapat, gelap, tak ada suara yang menggemakan adzan dan seruan-seruan kebesaran-Nya. Kalaupun suatu hari ada yang salat berjamaah, hanya beberapa gelintir orang saja yang hadir, itu pun mereka yang sudah tua-tua yang sebentar lagi menemui ajalnya.
Padahal yang pernah didengar Salimin dari seorang musafir yang datang memberi tausiah di mushollah kampung mereka beberapa waktu lalu, bahwa sempurnanya salat lima waktu seorang hamba itu bisa dilihat dari salat subuhnya, dilakukan secara berjamaah dan dilaksanakan di masjid. Jika salat subuhnya belang-belang, kadang salat kadang tidak, dipastikan waktu-waktu salat lainnya pastilah akan mudah tergantikan urusan remeh-temeh dunia.
Rasa penasaran Salimin membuatnya mampir ke mushollah sore hari sehabis-berjualan bersama-istrinya, disuruhnya istrinya pulang lebih dulu. Di halaman mushollah orang-orang tengah ramai membicarakan bahwa rumah-rumah mereka yang setengah permanen akan diberi ganti untung melebihi harga pasaran. Bahkan beberapa rumah yang dinilai letaknya strategis walau terbuat dari gedhek akan dibayar beberapa kali lipat.
Terdengar tawa-tawa gembira mereka yang ingin secepatnya membeli tanah di tempat lain untuk membuat usaha dan sebagainya. Kehadiran Salimin tak ada yang menggubris. Bahwa yang didengar Salimin kemudian ternyata rumahnya tak masuk dalam wilayah yang dibebaskan. Itu berarti Salimin nanti akan bertetangga dengan masjid terbesar di dunia itu.
Rumah Allah yang sangat megah dan indah, bangga dan haru dirasakan Salimin bahwa dia akan salat di masjid itu dan mengikuti pengajian bersama jamaah lainnya. Ya, siapa yang peduli dengan Salimin yang bertongkat lagi miskin. Yang kerjanya hanya berjualan rujak bersama istrinya yang kurus dan penyakitan, yang lebih sering memikul kembali pulang jualannya hingga membusuk di rumah karena tak ada yang membeli.
Selesai salat, depan mushollah yang dilewati Salimin terasa makin sepi, Salimin berjalan pulang hati-hati mengayun tongkatnya. Rumah Salimin setengah batako setengah gedhek bambu, atapnya terbuat dari seng, jika siang hari terasa panas sekali. Jika hujan akan terdengar suara bising memekakkan telinga, tapi lingkungan tempat tinggal Salimin tak pernah terkena banjir. Entah esok atau lusa.
Seperti perumahan di belakang mini market tempatnya berjualan, jika banjir besar datang, air bisa naik setinggi pinggang orang dewasa. Padahal sebelumnya perumahan itu tak pernah digenangan air kalau musim hujan tiba. Salimin tiba di rumahnya, bahan-bahan rujak tumbuknya baru saja diantarkan beberapa tetangganya, pisang batu, jambu kelutuk bahkan cabe rawit.
Semua bahan rujak tumbuk itu didapatnya gratis, tetangga-tetangganya berbaik hati memberi tanpa diminta karena di kebun-kebun mereka semua itu tumbuh subur, Salimin hanya tinggal membeli garam dan gula merah saja di pasar. Anak anak Salimin tidak bersekolah, mereka kurus dan kurang gizi. Tapi mereka anak anak yang normal dan lincah.
Salimin tak mempunyai biaya untuk memasukkan mereka ke sekolah, untuk makan saja mereka kekurangan. Kebutuhan pokok yang harganya terus naik tak sebanding dengan penghasilan Salimin. Sering Salimin mendengar perut anaknya berbunyi tanda lapar saat dia terbangun untuk bertahajud, sementara Salimin sendiripun juga merasakan hal yang sama, hanya karena Salimin rajin puasa senin kamis, lapar itu menjadi ringan baginya, tapi tidak dengan anak anaknya….
***
Tak diduga salimin, pembangunan masjid itu demikian cepat, Salimin kerepotan berjalan di tempat yang biasa dilewatinya walau dituntun sang istri, pikulan rujaknya makin hari makin berat pula dirasakannya. Rumah-rumah sederhana tetangganya, beberapa batang pohon jambu kelutuk, pisang batu, semua mulai diratakan dengan bolduzer. Hari itu mereka langsung berkemas.
“Kang Imin, kami akan pindah hari ini juga, maafkan kalau ada salah-salah kata ya, Kang.” Mpok Sodah kawan dekat istrinya yang setiap hari mampir ke rumah membeli rujak tumbuknya memeluk Salimin. “Aku juga mohon maaf, Mpok. Aku banyak merepotkan.” “Aku akan sering sering melihat anak-anak dan istrimu nanti.”
“Trima kasih Mpok….” Lalu beberapa tetangga Salimin berkerumun, mereka menitipkan tanah kelahiran mereka, beberapa yang lainnya berjanji akan datang untuk ziarah dan mengikuti pengajian jika masjid telah selesai dibangun. Beberapa kuburan leluhur mereka sengaja dibiarkan tertanam di bawah tanah yang diratakan, mereka tak mau membawa serta tulang belulang itu karena di atasnya toh akan berdiri masjid yang megah, bukan tempat-tempat maksiat. Salimin meneruskan perjalanan memikul jualannya, orang orang lalu tak peduli, sibuk dengan urusan mereka masing masing.
***
Tersirat di hati Salimin seandainya rumahnya juga terkena pembangunan masjid itu, mungkin dia tak lagi berjualan rujak, dia akan membuka warung kecil-kecilan saja, diam di rumah, tinggal menunggu orang menitipkan jualan mereka dan mengambil keuntungan sekadarnya.Tapi kemudian bayangan masjid besar itu memenuhi penglihatannya yang gelap. Masjid yang sangat megah dan indah. Berkubah berkilauan menantang matahari…. Bertetangga dengan masjid itu tentu menjadi orang yang sangat beruntung pikir Salimin.
Dia tak akan pernah ketinggalan shalat subuh berjamaah, dimana saat orang-orang lelap tertidur, atau saat orang-orang terbangun sekejap karena diganggu panggilan adzan dia sudah ada di masjid menegakkan agama Allah. Dialah orang yang sangat beruntung itu….
Dia akan bisa memenuhi panggilan agung itu setiap waktu fardhu lainnya serta sunat-sunatnya, tak ada lagi mushollah yang terkunci rapat dan gelap tak bersuara kecuali serangga. Setiap langkah kakinya dari rumah ke masjid dihitung pahalanya, tubuhnya di akherat kelak akan bercahaya, semua doanya diijabah….
Membayangkan semua itu, Salimin merasa Masjid itu adalah anugrah terindah Allah baginya, ia merasa begitu disayang Allah, Allah masih memberinya kesempatan melihat perubahan yang tak pernah dibayangkan oleh semua orang di kampungnya, bahwa salah satu masjid terbesar di dunia sebentar lagi akan berdiri dan menjadi tetangganya, yang kubahnya saja katanya dilapisi emas murni 24 karat, lampu-lampunya terbuat dari kristal yang berkilauan cahaya. Pilar-pilarnya tinggi menjulang dilapisi marmer terbaik dari negeri-negeri yang tak pernah dibayangkan Salimin kemegahannya.
***
Masjid itu kini sudah selesai dibangun, kubahnya tinggi menjulang menantang matahari, kuning berkilau megah karena terbuat dari emas murni, bukan sampah emas atau sepuhan belaka. Terdengar orang-orang ramai berdatangan dari segala penjuru untuk salat, mengikuti pengajian atau sekadar melihat-lihat saja. Salimin ikut menikmati kemeriahan itu dengan bangga, tercium wangi yang tak pernah dirasakannya saat berpapasan dengan para jemaah yang datang dari segala penjuru kota.
Hari ini Salimin menanti adzan subuh pertama berkumandang di masjid itu, sebelumnya dia sudah menjalankan salat tahajud sambil mendengarkan bunyi perut anak anaknya yang lapar seperti hari-hari kemarin. Salimin pelan-pelan membangunkan istrinya, mengecup kening anak-anaknya yang lelap dibuai mimpi, tapi dia tak ingin membangunkan anak-anaknya untuk ikut salat karena itu akan menyiksa mereka. Mereka lebih baik tidur dari pada menahan lapar di pagi buta.
Salimin dan istrinya mulai meninggalkan rumahnya menuju Masjid yang sinar lampu-lampu di seantero halamannya terasa hangat di kulitnya mengalahkan udara subuh yang berhembus lembut. Embun di selasar-selasar dan pintu gerbangnya yang luas dengan bunga-bunga yang tumbuh di antara rerumputan terasa dingin, tetes-tetes embunnya membasahi ujung jari kaki mereka.
Di dalam Masjid yang megah itu, seusai adzan shubuh, Salimin salat dan menitikkan air mata bangga akan kebesaran-Nya, hingga dia bertanya dalam hati, siapa yang membangun masjid ini, dan kalau ada yang memilikinya, siapa dan seperti apa rupa wajahnya. Bahwa dia kini tengah salat berjamaah di masjid yang membuatnya lelah berjalan dari rumahnya, pantaslah kalau masjid ini salah satu yang terbesar di dunia.
Kemudian doanya kepada Allah agar dia bisa dapat melihat keindahan Masjid di dekat rumahnya ini yang selalu jadi bahan perbincangan di mana mana, terutama kubahnya yang berlapis emas itu, tapi sayangnya dia tak memiliki mata itu….
Salimin sudah lama sangat ingin melihat keindahan Masjid di dekat rumahnya saat mulai pertama dibangun dulu, tidak hanya bisa mencium dingin lantainya. saat sujud atau merasakan angin yang berputar di antara pilar-pilar raksasa berlapis granit yang lampu-lampu kristalnya berkilauan cahaya saat dia shalat kini.Telah jadi Ketentuan baginya memiliki mata yang tak bisa melihat, dan itu sangat disesalinya kini, Tapi kemudian dia cepat beristigfar berkali kali mohon ampun.
Yang dirasakannya bahwa Allah hari ini sangat dekat dengannya, lebih dekat dari jantung dengan detak dalam dadanya. Allah tak beranjak mendengar untaian doa, dzikir dan tasbihnya hingga terbit pajar. Bening air matanya berjatuhan dari kedua bola matanya. Usai salat, Salimin dituntun istrinya keluar dari Masjid. Salimin mengetuk-ngetukkan tongkat penunjuk jalannya ke lantai Masjid dengan hati-hati karena takut ujung tongkatnya yang tajam akan melukai lantai marmer yang dilaluinya.
Tiba di selasar yang panjang ratusan meter sebelum mengambil jalan menuju rumahnya, Salimin dan istrinya dikejutkan dengan kehadiran anak-anak mereka yang menjemput, tak pernah terdengar suara mereka segembira pagi ini. Mereka lalu berebut menanyakan adakah kue-kue atau nasi dalam kotak untuk mereka seperti yang biasa di bawa Salimin sehabis menghadiri acara sukuran.
Salimin hanya bisa mengelus kepala anak-anaknya sebelum senyum mereka redup, dan tiba- tiba dia seperti bisa melihat senyum dan bola-bola mata bening di wajah-wajah mereka bersama terbit fajar tanda kebesaran-Nya. Bola-bola mata itu sangat bercahaya. Tapi Masjid memang tak menyediakan makanan, dia hanya tempat zikir dan berdoa.
Salimin segera mengajak anak anaknya pulang, fajar mengiringi langkah langkah kaki kurus mereka sebelum kemudian langit berubah mendung. Dengan rasa malu kubah-kubah emas yang berkilauan segera menyembunyikan cahayanya hingga jauh ke balik awan.
***
Cerpen F. Moses
AWALNYA aku takut. Lama-lama jadi terbiasa. Hidup bersama orang-orang masa lalu di kota ini. Tanpa siang. Semua waktu adalah malam. Kadang hadir sebuah rembulan di langit. Membuatku senantiasa merasa sunyi walaupun sebenarnya aku suka sekali melihat rembulan. Malam rembulan.
Seorang penduduk, salah satu dari orang-orang masa lalu, pernah berkata padaku, kalau sebenarnya mereka letih untuk kembali bekerja ketika siang hari. Karena itulah mereka berkeputusan membakar siang. Membakar matahari.
Memang sudah lama aku mendengar kala waktu-yang katanya tanpa siang di kota ini. Siang sudah tak ada lagi. Siang telah menjadi malam. Kadang mereka juga kerap berpetuah pada pendatang yang kebingungan kerena menetap di kota yang selalu malam. Dalam ingatan, selintas petuah mereka terdengar. kau tak perlu ragu, jika hendak menetap di kota ini. Kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Jangan pernah ragu.
Ya. Selalu terngiang. Lantas, aku kembali berpikir, kenapa cemas? Cemas bagian sisi manusia. Kerap menghancurkan.
Tentang cemas, bagi orang-orang masa lalu hanyalah milik orang tak punya rasa syukur. Makanya, dahulu orang-orang masa lalu sepakat membakar matahari yang baginya membuat letih dan cemas. Terkadang sakit. Entah sakit yang bagaimana. Karena terbit sampai tenggelam matahari hanya menjadikannya bekerja. Alasan cengeng. Tapi sekarang mereka senang, petanda separuh hari telah mereka bakar. Semata, supaya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, paling hanya untuk tidur. Tindakan aneh. Tidak masuk akal, tapi begitulah kedaannya. Begitulah seterusnya.
Di hari yang selalu malam ini, terkadang aku melihat anak-anak kecil tampak riang bergembira tanpa beban. Betis ceking tanpa alas kaki, sambil bertelanjang dada, berlarian mengitari lapangan. Kembali lagi, dalam ingatanku, konon hal tersebut bagi mereka adalah ritual. Petanda bentuk penghormatan terhadap leluhur orang-orang masa lalu. Setiap hari mereka lakukan itu, sambil mengitari api unggun, mulai anak-anak sampai orang tua. Berkeliling. Begitulah seterusnya.
Sekali lagi, setiap hari malam rembulan. Dalam tatapan aku selalu melihat anak-anak berlarian. Saling kejar-kejaran. Dan remaja berpasang-pasangan, para orang tua asyik duduk tenang di setiap balkon depan rumahnya. Mereka menikmati malam. Malam bersahaja. Malam tak pernah mati.
Dalam sepanjang malam seperti ini, aku menikmati. Malam rembulan. Aku ingin mengerti semua ini. Aku tidak tahu, mengapa sedemikian berani mereka membakar siang. Aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu. Menggelisahkan.
***
Sungguh unik kehidupan di kota ini. Semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Barangkali inilah suatu kehidupan yang tak pernah ada di muka bumi ini. Kota tanpa siang. Selalu malam. Tanpa matahari.
Seperti tadi aku bilang, sekali lagi, semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Kecuali, perempuan itu. Sering aku memperhatikannya menyendiri. Sebenarnya hal itu kuperhatikan sejak pertama kali di kota ini. Aku tidak tahu namanya. Kerap aku memperhatikan, setiap gelagatnya jauh seperti perempuan umumnya yang selalu mampu menikmati malam. Tapi, sepertinya ia justru ternikmati sebagai suatu kesunyian. Bermain sunyi. Barangkali.
Suatu ketika, aku memandangnya dari kejauhan. Ia jauh dari keramaian umumnya. Dengan langkah amat perlahan aku mendekatinya. Aku mendengar isak tangis perempuan itu. Sekali lagi, kembali aku tak tahu. Entah kenapa ia menangis. Aku pun ragu untuk lebih mendekat. Hanya bertanya dalam hati. Menduga-duga.
Dugaan salah. Di malam rembulan ini, yang tanpa siang, masih ada perempuan menangis. Menangis setiap saat. Sepengetahuanku, sejak kota ini menjadi malam tanpa siang, sungguh penuh suka cita. Tanpa duka. Terlebih oleh perempuan tengah menangisi kota ini. Kotanya sendiri. Sekali lagi, aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu, selain keingintahuanku tentang mengapa sedemikian berani orang-orang di kota ini membakar siang. Membakar matahari.
Suasana aku nikmati menjadi begitu sunyi. Sunyi di balik derai tawa semua orang. Sunyi karena perempuan menangis. Menjadikan bukit-bukit tidak lagi tawarkan keindahan dari bayang-bayang selimut malam. Apalagi pagi, ketika embun membayang-bayangi bukit di tampak kejauhan. Laut juga tidak membawa debur ombak lagi. Apalagi ombak saling balap. Yang tersisa hanya gelap. Bermahkota bulan. Malam rembulan.
Kini aku benar-benar mendekati perempuan itu. Di belakangnya. Rupanya ia tahu. Tanpa kusadari, ia menangis sambil berkata-kata. Kata bersama isaknya yang terbata-bata. Sekarang aku benar-benar mendengarnya. Suatu hal paling aku inginkan.
Seketika itu pula kudengar ia berkata. Sambil terisak-isak. Menjadikannya terdengar terputus-putus.
"Inikah kotaku? Kota hancur. Mati. Orang-orang serakah. Matahari sudah mereka hancurkan. Matahari sudah tak milik kota ini lagi. Hancur. Langit tak punya salah. Langit kehilangan mataharinya. Kota ini tak bercahaya lagi. Semua mata pada gelap! Barangkali pikirannya pun demikian."
Aku tak mengerti. Ucapnya bercampur isak begitu menampakkan emosi batinnya terasa olehku. Terputus-putus. Sebisa mungkin aku merasakannya. Aku diam. Aku biarkan sampai ia berkata-kata kembali. Cukup lama aku menunggu. Kembali terlihat olehku, ia tampak sibuk memainkan jemarinya. Mengelus-elus putih kuku kerasnya. Memijat tangan lembutnya sendiri. Rasanya seperti menghitung-hitung irama kegelisahannya. Gundah. Rasanya banyak pula ingin dikatakannya. Kata kesal. Barangkali sesal.
Aku pun memulainya. Setidaknya ia kembali untuk berkata-kata lagi. Aku mendengar kata-katanya kembali. Tidak jelas. Sekuat tenaga, aku berusaha menangkap maksudnya. Sekuat tenaga, aku ingin mengerti kegelisahan mendaging dari miliknya. Rasanya. Ucap kesal dan sesal terdengar banyak. Sulit aku mengungkapkannya. Ungkapan mengalir dan seterusnya. Begitulah.
***
Aku kembali ke rumah. Melintasi jalan-jalan sepi. Lengang. Sembari masih teringat perempuan itu. Oh, kehidupan malam. Malam rembulan. Kau membuat aku selalu bertanya-tanya. Entah kehidupan macam apa ini. Mengapa sedemikian nekat orang-orang kota ini membakar siang. Membakar matahari.
Dalam pikiran, barangkali khayalan dalam angan, terlintas. Aku dan kekasihku masih berjauhan. Jarak jauh. Jarak terpisah oleh lautan. Bahkan pulau. Aku di sini, seperti aku bilang tadi, di pulau pada kota tak tanpa matahari. Siang mati. Sudahlah, aku hanya bayang. Seperti bayang dari wujud cahaya rembulan. Berpendar. Dari bulan tersiram matahari di pulau sana. Aku tak tahu. Di sini masih dan akan terus tanpa matahari. Malam selamanya. Sudahlah, sepertinya jadi makin mengigau sepanjang perjalanan ini. Gelap. Lengang. Selalu dan masih di bawah rembulan.
***
Seperti tak tersadar. Entah kemana aku melangkahkan kaki ini. Terus berjalan. Di bawah rembulan mengitari kota ini. Seperti kukatakan tadi, kehidupan orang-orang di sini seperti lebih bercahaya. Entah cahaya bagaimana. Bahkan cahaya apa. Dari pancaran mata orang-orang di sini tak menampakkan sebuah beban. Beban kosong. Kelamaan terkesan tak berpengharapan.
Seketika, kembali aku jumpai perempuan itu. Di pertigaan jalan itu. Seperti ada sesuatu ditunggunya. Tampak berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Tampak anggun. Di bawah sinar rembulan, tampak cahaya menyepuh seluruh tubuhnya. Tak seperti aku lihat sebelumnya. Meskipun demikian, auranya masih menggelisahkan. Ia masih menangis. Entah ke berapa kalinya. Entah karena apa lagi.
Kembali perlahan, aku mendekatinya. Amat perlahan. Entah kegelisahan apalagi darinya. Yang kutahu, sejak pertama memang cukup banyak seolah ia gelisahkan. Aku sudah mendekat. Ia tampak menangis. Seperti kala waktu aku menjumpainya.
Kali ini aku ingin berkata padanya, tapi tak dapat. Kecuali dalam hati. Entah kegelisahan apalagi kau punya. Padahal ingin banyak berkata-kata padanya. Ingin tahu, kesal maupun sesalnya.
Cukup lama aku menunggunya. Penasaran. Mungkin aku harus memulainya. Semata, memancingnya bicara.
Inilah kesekian kalinya kulihat kau menangis lagi. Entah duka apa kau punya.
"Malam tak ada lagi. Sungguh jahanam. Aku kehilangan segalanya dari orang-orang serakah yang telah membakar matahari."
Aku masih tak mengerti maksud bicaranya. Aku hanya melihat ia menangis kembali. Terisak-isak. Entah kepada siapa pula ia tujukan kata-kata itu. Entah apa yang mengganggunya.
Tiba-tiba ia kembali berkata."Aku merindukan lelakiku dan matahariku. Semua di sini pada puas. Kepuasan mematikan kehidupan siang. Orang-orang di sini hanya ingin enaknya saja. Selalu menikmati malam. Menghalalkan haram. Mengharamkan halal. Lelakiku terbunuh karena memertahankan siang. Sekarang hanya malam. Malam di kota penuh kejahatan. Aku merindukan terang."
Dengan langkah amat perlahan aku meninggalkannya. Tampak olehku dari kejauhan, ia masih berbicara seorang diri. Sambil sesekali terisak-isak. Aku kembali berjalan. Entah ke mana. Tidak ingin pulang ke rumah.
Ada sepi dan ramai. Kembali aku melintasi orang-orang menikmati malam bawah rembulan. Anak-anak masih tak letih berlarian. Penduduk kota masih dengan nikmatnya. Entah nikmat yang bagaimana. Semua tampak tanpa beban. Tempaan angin dari arah teluk cukup membuat dingin. Di kota selalu malam aku masih terus bertanya dalam hati. Kegilaan apa yang menjadikan mereka nekat membakar matahari.
Setiap hari, di malam bawah rembulan. Aku masih melewati ruas-ruas jalan di kota ini. Kota pekat. Kota nekat. Setibanya di pertigaan jalan itu, di sudut tembok, aku kembali melihat perempuan tengah menangis. Seorang diri. Kali ini bukan yang tadi kujumpai. Rasanya tak perlu lagi aku dekati. Hanya dalam hati: Entah kesedihan apalagi yang kau punya.
***
Teluk betung, November 2007
Rumah Warisan
Cerpen Yonathan Rahardjo
Kematian perempuan tua itu membangunkan duka. Terik matahari, yang membuat penduduk malas keluar rumah, tak sanggup menahan hati menuju gelap, ditutupi mendung kesedihan. Menantu perempuan tua itu, yang pertama kali menjumpai kematian sang perempuan tua, menjerit pilu.
Tangis janda anak kedua almarhumah itu mengundang cucu-cucu dan keponakan serta tetangga-tetangganya untuk datang. Kabar duka pun menyebar dari mulut ke mulut, memagnet anak-anak jenazah untuk segera berdatangan. Keluarga besar anak pertama, anak ketiga dan anak kelima, melengkapi anak cucu terdekat, menyatu dengan saudara dekat, tetangga-tetangga dan semua pelayat.
Suasana perkabungan bergulir dari satu acara ke acara lain, ditangani mereka yang ada. Sedang anak keempat beserta keluarganya dalam perjalanan dari luar kota.
"Catur sebentar lagi tiba."
"Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan.
"Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."
Banjir air mata terus mengalir merata pada diri para anak perempuan tua itu. "Emak menyusul Bapak dan Mas Dwi."
"Kita segera berangkat begitu Catur datang."
Keberangkatan jenazah pun dipastikan ketika dari ujung gang terdengar raung tangis Catur, anak lelaki keempat. Catur berjalan limbung, dipapah oleh istri dan anak-anaknya.
Prosesi harus berkejaran dengan perginya siang. Secepat langkah iring-iringan pengantar jenazah, secepat itu pula pemakaman yang diiringi nyanyian duka pengantar kepergian sang perempuan ke pemakamannya. Baru esok harinya si bungsu, anak perempuan almarhumah, Ragil, tiba, setelah menempuh perjalanan sepanjang Pulau Jawa. Yang menyambut adalah ketiadaan orang tersayang. Saudara-saudaranya tidak mungkin berdusta dengan suasana perkabungan yang begitu jelas. Meski, mereka membiarkannya membuka kain pintu kamar emaknya dan di situ tidak ia jumpai perempuan tua itu di atas pembaringannya.
Tangis kembali memecah hari. Wajah-wajah sedih kembali dibanjiri air mata duka, tidak mampu menahan diri sekaligus mencegah luapan duka cita anak bungsu yang baru tiba.
"Mengapa kalian membohongiku? Emak sudah dikubur! Aku tak boleh memberi penghormatan terakhir padanya?"
"Ragil, jangan salah paham. Sekarang kami antar ke makam Emak."
Di tanah kuburan yang masih basah, perempuan muda itu pingsan. Tangan-tangan saudara-saudaranya mencegahnya tersungkur mencium tanah bertabur bunga yang belum kering.
"Anakku, Emak sudah tenang di sini. Emak sudah bertemu dengan Bapakmu."
"Emak, mengapa lebih sayang Bapak daripada aku, anak kesayanganmu?"
"Sayangku pada Bapakmu sebesar sayangku padamu, anakku."
"Mengapa tidak menungguku datang agar aku mencium Emak sebelum Emak bertemu Bapak?"
"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang."
"Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya, diiringi doa-doa penghiburan, dan baru dimakamkan esok harinya, ketika aku sudah pasti tiba?"
"Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal."
Diiring senyum ibunya yang sangat ia kenal, perempuan muda itu tersilaukan oleh cahaya yang begitu terang. Ragil melihat ibunya tak setua yang ia kenal, bergandeng tangan dengan lelaki muda yang rasanya sangat ia kenal.
"Bapak...!"
Ragil, perempuan muda itu, tiba-tiba sadar. Saudara-saudaranya memandangnya dengan penuh rasa heran.
"Adik bungsu, mari kita pulang. Biarkan Emak tenang bersama Bapak dan Mas Dwi di rumah baru ini," ajak saudara-saudaranya ketika Ragil siuman.
"Mas Dwi? Aku tadi tidak berjumpa dengan Mas Dwi. Aku hanya berjumpa dengan Emak dan Bapak."
Saudara-saudara lelaki, kakak-kakak dari anak bungsu itu, terhenyak.
"Mengapa hanya Emak dan Bapak? Mengapa tidak bersama Dwi?"
Perjalanan pulang dari makam digelayuti pikiran-pikiran kusut, suasana duka diracuni hati cemburu.
"Jangan-jangan Emak dan Bapak tidak sayang pada Dwi," pikir si sulung Eko tentang hubungan adik kandungnya dengan kedua orang tuanya yang sama-sama sudah tinggal nama.
"Jangan-jangan Emak dan Bapak juga tidak sayang padaku seperti tidak sayangnya mereka kepada Dwi," pikir Tri, anak ketiga.
"Jangan-jangan.... Ah, biarlah," pikiran gundah tapi pasrah mendera anak ke empat, Catur.
"Wajar kalau Emak paling sayang pada Ragil. Sebab, ia anak bungsu dan satu-satunya perempuan," anak lelaki kelima, Ponco, punya pikiran sendiri.
Bagaimanapun, mereka, empat anak lelaki dan satu perempuan yang masih hidup, bersama istri, suami dan janda anak kedua, beserta semua anak mereka, tak dapat menghindar dari suasana duka. Tidak ada lagi orang tua yang melahirkan dan membesarkan mereka.
Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orang tua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi, mengapa harus ada perasaan aneh ini?
"Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam," tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras.
"Apa maksudmu, Tri?"
"Kita masih dalam suasana duka!"
"Ya, kita memang berduka. Tapi, kita semua adalah anak-anak Emak dan Bapak."
"Maksudmu?"
"Emak dan Bapak pasti sayang kita semua. Karena sayang kita, pasti Emak dan Bapak mau anaknya yang paling mampu menukar rumah ini dengan harga tertinggi untuk menggantikan hak semua anaknya."
"Berhenti!"
"Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini." "Tutup mulutmu, Tri! Soal ini kita bicarakan sesudah seribu hari meninggalnya Emak!"
"Sudah! Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan bungsu mereka, menampar setiap mulut untuk langsung terdiam.
"Tanah kuburan Emak masih basah, kalian sudah ngomong soal warisan."
"Ragil, aku tahu, kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi perempuan pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jagal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi, kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis. Menghidupi keluarga saja kembang-kempis. Apalagi mau membahagiakan Emak yang baru saja menyusul Bapak. Mana bisa?"
Tidak ada upaya menghentikan celoteh lelaki anak ketiga dari enam bersaudara dan tinggal hidup lima orang itu. Si bungsu diam. Bahkan suaminya yang sedari tadi hanya menjadi penonton 'pergulatan' lima bersaudara itu hanya diam dan menenangkan istrinya dengan meremas telapak tangannya.
Sejak saat itu, sekembali ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan Ponco, tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
"Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan...," celoteh meraka.
***
Anggang dari Laut
Cerpen Pinto Anugrah
"Pergilah! Ikuti aliran batang Kuantan itu, kelak kau akan bertemu ujungnya, di mana air akan terasa asin di lidahmu. Muara dengan riak ombak yang mendesir, nyanyian yang mendayu-dayu, yang membuat hati pilu dan layu. Ya, di sanalah tanah Melayu. Carilah ayahmu! Ia berdiam di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Anggang, itulah nama ayahmu, terkenal dengan julukan ‘Anggang dari Laut’!"
Mengiang, kata-kata itu mengiang. Tertanam di tubuhku yang paling dalam. Masuk ke darah, mengalir, setiap persendian, ngilu, dan pilu. Menjadi dayung setiap pelayaranku.
"Ingat, Buyuang! Kau bukan lagi anak dari seorang putri raja dengan ibu bernama Puti Jamilan. Kini, kau hanya seorang anak rantau yang mencari penghidupan baru di tanah seberang. Layarilah penghidupanmu, kini kau punya kapal sendiri yang bebas kau kayuh ke samudra manapun."
Sebuah kapal dagang baru saja melempar jangkar. Petang di bandar Malaka tak menyurutkan hiruk-pikuknya sebagai bandar dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal silih berganti menurunkan dan menaikkan jangkarnya. Barang-barang dagang tak habis-habisnya turun dan naik dari kapal-kapal.
"Apa yang kau lamunkan, Bujang?"
Aku tak menyangka ia akan menyapaku juga. Sedari tadi kuperhatikan ia sibuk menyelesaikan pekerjaannya; mengangkuti peti-peti lada yang hendak diperdagangkan. Ia seorang kuli angkut di bandar ini, aku mengenalnya pagi tadi di kedai kopi sudut bandar.
"Saya hendak sangat berlayar."
Ia tertawa, lepas, keras sekali. Hingga orang-orang pun menoleh, kami jadi pusat perhatian. "Ke mana kau akan berlayar, Bujang?"
"Entahlah. Ke mana gelombang akan membawa."
"Kau masih terlalu mentah. Kau tahu, di laut lepas sana lanun-lanun berkeliaran. Membidikkan meriamnya ke setiap kapal dagang yang lewat. Sanggup kau menghadapinya?"
Aku tercenung, kemudian mengangkat kepala kembali. "Boleh saya tanya sesuatu."
"Apa yang hendak kau tanyakan?"
"Kau tahu di mana letaknya laut yang sedidih?"
Ia terkesiap, seketika ia hentikan pekerjaannya. Dan langsung berlari, menghilang di balik kerumunan orang. Bandar sangat ramai, aku tak dapat melihat ke arah mana ia lari. Tinggal rasa heranku.
Kembali aku termenung di ujung bandar, menatap laut lepas, dan sesekali pikiranku melayang entah ke mana. Tak lama ia kembali, namun kali ini ia tak sendiri. Di belakangnya seorang tua mengikuti. Air mukanya jernih. Bawaannya sangat tenang. Tampaknya ia seorang tua yang sangat dihormati dan jadi kaul tempat bertanya. Ia menghampiriku, sangat dekat, memandang lekat-lekat.
Ia berkata setengah berbisik, "Siapa yang kau cari, anak dagang?"
Aku memandang wajahnya yang teduh itu. "Anggang!"
Tampak ia terkejut, namun keterkejutannya itu dapat ia redam dengan bijak sebagai seorang tua. "Dari mana kau tahu keberadaan Anggang? Hanya orang-orang yang telah lama berlayar dan lanun-lanun yang tahu akan keberadaan Anggang."
"Aku anak Anggang!"
Kali ini keterkejutannya tak dapat ia sembunyikan. Ia terdiam, beberapa saat.
"Sebaiknya kau, anak dagang, cepat pergi dari sini! Jika Syahbandar tahu, kau bisa dirantai."
Kawanku, kuli angkut, turut mengangguk. Mengiyakan. Meyakinkanku.
Dan orang tua itu tampak memandang lurus ke depan, seolah pandangannya dapat menembus luas lautan. "Datang juga masa itu!"
***
Ruang ini gelap sekali, tak ada cahaya masuk sedikit pun. Aku tersandar di dinding batu yang lembab dengan kaki terantai dan terpasung ke dinding. Kepalaku terasa berat, tak lagi berasa apa-apa. Hanya darah dingin yang mulai membeku terasa di bibirku yang sembab. "Asin," umpatku, "Seasin air laut..."
Tak dapat kuingat dengan jelas, kejadian itu berlalu begitu cepat. Menghantamku, membuat segala yang ada di sekitarku mengelam. Kelam.
Tiba-tiba saja ia telah berada di belakangku dengan para hulubalangnya. Mereka langsung menyekap dan merantaiku. Kawanku—kuli angkut itu, tak dapat berbuat apa-apa, hanya memandang nanar ke arahku. Sedangkan orang tua itu, ia tersenyum, senyum yang lepas, "tidak apa, ikuti saja mereka! Itulah jalan untuk bertemu ayahmu!" Kemudian ia menghilang di antara kerumunan orang yang menonton.
Aku dibawa ke sudut bandar, seperti sebuah gudang, tapi aku yakin ini bukanlah sebuah gudang. Di dalam gelap, hanya bayangan garis wajah mereka yang dapat kutangkap dengan mata.
"Kau dari mana?"
"Siak!"
Sesuatu mendarat di kepalaku. Begitu keras. Membuat pandanganku mengabur. Dan benar-benar kelam.
***
"Tukar kebebasanmu dengan Pedang Sijanawi!"
Ia duduk berhadap-hadapan denganku. Sebuah meja Turki memisahkan. Tampangnya begitu dingin, walau airmukanya kelihatan bersih. Aku tak mengenalnya.
"Aku tidak tahu pedang apa itu, lagipula aku tidak punya pedang satu pun apalagi pedang yang kau sebutkan tadi."
Tawanya langsung meledak seperti muncung meriam. Aku tak mengerti apa yang ditertawakannya. "Bodoh! Aku tidak menyangka ia punya anak sebodoh ini."
Orang-orang yang berdiri di sudut ruangan itu pun ikut tertawa.
"Tidak perlu kau tahu pedang apa itu, cukup kau beritahu di mana keberadaan ayahmu, maka kau bebas!"
"Di laut yang sedidih." Aku menjawabnya cepat.
Ia lalu mengambil sebuah peti dan meletakkannya di atas meja Turki itu. Dikeluarkannya sebuah peta yang tampak sudah usang dan dikembangkannya seperti mengembangkan layar kapal ke hadapanku.
"Tunjukkan! Di mana laut yang sedidih itu!"
Aku sama sekali tak mengerti membaca peta. Yang kulihat hanya garis-garis hitam yang tebal dan pada bagian tertentu terdapat garis tipis mengiris. Dan tulisan, tulisan Arab tanpa baris, aku dapat membacanya sedikit-sedikit walau masih terbata-bata. Kutelusuri tulisan itu dengan berusaha membacanya satu persatu.
"Inuk." Kutunjuk sebuah tempat yang dengan mudah dapat kubaca di peta.
Ia langsung tercenung, semua tercenung.
"Inuk?"
"Bukankah Inuk wilayah kekuasaan raja-raja Bugis di Lingga?"
"Kita tidak bisa masuk ke dalamnya."
"Jika tetap masuk kita akan berperang dengan Bugis-bugis itu."
"Saya tidak percaya Anggang berada di Inuk, Syahbandar."
"Kenapa kau tidak percaya?"
"Kita lupa, ia itu Raja Lanun yang diburu muncung meriam raja-raja Melayu dan dibenci oleh raja-raja Bugis. Tidak mungkin dengan mudahnya ia memberitahukan keberadaannya pada orang-orang, bahkan kepada anak dan istrinya sekalipun."
Syahbandar langsung memukul meja di hadapanku.
"Budak ini mencoba menipu kita!"
Sebuah benda keras lagi-lagi dihantamkannya ke kepalaku. Membuatku tersungkur ke meja, darah segar langsung keluar mengalir dengan deras menggenangi meja buatan Turki itu, membentuk lautku sendiri. Tiba-tiba aku seperti tersadar, inikah laut yang sedidih itu? Mana mungkin, aku menepis pikiran itu.
Samar-samar aku masih mendengar amarah mereka.
"Buang budak ini ke air, biar muara Kampar menguliti tubuhnya, dicabik-cabik buaya. Tidak ada gunanya budak ini di atas kapal kita."
"Huh, Anggang, Raja Lanun yang menyimpan pusaka segala lanun yang benar-benar licik dan licin. Tidak salah ia dinamakan dengan Anggang, mendengarnya saja sudah bikin gatal seluruh badan apalagi kalau menyentuhnya."
***
"Bangun! Bangunlah, Anakku!"
"Kaukah itu Ayahku? Kaukah itu Anggang?"
"Ya, inilah bentuk wujudku. Ternyata kau sudah besar, Buyuang. Tanggalkanlah nama kecilmu itu! Sekarang kau bernama Tun Bujang yang akan mewarisi segalanya dariku."
"Di mana? Di mana kau, Ayah?"
"Ada di hatimu."
"Hatiku jauh kutinggalkan bersama Ibu, sebagai kawan sepinya untuk bersenandung."
"Telah kujemput dengan pusakamu Yamtuan Raja Kecik dan pedang Sapu Rajab, serta cap kuasa atas segala selat dan pesisiran."
"Kita pernah bertemu. Bukankah kau yang di bandar tempo hari?"
"Ya, bentuk lain dari penyamaranku."
"Di mana aku saat ini?"
"Ada dalam dirimu."
"Seperti kabut kau buat segalanya kabur. Tidakkah aku sekarang berada di laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk?"
"Tidak. Itupun lebih dikaburkan. Kenapa kau datang ingin menemuiku?"
"Ibu sudah sangat rindu kepadamu. Aku ingin membawamu menemui Ibu."
"Laut telah mengikatku!"
"Ayah!"
"Dan suatu saat kau pun akan diikat laut!"
"Ayah!"
"Sudah takdirmu kau akan menjadi Raja Lanun dan memegang pusaka pedang Sijanawi!"
"Ayah!"
"Salamku untuk ibumu!"
"Ayah!"
"Bangun! Bangunlah, anakku!
"Oh, di mana aku?"
"Di rumah. Kau terbawa arus sungai, untung tersangkut akar bakau, kalau tidak mungkin kau akan digulung arus bendungan dan pulang namanya saja."
"Ayah! Di mana Ayah? Ayah!"
"Ayahmu belum pulang menangkap ikan sejak pagi."
"Bagaimana aku menyusuri Kampar, Ibu? Batang Kampar telah dibendung, air menggenang membuat danau. Bagaimana caranya aku sampai ke laut. Dan Ayah, bagaimana dengan Ayah?"
"Kau bicara apa?"
"Laut yang sedidih hingga teratak berair hitam, tempat buaya putih tengkuk. Di mana itu, Ibu?"
"Bangunlah, Buyuang! Sadarlah!"
"Anggang, ya, Anggang. Itukah nama Ayah, Bu?"
"Rupanya benturan di kepalamu cukup keras, hingga kau menceracau tidak karuan!"
"Ayah! Kita tidak akan ketemu Ayah lagi, Bu!"
***
Kandangpadati, 0705 – 09
Sebotol Mineral
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
PEREMPUAN paruh usia bertutup kepala itu cepat sekali lenyap. Seperti ditelan remang senja. Seteleh mengucapkan terima kasih atas sebotol minertal untuk bernuka puasa. Mas Tohari berkali-kali keluar rumah makan, ingin mencari ibu itu. Tetapi, tak juga dilihatnya bayang-bayang ibu itu sedikit pun. Mas Tohari tampak gelisah, seperti menyesali diri.
"Ibu itu mungkin sudah jauh," kata Halim. Mereka baru tersadar setelah mas Tohari berkali-kali mendongakkan kepalanya keluar pintu, mencari ibu paruh usia yang berpakaian agak kumuh-betutup kela sejenis selendang digulung menyembunyikan rambutnya.
"Kukiran masih dekat. Mungkin ia masuk gang," ujar mas Tohari. Ia hendak mengajak Halim, teman kami yang lain. "Kau ikut aku, Lim, siapa tahu ibu tadi belum jauh. Siapa tahu mengaso di gang sebelah."
Halim beringsut dari kursi. Hidangan untuk berbuka puasa sudah disajikan. Di Ubud ini hanya sedikit mereka menemukan rumah makan yang bisa menyelerakan lidah: masakan Padang. Dan, dari sedikit itu hanya rumah makan ini paling tepat dengan lidah mereka. Itu sebabnya, untuk sahur dan berbuka puasa, rumah makan ini menjadi pilihan.
Semula mas Tohari dan Wira tak tahu rumah makan yang mampu menggairahkan lidah. Untunglah Halim yang kebetulan menyewa sepeda motor mengeliling setiap liku Ubud, dan dapatlah rumah makan khas Minang ini. Sejak itu-selama 5 hari di Ubud dalam rangka mengikuti suatu kegiatan internasional-mereka ketagihan mampir ke rumah makan sebelah Timur kota Ubud ini.
Dan, senja tadi seorang ibu paruh usia muncul di depan pintu. Ia ingin membeli sebotol mineral ukuran besar degan memberi uang Rp5 ribu. Tentu saja, penjual yang hanya pegawai tak memberi karena uang ibu tidak cukup. Mas Tohari segera meminta pedagang itu agar memberikan sebotol mineral itu pada ibu. "Ambillah, ibu. Saya yang bayar," kata mas Tohari.
"Alhamudillah. Terima kasih, uang ini untuk jajan buka puasa saya hari ini," kata ibu itu segera berlalu. Begitu cepat. Sebab hanya beberapa detik dari kepergiannya, mereka tersadar kalau ibu itu tak saja membutuhkan sebotol mineral untuk menghilangkan dahaganya, melainkan ia amat memerlukan uang-setidaknya-untuk membeli makanan untuk berbuka puasa.
"Ya Allah, kita sudah menganiaya diri kita," keluh mas Tohari. Usia Mas Tohari tertua di antara mereka. Ia juga dikenal sebagai ustad dan pemilik sekolah Islam di kotanya. Mas Tohari adalah, ah, tak perlulah kusebut profesinya yang lain yang konon cukup banyak itu.
Tapi, kali ini ia merasa terlecehkan. Rasa peduli sesama manusia kini teruji. Ia menyadari uang untuk membayar sebotol mineral buat ibu untuk bebruka puasa tiada nilanya, dengan uang yang dimilikinya di saku. Selama ini aku menggembor-gemborkan bahwa mencintai Tuhan sama artinya mengasihi orang-orang telantar, miskin, dan papa. Ia menggumam.
Yang lain hanya memandangnya kosong.
Mas Tohari seperti tak sedap duduk. Seperti ada paku yang menancap di kursinya. Ia gelisah sekali. Ia menyadari iblis yang teramat kikir sudah memengaruhi rasa kesetiaannya pada sesama. Mengapa tadi ia tak sekalian memberikan uang barang Rp50 ribu atau Rp100 ribu, toh tak akan menumpaskan isi sakunya? Seharusnya aku tadi segera memberi uang padanya. Tapi, kenapa tak jadi? Ia menggumam lagi. Menyesal sekali.
"Sudahlah, mas, mungkin rezeki ibu itu bukan di sini, bukan dari kita," Dendi berujar. Ia lalu mempersilahkan mas Tohari untuk menyantap. Hidangan sudah tersaji. Waktu berbuka sudah tiba. Bersegera memecahkan puasa adalah wajib. Namun mas Tohari tak lagi berselera mencecap sajian. Hanya membasahi tenggorokannya dengan seteguk air, kemudian keluar, setelah ia memberi uang Rp 100 ribu kepada Wira untuk membayar pada pemilik warung. Ia juga mengingatkan teman-temannya supaya jangan lupa membayar sebotol mineral untuk ibu paru usia tadi.
Mas Tohari kemudian mencari ibu paruh usia yang seakan lesap dalam keremangan maghrib. Sendiri.
Ia susuri sepanjang jalan di Ubud menuju Barat. Tak terasa ia melangkah mendekati Casa Luna, Warung Arys, Puri Palace-tempat di mana ia kemarin diundang makan dan pembukaan sebuah festival internasional. Kemarin aku makan di tempat mewah ini, dengan hidangan selera para turis namun tidak selera lidahku yang lokal ini. Aku hanya mencicipi sekadar untuk selanjutnya kubiarkan tersisa di meja sampai pelayan memungutnya kembali, dan menyajikan makanan lain. Tetapi, senja tadi aku diuji oleh seorang ibu paro usia. Hanya dengan sebotol mineral yang tak sanggup ia bayar untuk membuka puasanya, tentu tanpa makanan.
Dan, aku seperti masabodo pada nasibnya. Hanya membayar sebotol mineral yang tak lebih dari Rp 10 ribu. Sungguh, aku sudah kehilangan rasa syukurku. Apa gunanya aku seharian menahan haus dan lapar, kalau hatiku tak tergerak menyaksikan orang yang untuk membuka puasa pun tak lagi punya. Berulang-ulang ia menyesali keteledorannya. Menyesal mengapa hatinya tak menggerakkan tangannya untuk merogoh sakunya, dan memberi selembar atau dua lembar Rp 5 ribuan kepada ibu paro usia tadi?
Teman-temannya pun tak mengingatkan. Mereka juga baru tersadar dan seolah ingin berlomba berbuat amal, setelah ibu itu menghilang. Amal yang tiada gunanya. Niat yang cuma sebatas bibir.
Mas Tohari belum juga kembali ke rumah makan. Waktu sudah pukul 21.15. Teman-temannya yang ditinggal mas Tohari mulai gelisah. Mereka khawatir mas Tohari tersesap dalam keasingan kota Ubud. Was-was kalau-kalau mas Tohari tak tak tahu jalan ke penginapan.
"Kita harus cari mas Tohari. Aku khawatir ia kesasar!" ajak Halim.
"Ah, tak mungkinlah. Mas Tohari bukan anak-anak lagi. Ia bisa bertanya pada orang ke mana jalan ke penginapannya," bantah Wira.
"Siapa tahu dia benar-benar kesasar. Mas Tohari pergi dalam keadaan kalut, perasaan bersalah, pikirannya tentu lagi kosong!" Dendi mendukung Halim.
"Oke, kalau begitu!" akhirnya Wira menyetujui. "Kita berbagi arah. Halim ke Barat, Dendi ke Timur. Dan aku ke Utara. Jam 23 nanti kita bertemu di depan Casaluna, ya,"
* * *
MENCARI mas Tohari di tempat asing bukan gampang. Mereka
pendatang yang baru tiba beberapa hari ini, dan belum seluruh lekuk-liku tubuh
Ubud dijelajahi. Jalan yang mereka ketahui hanya dari penginapan ke Indus, Gaya
Fusion, Four Session Hotel, Casaluna, Puri Palace, dan rumah makan khas Minang
ini. hanya sejengkal dari beribu meter "kampung dunia" para turin
ini.Ketika berjumpa di Casaluna seperti waktu yang disepakati, ketiganya menggeleng. Mereka makin disergap cemas yang sangat. Kekhawatiran tak akan bertemu lagi mas Tohari, membuat wajahnya pasi.
Halim mengusulkan agar melaporkan ke pania. Wira menolak, sebab ia merasakan yang mereka lakukan belum maksimal. Tetapi, Dendi ngotot sebaiknya meminta bantuan pihak kepolisian untuk mencari mas Tohari.
"Bagaimana caranya kita harus menemukan mas Tohari malam ini juga!" kata Dendi.
"Siapa yang membiarkan mas Tohari hilang?" Wira berujar dengan suara sedikit meninggi. "Tapi, bukan begitu caranya. Jangan cepat menyerah. Kita belum maksimal mencarinya. Bagaimana kalau kita cari lagi? Kita susuri jalan ke rumah makan tadi? Di sana aku lihat tadi ada gang, agak gelap dan pengap memang, siapa tahu mas Tohari ada di sana."
"Aku tak yakin mas Tohari ke sana. Aku lihat sendiri tadi ia berbelok ke kanan, bukan masuk ke gang itu," elak Halim.
"Kupikir bisa kita coba usulan Wira."
"Ah, aku malas. Kalian saja," sela Halim. "Aku menunggu di sini saja, siapa tahu mas Tohari ke sini."
Tanpa berpikir lagi, Wira dan Dendi segera kembali menyusuri jalan ke arah rumah makan. Ia masuki gang pengap dan gelap tak jauh dari rumah makan tadi. Tetapi, selain rumah-rumah kumuh dan gubuk-gubuk terbuat triplek di dalam gang itu, mereka tak mendapati mas Tohari.
Entah di mana dan ke mana mas Tohari. Kecemasan mereka makin menjadi-jadi. Saling merutuk diri mengapa tak menemani mas Tohari mencari ibu paruh usia yang misterius itu? Sampai esok pagi mas Tohari tak kembali ke penginapan. Dan, ibu paro usia yang telah membuat hibuk itu, teramat sulit untuk dijumpai lagi di Ubud yang tak terjengkal luasnya oleh kaki mereka. Pohonan yang rindang dan lebat-sangat banyak menghiasi dan menjadi khas Bali-bisa saja menenggelamkan orang semacam ibu tadi.
Dan, mas Tohari sia-sia menemukan ibu itu. Sementara ketiga rekannya juga sia-sia menunggu kedatangannya. Layaknya mendapati sebatang jarum di keluasan padang pasir. ***
(persembahan buat Ahmad Tohari, Marhalim, dan Wiratmadinata)
* Ubud-Lampung, September-Oktober 2007
Cerpen Fahrudin Nasrulloh
Di tebing jurang Wuluh di Bukit Kumbang, onggokan mayat-mayat berserakan di mana-mana. Gubuk-gubuk padepokan lantak terbakar. Amis darah meruap, menjelma bebayang hantu ditelan asap dan menyarang pedat ke rongga-rongga batu karang.
Roh mayat-mayat beterbangan
Diterpa cahaya purnama
Yang lahir dan yang mati
Tinggal kisah di sekotak peti
Jadi kenangan esok hari
Malam terus merayapi rasa kelam. Tapi kobaran api kian menerbangkan lelatu kematian. Membubung tinggi. Hitam pekat berliuk-liuk. Bergulung-gulung bagai ribuan naga sanca yang berlesatan menerobos angkasa. Di atas purnama bersaput warna kuning jingga, kejahatan malam itu bak geriap ajal yang membelit bayangan pandangan mata yang durja.
Ia mendengus beringas. Tatapannya sangar. Mengoceh ngalor-ngidul. Mulutnya memuncratkan ludah banger. Baunya bisa semaputkan orang. Ia berjubah hitam. Bertubuh gempal. Tegap gagah, tampan. Tapi rautnya penuh parut bekas bacokan. Mengerikan dan angker. Omongannya ngawur. Mbelgedhes! Mbelgedhes! Semprotan itu selalu ia semburkan ketika amarahnya muntap.
Tubuhnya dekil. Bau bangkai babi. Petakilan tingkahnya. Berangasan bila melihat perempuan ayu montok. Tak malu ngocol di jalanan. Memang ia suka menumpahkan berahi di sembarang jalan. Ia menghunus pedang bergagang naga. Matanya memancarkan kilat bersaput kejora. Melesat ia, secepat lawa, di atas selembar daun jati, menembus pepohonan. Berlayangan dari ranting ke ranting. Seperti gagak maut yang mengibaskan kepak bengis sekarat, melengkingkan kesumat, amuknya terpanggang dendam membara. Sekujur tubuhnya bergetar gemuruh angkara.
Di Bukit Kumbang, kobaran api masih berjilat-jilat, lelaki itu berdiri bak arca yang bangkit dari kutukan zalimnya. Jubah hitamnya berkibar-kibar diterpa sangit malam. Ingatan yang lamur, sayup-sayup terbayang di pelupuk mripatnya simbahan darah sang guru, Ki Padas Getas. Bagai janin mimpi beraroma keji, pembumihangusan padepokan Bukit Kumbang baginya betul-betul menorehkan tragedi yang memilukan. Empat puluh murid Ki Padas Getas binasa dengan cara mengerikan. Puluhan kitab warisan Syekh Karamuk musnah terbakar. Sebagian dilenyapkan ke Jurang Wuluh, sebagian dirampok para pemburu kitab di bawah pimpinan bajingan Pieter Zan Boven, si Belanda pincang bermata buta.
Lelaki itu berkelebat di udara. Tangannya mengusap-usap wajah buruknya. Sembari memekik, ia berteriak lantang ketika melihat Pieter tergopoh-gopoh bersama dua orang berbaju hitam yang menggembol bungkusan besar.
"Mau lari ke mana kau, Landa bangsat!? Hayo hadapi aku, jika kau benar-benar pembunuh bayaran Kompeni laknat itu!"
Mendengar celometan itu, Pieter hanya terkekeh-kekeh sengir menatap tingkah pongah Sawungpati. Seraya meludah-ludah jijik, ia duduk berleha-leha dan bersiul-siul ngece di sebongkah karang. Mengelus-elus pistolnya bergagang emas. Sebilah keris berwarangka kuning kemerah-merahan tersengkelit di pinggangnya
"Sawungpati, jangan cuma pamer kesaktian, Kau! Aku tak akan lari dari kematian. Akulah tuan dari segala kematian. Dan kematianmu tinggal selangkah lagi. Dan malam inilah malam terakhirmu. Ketahuilah, Ki Padas Getas dan semua muridnya sudah mati dengan peluru-peluru berajah babiku ini. Memang mereka pantas mampus. Ia telah bersekongkol dengan Surapati yang mempecundangi dan membunuh Kapten Francois Tack di Kartasura. Karena itu, aku dapat bayaran banyak dari Kompeni untuk membunuh semua sahabat dan antek-antek Surapati."
"Bangsat kalian semua! Persetan dengan Kompeni! Juga Sri Sunan yang jadi begundal dan boneka kaum kafir itu. Kalian sebut Surapati sebagai bandit pengacau. Tapi dia sahabatku yang punya keyakinan dan jiwa ksatria, dan bagiku, dia-lah yang layak menjadi raja di tlatah Jawa, ketimbang Sri Sunan yang dungu, gampang membunuh, dan gelap kekuasaan itu. Terlebih lagi, kalianlah perampok negeri kami! Bangsat! Jiancurit! Anjing najis kalian semua!!! Cuih! Bedebah! Cuih!"
"He he he, Siapa yang lebih anjing bin babi hoi, murid begajulan! Kau curi Kitab Bajra Tapak Geni Ki Padas Getas. Kau cabuli putrinya, Ni Mayang Wulan, hingga ia terhina dan gantung diri. Kau tak pernah bergabung dengan laskar Surapati dalam peperangan sekalipun. Hidupmu cuma kau buang untuk berhura-hura. Berjudi. Sabung ayam. Merampok dan menjarahi harta juragan-juragan Cina. Main perempuan hingga zakarmu kena raja singa. Ha ha ha, kau lebih laknat dari iblis, Sawungpati! Dan sekarang, kita ini sama-sama biadab, Sawungpati! Kau tak terima juga jika sekarang aku melakukan kejahatan yang sebenarnya lebih sesat dari kejahatanmu!"
Dua murid murtad Ki Padas Getas itu gencar saling berserapah dan lempar tuduhan. Pieter, si jangkung merit beraut mayat, bertulang bak jrangkong. Dengusan napasnya bagai memletikkan rambut pasir api yang kuasa membangkitkan mimpi buruk bagi siapa pun yang terjebak menatap kesangaran wajahnya. Ketangkasannya bertarung sabung memang setara dengan Sawungpati yang telah menguasai Kitab Bajra Tapak Geni. Namun pelor-pelor pistolnya yang berajah gaib itulah, yang banyak membikin gentar musuh. Bahkan Kompeni juga orang-orang Mataram pun menggigil menghadapinya.
"Pieter, kenapa kau tega membunuh guru kita?"
"Ia pantas mati. Bukan perkara aku dibayar oleh Kapten Eygel untuk membinasakannya. Tapi aku yakin, jika tak kubunuh si bongkeng bau tanah itu, dia pasti nanti kau bunuh juga dan kau rampas pula kitab saktinya. Dan ternyata benar dugaanku."
"Tapi mengapa pula kau lenyapkan semua kitab Syekh Karamuk?"
"Aku sudah mempelajarinya semua. Termasuk kitab babon Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut. Aku yakin, tak seorang pun pewarisnya yang khatam mengamalkannya. Kecuali aku. Aku. Akulah pewaris tunggal semua ilmu guru yang kelak menjadi jawara di tlatah ini yang tiada tandingnya."
"Sontoloyo, celeng demit begejil!! Terbakarlah leluhur bejatmu di alam baka, bangsat!"
"Hei, lancang benar kau sebut-sebut roh leluhurku di Den Haag yang telah beristirahat dengan tenang. Memang, aku sudah telanjur jadi iblis. Aku bukan pengabdi Kompeni, bukan budak siapa pun. Akulah tuan dari kebejatanku sendiri, dari segala kejahatan dunia. Sudahlah! Jangan banyak cincong kau! Hayo kita bertarung!!!" Ciaaatttttt!!!
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Mata elang sambar menyambar
Bayangan getih bersintakan
Digulat dendam, silir menyilir
Yahoi, jurus-jurus beradu
Menetak nadi, gemetar pepati
Ciaw, ciow, cah cih cuh
Pieter berkelebat. Menghambur ke arah Sawungpati. Sementara, dua pengikutnya, jawara bule peranakan; Gajul van Deer dan Bajul van Keer telah bersiap-sigap menyerang dari sisi kanan dan kiri.
"Hoi, Kalian menyingkirlah! Ini urusanku dengan Sawungpati. Jangan ikut campur!!!"
"Kami berdua juga ingin menguji kesaktian Sawungpati, Tuan!" pekik Bajul van Keer.
"Benar, Tuan, aku juga sudah gatal ingin meremukkan kepala si durjana ini!" sambung Gajul van Deer.
"Jamput! Dasar kroco-kroco tak tahu diri. Kalian bukan tandingannya. Jangan membantah perintahku! Atau kubunuh kalian sekarang!?"
Seketika keduanya ciut nyali dan nyengir seperti disawuri kotoran anjing. Mereka mundur barang lima tombak. Bersungut-sungut gentar campur grundel sambil mondar-mandir mengayun-ayunkan pedang dan kapak mereka.
Bagi Gajul dan Bajul, mereka hanya sekali menyaksikan pertarungan dua pendekar urakan itu. Inilah persabungan kedua mereka setelah, lima tahun sebelumnya, Pieter dicocor mripat kirinya dengan jurus Tapak Carang Goyang oleh Sawungpati hingga buta dan kemiren kaki kanannya tertetak pedangnya hingga pincang. Tapi Sawungpati juga terluka cukup memedihkan. Karena sabetan keris Wotyamadipati milik Pieter, hampir sekujur wajahnya penuh carut luka. Mengerikan. Menyayat pandangan.
Dalam sekejap keduanya sudah bertarung sengit. Berlompatan di udara. Menukik. Menghunus. Saling sambar menyambar dengan jurus masing-masing. Hunjaman demi hunjaman keris Pieter menyodok ke wajah Sawungpati. Sabetan pedang Sawungpati juga berkali-kali menjurus ke dada Pieter, namun ia tangkas berkelit lincah.
Sesekali keduanya berkelebatan dari bongkahan karang satu ke bongkahan karang yang lain. Jika tak hati-hati, mereka bisa terpeleset terjerumus ke Jurang Wuluh. Tapi mereka bukan pendekar urakan biasa yang ceroboh seperti dua cecunguk Pieter yang keberanian dan ketangguhannya terbilang kacangan.
Hiaattt!.... Ciahhhh!....
Ciaaatttt!.... Heahhh!....
Gema suara mereka melengking menggelegar hebat. Denting keris dengan pedang memekakkan telinga. Percikannya bak tebaran timah panas berpletikan ke mana-mana. Menggiriskan bulu kuduk. Memaksa mata tersodok berkejap sebab kilaunya memerihkan tatapan. Membunarkan jarak pandang. Memusingkan kepala bagi siapa saja yang jika berani coba-coba membuka kedipan mata.
Tiba-tiba Sawungpati mundur tiga langkah. Menata kuda-kuda. Membuka jurus-jurus dari Kitab Bajra Tapak Geni. Kaki kirinya dilipat dan ditapakkan di dengkul kanannya. Matanya terpejam. Dua telapak tangannya saling dirapatkan dan diacungkan ke langit. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra:
aji bajra tapak geni
segara langit segara bumi
lipat pati latu getih
biqudratillahi mautika
rajiun wa laknatun
Pieter tidak tinggal diam. Lima pelor berajah babi telah siap dibidikkan. Namun ia juga berjaga-jaga dengan mendaraskan mantra dari Kitab Segara Ireng Kalimatul Arsy wal Maut:
aji geni ireng segara areng
sipat Gusti sipat langgeng
sipat menus sipat pati
matia sajroning dzat Gusti
la ilaha illallahu Muhammadar rasulullahu
Serentak keduanya saling menerjang. Kibasan, pukulan, dan sodokan sama-saama mereka lancarkan.
Pieter mulai keteter. Dengan susah payah ia berkelit dan menangkis pukulan dan tendangan Sawungpati. Sawungpati terus mendesak. Jurus kelima Bajra Tapak Geni ia tukikkan ke ulu hati Pieter. Sial. Pieter tak sempat menghindar. Kecepatan pukulan itu melebihi desahan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Ia terjengkang tiga langkah ke belakang. Sambil memegangi ulu hatinya, Pieter menghirup setarikan napas.
"Ha, ha, ha, bagaimana rasanya Bajra Tapak Geni-ku, Pieter? Jantungmu bisa-bisa ambrol dan gosong!!! Ha, ha, ha!!!"
Pieter tak meladeni ocehan itu. Sekilat lepas ia tembakkan pistolnya. Sawungpati tergeregap menghindar. Berjumpalitan bagai kutu loncat. Empat tembakan dapat ia tepiskan. Tapi satu peluru menyarang di perutnya. Darah mulai menetes. Ia merintih-rintih, nyengar-nyengir kesakitan. Wajahnya yang bercarut luka kini memerah. Pelor rajah babi memang dengan sendirinya merasuk ke seluruh aliran darah dan membuat si terluka makin garang dan lepas kendali bagai celeng alas mengamuk menyerang musuhnya.
Sementara Pieter mulai terhuyung-huyung dan berjalan terdingklang-dingklang sembari memegangi ulu hatinya dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih tetap menodongkan pistol yang kosong itu ke jidat Sawungpati. Ia tahu tak ada waktu lagi mengisi peluru, lantas membuang pistol.
Pieter segera mencabut Keris Wotyamadipati. Keringat dingin menderas meleleri sekujur tubuhnya. Ia semakin gemetar merasakan keampuhan pukulan Bajra Tapak Geni itu. Sawungpati juga mencabut pedangnya. Tapi pedang ini bukan pedang pusaka. Kendati pedang ini pernah membikin picak dan pincang si Pieter. Itu pun karena gabungan jurus pedang dengan dengan ajian Bajra Tapak Geni.
Keduanya saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Tampaknya inilah pertarungan hidup-mati mereka. Lalu keduanya saling menyerang.
Crasss.... Jlepp....
Akhkhkh.... Eighghrrhghrrr...
Tebasan pedang Sawungpati membuntungkan tangan kiri Pieter. Mata Pieter mengerjap-ngerjap. Menatap dengan nanar ke purnama yang hendak tenggelam dijemput fajar. Pieter limbung. Gontai, dan tersungkur tepat di kaki Sawungpati.
Adapun Sawungpati lebih tragis lagi, keris Wotyamadipati menancap di lehernya hingga tembus ke tengkuk. Darahnya muncrat membasahi sekujur tubuhnya. Namun ia tetap berdiri tegap dengan mata mendelik. Nyalang mripatnya seolah mau menghirup cahaya fajar yang mulai menyingsing. Mulutnya hendak memekikkan sesuatu. Tapi tak kuasa. Lalu ia terjatuh tersimpuh. Meregang nyawa. Suaranya mengorok-orok sesenggrokan. Seperti suara sapi kejang yang disembelih.? Sejenak kemudian, kepalanya tertunduk. Dan darahnya yang menghitam kental itu masih saja merembes dari lehernya.
Dengan cekatan Gajul dan Bajul menyingkirkan Pieter dari posisi Sawungpati yang tewas bersimpuh itu. Pieter barangkali hanya pingsan sebab kehabisan darah. Tapi pukulan Sawungpati itu juga sangat mematikan. Akhirnya, dengan membopong Pieter beserta barang jarahan lain keduanya cepat-cepat meninggalkan Bukit Kumbang itu.
***
Lembah Pring, Jombang, 2006-2007
Tanah Merah
Cerpen Dwicipta

Ketika ia bersandar pada pagar kapal yang akan membawanya pergi dari Tanah Merah, seluruh peristiwa yang telah dialaminya hampir setahun sebelumnya bagai berputar kembali di pelupuk matanya. Hidupnya sendiri adalah rangkaian petualangan demi petualangan yang tak berkesudahan. Semula ia adalah seorang pahlawan untuk negerinya, negeri Belanda yang telah menguasai bumi Hindia Belanda selama ratusan tahun. Semua orang yang tahu atau pernah mendengar tentang peristiwa Banten yang menggegerkan itu sudah barang tentu telah mendengar keharuman namanya.
Oleh tindakan kepahlawanan itu Pemerintah Hindia Belanda telah menganugerahkan sebuah bintang kehormatan kepadanya. Orang-orang mengelu-elukannya. Ia mendapatkan undangan pesta dari para pejabat militer Batavia dan orang-orang yang ingin mendengarkan kisah pertempuran yang telah ia alami, bunyi letusan senapan dan jerit mengerikan ketika tubuh meregang nyawa. Sungguh, memabukkan.
Beberapa bulan setelah ia berhasil menumpas pemberontakan kaum merah di Banten, Pemerintah Batavia menunjuknya sebagai komandan ekspedisi yang pertama-tama untuk masuk ke Digul dan mempersiapkan kamp pembuangan bagi kaum interniran yang telah memenuhi penjara-penjara di Jawa dan Sumatera.
"Apakah Gubernur Jenderal sudah gila? Digul adalah daerah terpencil, hutan-hutan lebat yang belum dijamah kecuali oleh penduduk rimba setempat dan para petualang Tionghoa. Aku mendengar dari orang-orang yang melakukan ekspedisi ke sana untuk mencari emas bahwa Digul adalah belantara yang dipenuhi para pengayau. Bagaimana kaum interniran bisa hidup di sana?" tanyanya kepada Letnan Drejer, opsir yang juga mendapatkan perintah untuk menemaninya masuk belantara Digul.
"Tampaknya tuan Gubernur Jenderal de Graeff ingin meniru bangsa Rusia. Bukankah di Rusia terdapat pembuangan yang terkenal di seluruh dunia? Siapa tak mengenal Siberia, neraka bagi siapa pun warga Rusia yang berontak atau menjadi bajingan!" ujar Letnan Drejer sambil tersenyum kecut.
"Kita bukan bangsa Rusia dan Siberia lain dengan Digul, Letnan. Digul hutan lebat. Apa yang bisa diharapkan dari daerah seterpencil itu? Kalau kita membuka hutannya, masalah mengerikan lain telah menunggu: malaria! Bukankah itu sama saja dengan mengirimkan kaum interniran itu ke lembah kematian?"
"Saya tak takut dengan malaria, Kapten. Tapi tinggal di hutan lebat semacam Digul sama saja dengan menyerahkan kepala kita kepada para pengayau atau para kanibal hitam di sana. Itulah yang saya takutkan," ujar Letnan Drejer dengan kepala bergidik.
"Hehm, benar. Dan kita, kaum terhormat yang baru saja mendapatkan bintang kehormatan dari tindakan militer, harus mengotorkan tangan dengan tindakan memalukan. Sungguh keterlaluan orang-orang Batavia!"
"Yang lebih mengherankan, bukankah Gubernur Jenderal de Graeff itu terkenal berbudi baik, Kapten? Bagaimana ia bisa membuat keputusan-keputusan yang mengerikan seperti membuka kamp pembuangan?" ujar Letnan Drejer tak mengerti.
"Apalah artinya seorang gubernur jenderal berbudi baik bila sistemnya telah diracuni oleh para pejabat berhati kotor? Merekalah yang tak ingin kedudukannya terancam dengan ulah para pemberontak yang ingin menjatuhkan kekuasaan. Dan, untuk menangkal ancaman tersebut, tindakan kotor pun buat mereka tak apa-apa dan tak ada salahnya dilakukan."
Letnan Drejer mengangkat bahu. Dipandangnya punggung Kapten Becking yang jangkung itu. Rasa hormatnya yang tinggi tak pernah lenyap terhadap lelaki ksatria yang beranjak tua ini. Di luar dinas militernya, opsir berambut putih itu sungguh terpelajar. Satu minggu sebelumnya Kapten Becking telah meminta bawahannya untuk mencari segala pengetahuan yang ada hubungannya dengan Digul dan bumi hitam di ujung timur Hindia itu. Sementara para prajurit dan opsir bawahannya membual dan membayangkan petualangan di tanah mereka yang akan mereka lakukan, ia justru tenggelam dengan buku-buku dan tumpukan laporan tentang Digul dan wilayah New Guinea secara umum. Ia gemar sekali membicarakan suku-suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara itu dan di sepanjang Sungai Digul, kebaikan-kebaikan mereka dan kesukaan mereka dalam mengayau. Tak jarang ia mengingatkan Letnan Drejer akan kebuasan alam tempat baru itu dan berujar ia akan menundukkannya secepat mungkin.
Satu minggu sebelum bulan Januari 1927 berakhir kapalnya yang membawa 120 serdadu dan 60 kuli paksa dengan kaki dirantai memasuki Sungai Digul dan membuang sauhnya pada jarak ratusan kilometer dari pantai. Hujan tipis tak menghalanginya untuk keluar dari kapal, memandang ke arah hutan lebat maha luas dan tampak buas dalam bayangannya. Dari tabir tipis gerimis ia masih bisa menangkap keluasan hijau yang terbentang di depan matanya, daerah sunyi yang oleh Gubernur Jenderal de Graeff telah dipilih sebagai kamp pembuangan kaum interniran merah yang memberontak itu. Tubuhnya yang jangkung dan rambutnya yang memutih bergoyang-goyang oleh kapal dan angin yang bertiup cukup keras. Ia menggelengkan kepala dan menarik napas dalam-dalam.
"Di sinikah tahanan politik itu disembunyikan dari masyarakatnya, ataukah justru dikuburkan untuk selama-lamanya?"
Lama ia berdiri di pagar kapal, mengamati hutan belantara dan buaya-buaya yang berjemur dengan moncong terkatup di pinggir sungai. Ia membayangkan suku-suku pedalaman yang nanti akan terganggu oleh pekerjaan barunya. Sayang ia tak bisa mundur lagi. Dengan seluruh perasaan bersalah mengeram di dalam dadanya, ia menekan hasrat kemanusiaannya yang terus menggemakan pertanyaan demi pertanyaan. Ia menggenggam bintang kehormatan yang tersemat di dadanya dengan perasaan terhina dan masuk kembali ke kapal menemui Letnan Drejer dan segenap prajurit bawahannya.
Setelah berunding beberapa saat, mereka menurunkan seluruh keperluan pembukaan hutan dan perbekalan hidup mereka untuk masa tiga bulan. Kecuali pakaian dan perlengkapan anak buahnya, terdapat alat-alat duduk dan tidur, barang pecah belah, alat pertanian dan persediaan benih, lalu kaleng minyak tanah yang isinya tidak lain bahan-bahan makanan. Para kuli paksa dan sebagian besar serdadu membuka hutan dengan model setengah lingkaran terlebih dahulu sebagai tempat untuk mendirikan kemah dan tenda mereka. Sementara sebagian kecil serdadu menjaga bahan persediaan makanan dan segala barang perlengkapan yang telah diturunkan dari kapal.
Ketika kegelapan menyelimuti mereka, di tengah-tengah tenda dan kemah baru diletakkan lampu stormking. Kapten Backing dan seluruh pengikutnya bersiap-siap dengan serbuan pertama-tama manusia hutan Digul. Pada tengah malam, ketika keletihan telah merayapi tubuh mereka, tiba-tiba terdengar jeritan panjang yang datang dari berbagai jurusan sekalipun tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan dirinya di bawah penerangan lampu. Beberapa kuli paksa gemetaran dan membaca doa keras-keras, mengira suara-suara jeritan dari balik hutan sebagai kemarahan hantu-hantu hutan yang pepohonannya telah mereka babat. Namun, Kapten Becking dan sebagian besar serdadu yang dibawanya yakin itu adalah suara-suara para penghuni hutan yang telah menyaksikan aktivitas mereka sejak pagi. Setelah ditunggu-tunggu dan mereka tak juga muncul atau menyerang, seluruh serdadu dan kuli paksa menarik napas lega.
"Aku yakin mereka tidak buas, sebab kalau mereka buas sudah sejak semalam mereka akan menyerang kita," ujar Kapten Becking keesokan harinya.
"Aku harap juga demikian. Kalau mereka buas, pekerjaan kita bakalan lebih payah lagi," letnan Drejer menimpali dengan kecut.
"Benar. Bagaimanapun tugas berat ini harus cepat selesai, paling tidak sebelum satu bulan. Di samping tenda-tenda, kita harus mempersiapkan dua gudang untuk menyimpan seluruh barang-barang yang telah kita bawa, sebuah rumah sakit, satu stasiun radio dan sebuah kantor pos. Itu belum termasuk menyiapkan lahan-lahan permukiman bagi kaum interniran dan lahan pertanian mereka kelak."
"Kantor pos? Sungguh aneh, di sebuah hutan belantara seperti Digul bagaimana mungkin ada kantor pos? Sungguh konyol gagasan orang-orang Batavia itu," ujar Letnan Drejer mengejek.
"Sekarang mungkin kita tak membutuhkannya. Namun, nanti, ketika seluruh kaum interniran itu diangkut ke sini, mereka akan membutuhkannya. Apakah mereka akan dibiarkan betul-betul merana tanpa berkirim kabar pada saudaranya di tempat lain. Mereka orang beradab dan harus tetap berhubungan dengan peradaban."
"Mereka dibuang di sini saja bukan tindakan beradab, Kapten. Jadi sia-sia saja mereka mencari hubungan dengan orang-orang beradab."
"Itulah yang sebenarnya melukai kehormatanku, Letnan. Aku lebih terhormat meregang nyawa dalam sebuah pertempuran daripada membuat tempat penyiksaan semacam ini. Tapi kita mengabdi kepada Gubernur Jenderal, bukan kepada nurani kita," ujar Kapten Becking sambil menguap. Tak lama kemudian ia jatuh tertidur.
Begitu terang tanah telah sempurna, mereka kembali bekerja membabat hutan dan mempersiapkan tanah lapang untuk keperluan tempat tinggal dan segala bangunan yang akan diperlukan nanti. Serdadu yang berjaga dan ingin melepas kejenuhan menyusuri sungai dan berburu buaya.
Pada hari kelima, ketika mereka tengah siap memulai pekerjaan setelah istirahat tengah hari, mereka dikagetkan oleh suara jeritan seperti empat malam sebelumnya. Dari berbagai arah, dengan hanya berpakaian bulu burung cenderawasih dan membawa sebuah pepaya di tangan, manusia-manusia hitam bertubuh atletis itu menampakkan diri di hadapan para serdadu dan kuli paksa, mencoba menarik perhatian mereka lalu mendekat selangkah demi selangkah dengan sangat hati-hati. Kapten Becking, yang telah melakukan studi lama tentang daerah sekitar hutan ini beserta kebiasaan para penduduknya mendekati mereka dengan dada berdebar-debar. Busur, panah dan lembing mereka siap bergerak. Namun, buah pepaya yang ada di tangan para manusia hitam itu yang membuat Kapten Becking yakin mereka tak akan membuat keonaran.
Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau terebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan.
"Mungkin mereka heran bagaimana suara manusia bisa muncul dari gramofon itu, Kapten," kata anak buahnya sambil tersenyum dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Tentu. Mereka mencari bagaimana benda sekecil itu menyembunyikan manusia," kata Letnan Drejer sambil tersenyum lebar.
Setelah beberapa minggu segala persiapan awal penyambutan kedatangan para internitan yang pertama-tama di bekas hutan Digul itu selesai, secara bergelombang datanglah kaum merah yang telah gagal memberontak itu, dipisahkan dari bangsanya sendiri dan dikubur di tengah belantara untuk selamanya. Pada pendatang baru ia memperkenalkannya sebagai Tanah Merah.
Siapa sangka jika pekerjaan meletihkan dan memalukan itu kemudian memaksanya berhenti dari dinas militer? Semuanya berawal ketika ia mengizinkan seorang wartawan berkebangsaan Denmark masuk ke kamp interniran dan melihat dari dekat segala hasil kerjanya. Kabarnya, wartawan itu mengambil gambar para interniran selama di dalam kapal dari Surabaya hingga sampai di Digul. Komandan kapal yang tak ingin dosa-dosa para pejabat Batavia diketahui secara luas oleh seluruh dunia merampas kamera dan menghancurkan foto-foto yang telah dibuatnya selama di kapal. Alangkah murkanya ia ketika Kapten Becking justru mengizinkan wartawan itu masuk ke kamp pembuangan.
Ia juga tahu para pejabat Belanda di Merauke tak menyukai keberhasilannya membangun kamp pembuangan itu. Mereka membuat rencana busuk untuk menyingkirkanya. Suatu kali Letnan Drejer memberitahu bahwa Opsir Mon Joulah yang mengatur semua itu. "Ia sangat gila kekuasaan, Kapten," ujar Letnan Drejer muak.
Foto dari wartawan Denmark itu rupanya telah melukai kehormatan para pejabat Batavia. Mereka makin menyudutkannya atas tindakan ceroboh memasukkan wartawan ke kamp pembuangan sehingga kabar tentang kamp pembuangan itu meluas ke seluruh dunia. Saat itulah ia memutuskan untuk mengirimkan kawat ke Batavia dan mengundurkan diri dari dinas militer!
Tak akan terlupakan hari keberangkatannya meninggalkan Digul. Ia berdiri di pagar kapal api, bukan lagi memandang hutan yang hijau sunyi, namun permukiman yang dibangunnya belum setahun yang lalu sembari merenungkan nasibnya. Hujan tipis membasahi baju dan rambutnya yang putih.
***
Sokawangi, Oktober 07
Bangku Beton
Cerpen Sunlie Thomas Alexander

BANGKU beton itu masih di sana, di bawah rindang batang jambu air. Kusam dan berlumut tebal. Alang-alang tumbuh lebat di sekelilingnya, tanaman pakis menjalar liar. Di atasnya, berserakan guguran daun-daun tua. Sebagian telah membusuk oleh hujan. Ia tertegak di pintu dapur, tak berkesip memandang bangku di sudut pekarangan rumah itu. Entahlah, lamat-lamat ia seolah mendengar tiupan harmonika, mendengar lagu Les Premiers Sourires de Venessa-nya Richard Clayderman. Beberapa saat lamanya ia merasa terbuai. Tapi, sesuatu seperti menyesaki dadanya. Tanpa sadar ia menggigit bibir. Pandangannya menjadi buram. Tentu ia tak pernah bisa melupakan lagu itu, juga lagu-lagu Richard Clayderman lainnya. Meskipun sudah demikian lama, bertahun-tahun, tak pernah mendengarnya lagi. Ia ingat, lelaki itu nyaris dapat memainkan semua lagu Richard Clayderman dengan segala instrumen, dengan cukup sempurna.
Di tengah pandangannya yang berkabut, lelaki itu seolah masih duduk di sana sambil meniup harmonika. Hampir setiap sore, setelah toko tutup, lelaki itu akan duduk-duduk di bangku beton di bawah pohon jambu air lebat itu sambil meniup harmonika, membaca buku atau koran. Kadangkala secangkir kopi menemaninya. Lelaki itulah yang membuat ia jatuh cinta pada musik, juga mengenalkannya pada wushu.
"Pinggangmu kurang lentur, geser kaki kananmu lebih ke belakang," ia seperti mendapat instruksi dari lelaki itu lagi. "Ya, turunkan kuda-kudamu lebih rendah. Kalau lawan datang dari samping, kau akan punya kesempatan mengelak dan menyerang bagian rusuknya."
Tapi, lututnya sudah goyah, bahunya terasa linu. "Sudah Pa, sudah capek. Aku mau main bola..."
"Ah, manja kau!" lelaki itu menyeringai." Kau les piano kan nanti malam?"
Aroma dupa mengental, menyengat hidungnya. Gerimis sudah berhenti. Tiupan harmonika itu timbul-tenggelam, terus mengiang-ngiang di telinganya. Lagu-lagu silih berganti, menyeret kembali kenangannya dengan kejam. Ballade Pour Adeline, A Comme Amour, Un Blanc Jour D’un Chaton, Nostalgy, Lettre A Ma Mere... Agaknya ia masih menghafal semua judul lagu. Meskipun ia tidak pernah bisa memainkan lagu-lagu itu dengan baik di atas tuts-tuts piano, dan lebih tertarik pada musik klasik murni. Pada Chopin, Mozart, Beethoven, dan Bach. Atau yang lebih kontemporer, Stravinsky. Dan, ketika memutuskan untuk belajar di akademi musik, ia pun lebih senang mengambil mayor gitar.
Ada jalan setapak kecil dari susunan batu-batu putih, membentuk lengkungan setengah lingkaran dari pintu dapur ke bangku beton itu, memotong hamparan rumput jarum yang meranggas. Agak ragu ia melangkahkan kakinya ke sana. Angin sore terasa basah, sedikit kencang, membuat dedaunan jambu air bergemerisik ribut. Ia melihat daun-daun tua keemasan yang melayang jatuh seakan dalam gerak slow motion. Dan, hal itu, entah kenapa, membuat perasaan sedihnya semakin tajam. Seperti mengiris di dada. Ah, waktu! Waktu!
Namun, saat langkah kakinya sampai di sana, bangku beton itu tiba-tiba terasa begitu senyap. Bungkam, seakanakan tak berkenan menyambut kedatangannya. Tak ada lagi tiupan harmonika, tak ada lagu-lagu Richard Clayderman yang mengiang di telinganya. Semua lenyap. Ia berdiri tertegun di bawah kerindangan pohon jambu.
Memandang sekeliling, ia melihat pekarangan rumahnya kini agak kurang terurus. Ia tahu, sejak muda ibunya bukanlah perempuan yang cukup telaten mengurus rumah. Lagi pula sekarang di rumah mereka tak ada pembantu. Bibi Fatonah dipulangkan ibu ke kampung setelah lelaki itu meninggal.
"Dia sudah tua, biarlah istirahat di kampung. Ibu beri pesangon secukupnya," kata ibunya dalam sepucuk surat. Ah, dulu lelaki itu selalu wantiwanti kalau pekarangan belakang rumah itu harus selalu bersih dan rapi. Tiba-tiba ia baru menyadari kalau di teras belakang itu tak ada lagi pot-pot bunga berukuran besar-kecil yang tertata indah. Beragam bunga, terutama euphorbia, anggrek, dan adenium. ia termangu-mangu di depan bangku beton yang kusam berlumut itu. Mencoba mengingat semua kejadian indah yang pernah dilewati.
"Kau mau makan dulu?"’Suara ibu sedikit mengagetkan lamunannya. Ia berpaling dan mendapatkan perempuan itu sedang berdiri di ambang pintu dapur. Ia menggeleng ragu.
***
IA pulang juga setelah sembilan tahun. Rumahnya -sebuah ruko tepatnya-tidak banyak berubah seperti juga kota kecilnya. Bagian muka ruko tampak sepi, ketika ia turun dari angkot yang membawanya dari pelabuhan. Rolling door biru muda kusam berkarat tertutup rapat dengan gembok besar terkait di bagian bawahnya. Hujan rintik-rintik menyergapnya di depan ruko. Kernet angkot membantu menurunkan dua ransel besar yang dibawanya. Setelah membayar sesuai harga yang telah disepakati di pelabuhan, ia mengangkat kedua ransel besarnya, agak sempoyongan karena berat. Ada beberapa orang menatapnya. Ia berpaling ketika merasa mengenali seseorang. Seorang perempuan separo baya. Ia masih mengenali perempuan itu, tetangga bertahun-tahun. Ia tersenyum lebar. Tapi perempuan itu diam saja, terus menatapnya tak berkedip, meskipun kemudian mengangguk kecil. Tanpa senyum. Ah, apakah ia tidak kenal padaku lagi? Pikirnya kurang enak.’
Diteruskan langkahnya ke pintu depan rumah yang terbuka dengan rolling door tergulung ke atas. Sebetulnya itu pintu samping dari ruko yang berfungsi sebagai pintu masuk rumah tinggal. Los toko dipisahkan dari rumah dengan pembatas dinding triplek yang membentuk semacam lorong kecil dari pintu masuk itu. Lampu di lorong kecil itu belum dinyalakan.
Ia akhirnya sampai ke bagian dalam rumah. Ruang tengah juga tidak banyak berubah. Sebuah lukisan pemandangan alam pegunungan masih tergantung sayu di dinding. Agak miring. Berpaling ke kiri, ia melihat pintu kamar baca itu tertutup rapat. Kenangan yang berdebu menyergapnya. Gelenggeleng kepala, ia meneruskan langkahnya melewati ruang tengah. Ada seekor kucing belang tidur di dekat sofa. Bangun mendadak ketika ia lewat. Kucing itu tampak waspada. Ia menyeringai lebar.
Ketika ia sampai di dapur, ibunya sedang mengatur sesajen di atas meja sembahyang. Perempuan itu menoleh ketika mendengar langkah kaki anaknya masuk. Tampak begitu tua dan ringkih, tapi senyumnya masih menyisakan kecantikan di masa muda.
"Ah, kau sudah sampai rupanya. Pas! Mama baru saja mau sembahyang." Perempuan itu menarik sebuah kursi plastik di dekatnya, "Duduklah." Perempuan itu kemudian menuangkan secangkir teh dari teko keramik untuk anaknya. Diperhatikan betul kerut-merut wajah ibunya, juga uban di kepala perempuan itu. Ia tersenyum getir.
"Mama pikir kau tak jadi pulang," suara ibunya seperti menggantung. Ah, tidak Ma, aku pasti pulang seperti yang aku katakan di telepon, elaknya buruburu. Ibunya tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa malu karena teringat dua kali ia pernah berjanji untuk pulang tapi tak pernah jadi. Pertama, saat kakak perempuannya menikah. Kedua, ketika neneknya sakit lalu meninggal. Setelah itu, ia seolah ditelan tanah rantau, nyaris tak pernah berkabar ke rumah.
Diperhatikannya ibunya menuang arak dari botol bekas sirup ke tiga cawan kecil di atas meja sembahyang. Perempuan itu kemudian merobek sebungkus dupa merah, dan membakarnya pada lilin besar di sisi kiri meja. Tiga buah kaleng bekas susu bubuk yang dililit kertas merah berisi pasir diletakkan bersusun di tepi meja. Tiga lembar kertas merah bertulisan China yang masing-masing ditempel pada dua batang dupa tertancap pada setiap kaleng. Ia tak bisa membaca hanji -meskipun pernah diajari- tapi ia tahu mana nama bapaknya, kakek, dan neneknya.
"Sembahyanglah! Kabari papamu kalau kau pulang!" kata perempuan itu sambil mengulurkan sejumlah dupa berasap kepadanya. Ia menerima dengan begitu bimbang. Dengan canggung ia memegang dupa itu dengan kedua tangannya di depan meja. Dan, semakin ragu ketika menatap beragam buah, kue, dan daging yang tertata dalam piring-piring di atas meja.
Akhirnya, dengan setengah hati, ia menuruti juga keinginan ibunya. Ia bersin berulang kali oleh asap dupa yang tajam menyengat. Padahal, dulu, aroma dupa itu begitu harum bagi hidungnya. Ia hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya yang memegang dupa di depan dada sekadarnya dengan mulut terkatup, tanpa mengucapkan sepatah doa pun. Dulu, ibunya, juga nenek, selalu saja mengajarinya berdoa panjang-lebar setiap kali sembahyang.
Ia merasa tak ada yang harus dipanjatkan, tak ada kata-kata yang mesti diucapkan untuk masa lalu. Orangorang yang telah pergi itu cukuplah menjadi hantu di dalam kenangan. Sekadar hantu, yang kadang-kadang membuat kita terharu -atau sakit-oleh beragam peristiwa yang telah lewat. Demikian ia berpikir ketika menancapkan dupa di kaleng. Sampai tiba- tiba ia menangkap bayangan bangku beton itu lewat ambang pintu dapur yang terbuka lebar.
***
Lelaki itu seharusnya bisa memilihuntuk melupakan masa silamnya. Seharusnya. Tetapi lelaki itu memilih mengawetkannya, bahkan kemudian menjemput masa silam itu. Ia tahu alangkah sulit bagi lelaki itu untuk menjatuhkan pilihan. Ia selalu yakin lelaki itu seorang yang cukup bijak. Tapi ketika lelaki itu akhirnya memilih tidak seperti yang ia harapkan, kekecewaan tak mampu ia pendam. Ia memang menghargai pilihan lelaki itu, meskipun sejak itu dendam perlahan mulai tumbuh di dadanya, menggerogoti hatinya. Barangkali seperti lumut yang kini melapisi bangku beton di hadapannya, pikirnya sedikit sinis.
Ia ingat, bermalam-malam ibunya menangis. Cuma menangis. Tak ada keributan di rumah. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, kemudian lelaki itu semakin sering keluar rumah, mulai jarang duduk-duduk di bangku beton itu sambil memainkan harmonika atau membaca. Meskipun setiap kali pergi, lelaki itu selalu saja pulang, kadang menjelang dini hari. Dan ibunya tetap setia membukakan pintu.
Ia tidak tahu apa yang salah. Apakah ia memang pantas membenci lelaki itu. Yang pasti, ia mulai jarang bicara dengan lelaki itu. Lebih sering menghindar bila berpapasan. Tak ada makan malam bersama, tak ada latihan wushu, atau acara pergi memancing berdua ke pelabuhan. Hubungan mereka jadi aneh. Serba canggung. Richard Clayderman menghilang.
"Papamu tidak salah, Nak. Mamalah yang merebutnya dari perempuan itu...."Ada senyum tipis di wajah ibunya. Mama tidak sakit kok! Papamu akan tetap bersama kita. Mama bisa mengerti dia. Sederetan kalimat meluncur lancar, senyum di wajah ibunya merebak lebih lebar. Tapi ia melihat luka menganga yang sia-sia disembunyikan itu, di dalam bola mata ibunya. Mata yang indah, meski sedikit sayu. Mirip dengan mata Natalia. Ah!
Ibunya kemudian menuturkan sebuah cerita, nyaris seperti dongeng-dongeng yang suka dikisahkan perempuan itu waktu ia masih kecil. Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis penyanyi di sebuah bar. Seorang biduan yang manis. Ah, tidak, Nak, itu bukan pertemuan mereka yang pertama. Perempuan itu sesungguhnya bersama dari masa lalu si lelaki. Masa kecil yang hilang. Saat itu, si lelaki masih seorang mahasiswa tingkat akhir yang mencari tambahan uang saku dengan menjadi pianis di sejumlah bar. Ia begitu bahagia menemukan biduan itu, yang selalu dikenangnya sebagai seorang gadis cilik berkepang dua. Diajaknya perempuan itu pulang ke kampung halaman.
"Tapi aku tidak punya rumah dan siapa-siapa lagi di sana?" kata perempuan itu bimbang. Lelaki itu tergetar oleh sepasang matanya yang begitu sunyi, "Tapi ada aku. Aku akan membawamu kepada orang tuaku." Biduan manis itu hanya tersenyum sipu, senyum yang tak kentara maknanya. Toh, itu sudah cukup membuat lelaki itu berbunga-bunga.
Namun, kampung halaman ternyata bukan lagi tempat yang ramah untuk menerima si perempuan, juga rumah lelaki itu. Wajah kedua orang tuanya, suami-istri pemilik toko kelontong, begitu masam ketika menerima jabatan tangan si biduan.
"Kau tahu, perempuan apa yang kau bawa kemari?!" Suara bapaknya cukup keras di tengah malam, "Kau bahkan tak tahu siapa orang tuanya kan?!" Lelaki itu balas menatap bapaknya lekat-lekat, tak gentar. Ia tak peduli siapa perempuannya, siapa orang tua perempuan itu sebagaimana yang diceritakan bapaknya. Ia juga tak peduli pada peristiwa besar yang pernah terjadi di kota kecilnya, juga seluruh negeri. Sebuah peristiwa politik yang kelabu. Tahun gelap yang kemudian tercatat penuh dusta di buku sejarah anak-anak sekolah.
"Aku mencintainya!" Si lelaki menjadi garang. Kedua matanya berapi-api. Tapi perempuan itu sudah lenyap keesokan pagi. Lenyap. Tanpa meninggalkan pesan apa pun. Lelaki itu menangis, ia kehilangan untuk yang kedua kali.
***
IA tidak tahu kenapa perempuan itu kembali. Apa keinginannya. Ia mengenal Natalia ketika gadis berkulit kuning langsat dengan rambut potongan poni itu pindah ke sekolahnya. Berwajah polos tapi sensual. Ia diam-diam suka mencuri pandang pada gadis itu ketika pelajaran sedang berlangsung dengan dada yang sedikit berdebar. Tapi gadis itu jinak-jinak merpati. Menjauh kalau didekati, mendekat ketika ia menjauh. Toh, justru membuat ia makin penasaran dan bersemangat mendekati gadis itu. Sampai kemudian ia melihat sebuah luka. Luka yang begitu muram di kedua mata Natalia yang sayu...
Dan, ia bertemu perempuan itu, perempuan yang fotonya dulu pernah ia temukan di laci meja baca bapaknya. Waktu itu ia kelas enam SD. Ibunya buru-buru merebut foto itu dari tangannya dan memasukkan kembali ke laci, sekaligus mengunci laci itu.
"Jangan lancang, Nak! Jangan ganggu barang-barang di laci itu!" Ibunya bergegas menariknya keluar dari ruang baca yang merangkap perpustakaan kecil.
"Siapa perempuan di foto itu, Ma?" tanyanya. Namun ia tidak pernah mendapat jawaban.
"Jangan masuk lagi ke ruang baca Papa!" Lelaki itu menatapnya tajam dengan wajah agak merah. Ia buru-buru menunduk. Belum pernah lelaki itu bersuara keras padanya. Sejak itu ruang baca selalu terkunci rapat, namun wajah perempuan cantik di dalam foto itu tak pernah pudar dari ingatannya.
"Aku bertemu dengan perempuan dalam foto Papa...," katanya sore itu sepulang dari rumah Natalia. Gadis itu memang tidak pernah mau mengatakan padanya tinggal di mana, tetapi siang itu sepulang sekolah ia diamdiam menguntit Natalia. Dan perempuan itu ada di sana, mempersilahkannya masuk dan menghidangkan untuknya secangkir teh. Ia sama sekali lupa apa tujuannya datang ke sana, pun ketika Natalia mempersilahkan minum. Mereka duduk berhadapan dengan begitu kaku.
"Aku bertemu dengannya, Ma," ia mengulangi sekali lagi. Dilihatnya wajah ibunya berangsur-angsur berubah pucat. Tertegun menatapnya.
***
ENTAH telah berapa tahun, bangku beton itu tinggal sepi. Sudah belasan tahun agaknya. Setelah semuanya berlangsung, sesekali lelaki itu memang masih duduk-duduk di sana, tapi tidak bermain harmonika atau membaca. Dia hanya duduk termangu di sana, dengan raut wajah yang kadangkala tampak kosong. Mereka tidak pernah lagi bicara. Badan kekar lelaki itu kian hari semakin susut, tampak rapuh. Asam urat, iritasi lambung, ada masalah dengan ginjal dan lever. Malarianya juga sering kambuh, kata ibunya terisak. Entah dari mana segala penyakit itu datang, barangkali akibat waktu muda papamu terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Dia dulu peminum? Tanyanya, tapi cuma di dalam hati. Lelaki itu meninggal ketika ia hampir tamat SMA. Ibu dan kakaknya menangis berhari-hari tapi ia tidak. Ia hanya menatap jenazah lelaki itu dimasukkan ke peti mati dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jelaskan sepenuhnya. Pandangan matanya seperti berkabut. Perempuan itu datang ke pemakaman bersama Natalia, keduanya mengenakan pakaian serbaputih seperti halnya ia, ibu, dan kakak perempuannya. Tetapi mereka tidak saling bertegur sapa.
Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan rumah, meninggalkan pulau kecil itu, dan tak pernah pulang sekali pun...
"Mama harap kau mau pulang. Kakakmu sedang dalam masalah. Toko bangkrut. Kakak iparmu entah di mana sekarang. Hampir tiap hari selalu saja ada orang datang menagih hutang, tambang-tambang itu benar-benar menguras seluruh uang kakak iparmu!" Itu kata-kata ibunya dalam telepon beberapa hari lalu. Ia tak menyangka kalau akan tiba di rumah tepat pada hari sembahyang arwah Chit Ngiat Pan...
yang kusam dan berlumut itu, ketika namanya dipanggil. Menoleh, ia melihat kakak perempuannya sedang berjalan mendatanginya. Wajah Ai Ling tampak tirus dan kusut, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Begitu berbeda dengan sosok gadis manis dan periang yang dikenalnya bertahun-tahun lalu. Ibunya masih berdiri di pintu dapur.
Ah, tiba-tiba ia merasa ingin sekali bermain harmonika, memainkan Les Premiers Sourires de Venessa dan lagu-lagu lainnya...
***
Gaten, Yogyakarta, Mei 2007 /kenang-kenangan buat bapak
Cerpen Setiyo Bardono
Mak,Indah ingin makan apel." "Tunggu ya Nak,Bapakmu belum pulang." "Mengapa harus menunggu Bapak?" "Tadi pagi,Emak sudah pesan pada Bapak,kalau pulang beli apel di stasiun."
"Emang Bapak punya uang,Mak." "Mudah-mudahan hari ini Bapak dapat banyak rezeki hingga bisa beliin Indah apel yang banyak.Makanya Indah doain Bapak ya..." "Iya,Mak." "Nah, gitu dong. Itu baru Indah, anak Emak yang cantik."
"Mak,biasanya kalau sakit kan banyak yang nengokin.Kayak waktu kita ikut nengokin Ibu Dede, Ibu Roni, Ibu Raihan.... Enak yaMak...Ada yang bawa buah-buahan. Ada yang ngasih makanan. Ada yang ngasih uang." "Hus... kamu ini, sakit kok dibilang enak." "Memang begitu kan,Mak."
"Tapi Indah nggak dirawat di rumah sakit?" "Jadi Indah harus dibawa ke rumah sakit biar ditengokin orang-orang?" "Kalau di kampung ini biasanya begitu, Nak." "Kalau begitu, mengapa Indah tidak dibawa ke rumah sakit saja?" "Uang Emak tidak cukup untuk biaya berobat ke rumah sakit.Bapakmu belum dapat kerjaan tetap.Kamu tidur ajadulu ya,sambil nungguBapak pulang.Mudahmudahan Bapak pulang bawa apel."
"Tapi Indah ingin apel dari orangorang." "Kan sama saja, Nak." "Enggak mau... Indah mau apel dari orang-orang." "Ssst...diam dulu Nak,tuh dengar ada pengumuman dari masjid."
"Perhatian bagi Ibu-Ibu warga RT 01 RW 04 yang ingin ikut menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah yang sedang di rawat di Rumah Sakit Waras Medika,harap berkumpul di rumah Ibu Ria nanti sore pukul tiga lebih tiga puluh. Sekali lagi, pukul tiga lebih tiga puluh.Terima kasih atas perhatiannya." ***
"Indah,anak saya sakit keras Pak RT." "Sakit apa?" "Sepertinya demam.Badannya panas, kadang muntah-muntah. Semalam tak henti-hentinya dia mengigau." "Sudah diperiksa ke dokter?" "Belum Pak RT?" "Waduh, jangan sampai terlambat Mas. Jangan-jangan Indah kena demam berdarah."
"Periksa ke dokter kan biayanya mahal Pak RT." "Ke puskesmas kan bisa." "Hari minggu kan puskesmas tutup Pak RT." "Iya, ya. Kalau begitu kasih obat penurun demam saja." "Sudah Pak RT, saya sudah beli obat yang sering diiklankan di televisi itu. Katanya begitu minum langsung baikan, ternyata panasnya gak turun juga.Mana harga obatnya lumayan mahal lagi."
"Namanya juga iklan, Mas. Jadi apa yang bisa saya bantu Mas Paijo." "Maaf Pak RT, sebenarnya saya malu mengatakannya... Indah hanya ingin makan apel.Kalau kemauannya dituruti pasti dia akan lebih baikan." "Belikan saja, kan di stasiun murah. Lima ribu dapat lima. Kalau nggak punya uang, pakai uang saya saja. Gitu aja kok repot."
"Kalau itu,saya juga tahu Pak RT.Setiap hari saya kan naik kereta.Tadi sudah saya belikan,tapi Indah tidak mau makan." "Memangnya kenapa?" "Indah ingin apel pemberian orangorang." "Maksudnya?" "Wah..saya jadi malu.Begini Pak RT... Sepertinya Indah ingin dijenguk ibu-ibu warga kampung kita dan diberi apel seperti orang-orang lain yang sakit." "Oh gitu..."
"Namanya juga anak-anak. Harap maklumlah Pak." "Jadi saya harus mengumpulkan ibuibu untuk menjenguk Indah?" "Terserah Pak RT saja. Nggak usah banyak-banyak juga nggak apa-apa.Dua atau tiga orang saya kira sudah cukup" "Tapi kan Indah belum dibawa ke rumah sakit. Bagaimana saya harus mengumpulkan warga."
"Bilang saja Indah sakit keras. Memangnya harus dibawa ke rumah sakit dulu baru warga bisa menjenguknya?" "Ya, tidak begitu mas Paijo.Tapi kalau sudah dirawat di rumah sakit,warga jadi tahu bahwa sakit Indah benar-benar parah.Saya juga lebih enak ngomong-nya." "Tapi Indah benar-benar sakit pak." "Saya tahu, tapi kalau tidak dibawa ke rumah sakit, nanti warga bilang, walah baru demam aja minta dijenguk."
"Jadi Indah harus saya bawa ke rumah sakit dulu?" "Lebih baik begitu.Bukan hanya agar bisa dijenguk warga, yang lebih penting agar penyakit Indah bisa dideteksi." "Saya juga bermaksud begitu pak RT, tapi saya sedang tidak punya uang.Biaya rumah sakit kan mahal." "Waduh gimanaya.Jadi serbasalah nih." "Jadi Pak RT tidak bisa menolong saya?" "Bukan begitu,Mas" "Jadi gimana dong" "Begini saja, nanti saya bicarakan dengan Ketua Pengajian."
"Kalau bisa sore ini Pak RT,saya takut Indah kenapa-napa." "Iya, saya tahu.Tapi sebentar lagi, Ibuibu akan berangkat menjenguk Ibu Hajjah Nuriyah.Mas Paijo kan dengar sendiri tadi sudah ada pengumumamnnya dari musala. Nggak enak kan sama Ibu Nuriyah. Sudah dua hari ia dirawat di Rumah Sakit Waras Medika. Kabarnya sih mau dioperasi. Bagaimana kalau besok pagi saja."
"Kan Ibu Nuriyah orang kaya, punya rumah makan dan anaknya jadi pengusaha semua.Tanpa dijenguk pun ia bisa membayar biaya rumah sakit." "Jangan begitu Mas Paijo. Kita tidak boleh membeda-bedakan orang." "Kalau begitu, Pak RT juga jangan membeda-bedakan Indah dong." "Iya tapi Ibu Nuriyah sakit lebih dulu. Dan sekarang terbaring di rumah sakit menunggu operasi kanker kalau nggak salah.Pokoknya penyakit orang kayalah."
"Indah tidak saya bawa ke rumah sakit karena nggak ada biaya. Harusnya anak saya yang ditolong lebih dulu". "Waduh,saya jadi tambah bingung nih." "Begini saja Pak RT. Bagaimana kalau sebelum berangkat Ibu-ibu disuruh mampir ke kontrakan saya dulu." "Waduh, kan Rumah Sakit Waras Medika jauh pak. Tahu sendiri jalanjalan di ibukota seringnya macet. Kalau ibu-ibu pada ribut, nanti saya juga yang kena komplain,Mas" "Sebentar saja,lima menit juga cukup." "Besok pagi saja, Mas. Saya nggak enak sama Ibu-ibu." ***
"Walah, baru demam saja minta ditengokin." "Namanya juga anak-anak bu." "Emang sekarang di mana?" "Di rumah bu." "Saya kira dibawa ke rumah sakit." "Saya nggak punya uang buat bawa Indah ke rumah sakit." "Kita ini buru-buru mau ke rumah sakit, sore ini kita kan ibu-ibu sudah sepakat untuk nengokin Ibu Hajjah Nuriyah di Rumah Sakit Waras Medika."
"Saya tahu bu.Tapi sebentar saja,biar Indah puas" "Nanti kita terlambat bu. Jam besuknya kan antara jam empat sampai jam enam sore. Bagaimana kalau besok pagi saja, atau nanti malam sepulang dari besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Iya Bu Paijo, besok aja deh kita nengokin Indah. Nggak mungkin to, kita batal besuk Ibu Hajjah Nuriyah." "Maaf lho, bu. Bukannya mau beda-bedain, tapi rencana sore ini kanudahmenjadi kesepakatan kita. Bahkan warga sudah banyak yang iuran buat besuk Ibu Nuriyah. Nggak enak kalau dibatalin begitu saja." ***
"Gimana Bu..." "Katanya besok,Pak." "Tapi badan Indah semakin panas bu. Sewaktu Ibu tinggal, Indah juga muntah sampai empat kali." "Apa dibawa ke dokter saja?" "Bapak punya uang?" "Nggak sih." "Ke puskesmas saja." "Hari minggu kan puskesmas tutup." "Oalah, Pak... Kenapa Indah harus sakit di hari Minggu?" "Bukan hanya jangan sakit di hari Minggu bu. Kalau bisa jangan sakit di Jakarta dan sekitarnya."
"Jakarta dan sekitarnya.... Seperti adzan magrib saja. Mungkin memang beginilah nasib orang miskin. Makanya Bapak yang bener cari kerjaannya" "Jangan bilang begitu Bu.Bapak juga sedang berusaha. Maklumlah, Bapak kan cuma lulusan SMP. Sabar ya... Gusti Allah tidak tidur, semua pasti ada jalan keluarnya." "Gusti Allah memang tidak pernah tidur. Kamunya saja yang tidak pernah salat,makanya rezeki kita seret. " "Udah... udah... ah. Jangan diungkitungkit terus." ***
"Bu, Indah ingin makan apel." "Iya, Nak. Itu apelnya sudah ada. Ibu kupasin ya..." "Indah maunya apel dari orangorang." "Entar, ya... Ibu-ibu belum pulang dari rumah sakit." "Indah maunya sekarang." "Pak...gimana ini.Badan Indah semakin panas saja." "Gimana kalau kita bawa saja ke rumah sakit." "Yang mau bayar siapa?" "Ya, gimana entar sajalah. Aku takut Indah kenapa-napa."
"Kalau begitu, coba Bapak ke rumah Pak RT lagi. Siapa tahu kali ini dia bisa menolong. Kalau nggak coba cari pinjaman ke rumah pak Husein." "Hutang yang dulu saja belum lunas Bu.Bunganya juga semakin menumpuk. Nanti kita bayarnya pakai apa?" "Ya, dicoba dulu Pak. Ngomong baikbaik, barangkali Pak Husein mau memberi pinjaman tanpa bunga." "Tanpa bunga? Sepertinya mustahil Bu.Tapi ya, udah-lah, Bapak akan coba bicara dengan Pak Husein. Tunggu sebentar ya..." ***
"Wah,rumah sakitnya bagus banget ya." "Iya, pasti biayanya mahal. Apalagi Ibu Hajjah Nuriyah dirawat di ruang VIP. Bisa habis puluhan juta tuh..." "Kalau aku, punya uang segitu, mendingan buat beli rumah. Nggak enak kan, bertahun-tahun hidup ngontrak melulu." "Anak-anaknya juga baik-baik semua. Udahkaya,baik lagi.Kapan saya bisa punya anak-anak seperti itu."
"Ibu Hajjah Nuriyah memang beruntung punya anak-anak seperti mereka." "Iya, ya. Tadi anak yang paling tua, malah nraktir kita semua makan fried chicken. Sebenarnya nggak enak, nyumbang cuma goceng, ditraktir makan enak. He... he..." "Nggak enak sih nggak enak. Tapi kayaknya kamu tadi nambah ya." "Enak aja.Bukannya kamu juga nambah." "Udah... udah... gitu aja ribut." "Iya, tuh.Kayak nggak pernah makan enak saja." "We... sirik. Kamu sendiri seringnya beli ikan asin di warung Bu Ijah.Udah itu ngutang lagi."
"Walah... kayak kamu nggak pernah ngutang aja. Sekarang kamu kan nggak pernah belanja di warung Bu Ijah.Takut ditagih utang tuh." "Udah... udah... baru njenguk orang sakit kok ya pada ribut to... Tuh lihat kita udah nyampe...." "Bang...Stop Bang.Sampai di sini saja." "Iya,Bang.Di sini saja,kalau di depan musala, jalannya kejauhan." "Ayo, turunnya jangan berebut." "Iya, nih...Orang kok badannya gedegede amat, jadi sulit turun."
"Sst, jangan ribut. Dengar tuh ada pengumuman dari musala." "Innalillahi wa innailaihi rojiun. Diberitahukan kepada seluruh warga RT I RW IV, telah meninggal dunia dengan tenang Indah Ratna Juwita Binti Paijo. Dimohon kepada seluruh warga, terutama anak-anak muda, untuk bisa membantu persiapan pemakaman yang Insya Allah akan dilaksanakan besok pukul sepuluh pagi."
***
Depok, 22 Desember 2007
Sopir Taksi dan Sebuah Kepala
Cerpen Naning Pranoto
Pukul 05.45, taksi biru tua yang dikemudikan Begjo distop oleh seorang lelaki tua bertopi pet, di dekat pintu tol jalur ke Jagorawi.
''Antar saya ke Bogor! Lewat tol,'' pinta lelaki tua itu, tergesa-gesa. Begitu duduk di jok belakang ia langsung menyerahkan amplop kepada Begjo. ''Apa ini, Pak?'' Begjo terkejut.
''Uang!'' sahut lelaki tua, bersuara ngebass. Begjo sempat mengamatinya. Penumpangnya itu, berusia 70-an, tapi masih tegap, sehat walau kulitnya keriput.
''Kasih uang saya kok banyak sekali, Pak? Begjo membelalak, ketika tangan kirinya menyingkap amplop dari penumpangnya itu. "Lagi pula, baru naik kok sudah mbayar.''
Tidak ada jawaban.
Penumpang itu membuka topi petnya, lalu mengenakan sunglass hitam gelap. Begjo melihat sekilas, kepala lelaki itu aneh: lonjong dan botak mengkilat.
''Pak saya takut, sampeyan mbayar banyak sekali. Seumur-umur baru kali ini saya nrima uang sebanyak ini!''
''Stt, jangan takut, Anda antar saya saja,'' gumam si penumpang, sambil membuka jendela taksi yang ada di sampingnya.
''Lho, Pak kok sampeyan ngeluarin kepala tho?'' Begjo terkesiap, penumpangnya menjulurkan kepala keluar jendela, posisinya tengadah, mulut ternganga, sepasang kacamatanya melotot seram.
Tidak ada jawaban. Taksi Bejo melaju kencang di tol Jagorawi. Si penumpang itu tetap menjulurkan kepalanya. Lehernya menegang, >kepalanya memanjang dan nyaris copot dari batang leher. Begjo panik.
''Pak, jangan bunuh diri!'' teriak Begjo, mengarah ke jalur lambat. Selama ia jadi sopir hampir seperempat abad, baru kali ini ia mendapat penumpang sangat aneh.
''Ayo, tancap gas Mas!'' pinta si penumpang itu sambil tertawa,
''Saya tidak mau bunuh diri. Saya cuma mau mbuang kepala saya di jalan tol!''
''Hah?'' Begjo melongo, ''Weleh, baru kali ini ada orang mau mbuang kepalanya. Berhenti saja ya, Pak.''
''Jalan terus. Saya tambah ongkosnya!'' ia berkata tegas, melemparkan amplop di pangkuan Begjo.
Begjo membelalak, melihat setumpuk uang asing, menyembul dari tutup amplop yang ada di pangkuannya.
''Itu uang dolar Amerika. Asli!'' kata si penumpang, ''Anda bisa beli rumah bebas banjir dengan uang dolar itu untuk anak-anak dan istri Anda.'' ''Maaf, tidak usah saja. Tapi, saya mau antar Bapak kemana pun, asal kepala Bapak tidak menjulur di jendela.'' Begjo berkeringat dingin. Ia menaruh dua amplop berisi uang itu di jok belakang.
''Anda menolak uang saya?'' lelaki itu tidak happy. ''Anda memerlukannya, paling tidak untuk membeli BBM selama mengantar saya.''
''Tidak usah. Saya mau berhenti.'' Begjo memperlambat taksinya.
''Jalan terus, sebelum saya berhasil membuang kepala saya. Ini proyek terakhir dalam hidup saya dan harus berhasil, karena saya telah sukses jadi pimpro berbagai proyek besar dan satu mega-proyek yaitu menobatkan seorang anak desa jadi orang nomor satu di negeri ini.'' Tiba-tiba lelaki itu tertawa lepas. Begjo limbung.
''Mas Sopir, jangan takut. Saat ini saya sedang super waras, setelah saya gila hampir empat puluh tahun. Maka, saya ingin mbuang kepala saya agar saya waras total. Selama kepala ini masih nempel tubuh saya, saya akan gila terus! Ketika Tuhan memanggil saya dalam kondisi waras, saya pasti mampu menyebut asma-Nya.''
''Pak maaf, saya tidak bisa melanjutkan nyopir.'' Begjo merintih. Ia ngompol pada titik puncak ketakutannya.
''Saya perlu bantuan Anda, untuk mbuang kepala saya di jalan tol. Sebab, bila kepala saya ini saya buang ke laut, akan dimakan ikan. Ikan yang makan kepala saya, akan dimakan manusia. Oh, jangan. Sebab, sari pati kepala saya penyebar virus berbahaya bagi siapa pun yang makan ikan ikan yang makan otak saya. Generasi yang memakan sari pati otak saya, akan jadi pengacau negeri ini. Kalau negeri ini terus menerus kacau, kapan mencapai Zaman Emas?''
''Zaman Emas, apa itu, Pak?'' Begjo heran.
''Jika Reformasi terwujud. Anda tahu reformasi?''
''Reformasi bermula waktu Pak Harto lengser jadi presiden karena didemo para mahasiswa yang ngumpul di Gedung DPR pertengahan Mei 1998? Apa benar, Reformasi itu artinya mbrantas pemerintahan yang korupsi?'' tanya Begjo lugu.
''Pinter.'' Seru lelaki yang ingin membuang kepalanya itu.
''Ah, saya ndak pinter, cuma lulus SD, lalu ajar nyopir dan jadi sopir taksi.
Bapak kerja apa?'' tanya Begjo memberanikan diri.
''Saya juga sopir, tapi bukan nyopiri mobil!''
''Nyopiri apa Pak?'' Begjo bingung.
''Nyopiri manusia, para petinggi negeri ini. Saya nyopir bukan dengan tangan, tapi dengan otak sumber berbagai taktik. Ya, otak kepala yang sekarang ini akan saya buang dan akan saya ganti dengan kepala bayi.''
''Kepala bayi?'' Begjo tambah bingung.
''Kepala bayi, otaknya masih suci. Tidak seperti otak saya, bejat, berisi otak iblis yang kerjanya menghasut, otak setan yang kerjanya menyesatkan, otak algojo yang ter-drive membunuh. Makanya, saya ingin punya kepala bayi hari ini, sebelum matahari terbenam, agar saya bisa mengisi otak itu dengan ajaran Kitab Suci yang dulu selalu dibacakan oleh ibu saya sebelum tidur. Saat-saat ibu saya membaca Kitab Suci, selalu mengusap-usap kepala saya, katanya agar apa yang ia baca bisa meresap ke otak saya. Itu kenangan indah dan termahal dalam hidup saya.''
Air mata Begjo menetes mendengar tuturan penumpangnya itu. Ia teringat masa kecilnya yang pahit. Ia tidak punya secuil pun kenangan manis bersama ibunya. Si ibu 'menghilang' saat ia berusia enam bulan. Setelah dewasa ia baru tahu, ibunya dibawa orang-orang bersenjata di pagi buta, setelah lebih dahulu dipukuli dan ditelanjangi oleh mereka itu. Ayahnya, telah hilang saat ia masih dalam kandungan.
''Kok nangis Mas Sopir?'' tanya lelaki tua yang semula menjulurkan kepalanya di jendela taksi, kini kembali duduk tertib di jok belakang sopir.
''Saya terharu Bapak tidak jadi mbuang kepala,'' Begjo berdusta.
''O..., saya tetap akan mbuang kepala saya!'' bisik lelaki tua itu, sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
''Tolong, tembak kepala saya!'' lelaki tua itu menyerahkan pistol pada Begjo. ''Pak, eling Gusti Allah!'' Begjo gemetar, menolak pistol itu.
''Anda tidak mbunuh saya. Ini kemauan saya, karena saya tidak mampu melakukannya, walau saya telah membunuh ratusan jiwa tahun enam-lima, hingga enam tujuh.'' Mata lelaki tua itu membasah. Lalu, ia menyerahkan lagi amplop pada Begjo sambil berbisik, ''Ini surat wasiat untuk Anda, ucapan terima kasih saya!''
Begjo diam. Ia tidak menginginkannya amplop itu.
''Mas Sopir, yuk cari tempat aman, agar Anda bisa nembak kepala saya dengan tenang,'' lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu begjo.
Begjo tidak taat. Ia mematikan mesinnya di jalur peristirahatan kendaraan. ''Maaf, saya tidak bisa lagi nyopir, Pak.'' Begjo pasrah. Ia buka pintu taksi. Tapi sebelum ia melangkah, terdengar tembakan lepas memuntahkan rentetan peluru, tepat mengenai kepala Begjo. Tubuh Begjo terkulai, menyangsang di pintu depan taksinya.
Tak sampai 10 menit, polisi patroli datang menghampirinya. Pada saat itulah lelaki tua itu menembak kepalanya sendiri sambil berteriak-teriak, ''Saya ingin mbuang kepala saya. Kepala yang mengotaki pembunuhan terkeji di negeri ini. Saya juga yang menembak sopir taksi ini.''
Dor! Dor! Doorrrrr!
***
Hajah Miranti dan Siti
Cerpen Humam S. Chudori
SAMPAIKAN salam saya saja sama mereka," ujar Siti Qonaah, tatkala Hayatun Nufus mengajak menengok Miranti yang baru pulang dari tanah suci, setelah menunaikan ibadah haji.
"Saya masih ada kerjaan, Fus," lanjut janda beranak dua yang sedang menambal pakaiannya yang robek.
"Kita ke sana sebentar saja."
"Iya, saya tahu. Masa kita mau bertamu sampai berjam-jam. Apalagi mereka pasti masih lelah."
"Jadi, kamu mau ke sana?"
Siti Qonaah menggeleng. Lalu katanya, "Ya, nanti saja kalau sempat, saya ke sana sendiri juga tidak apa-apa, kok."
"Mumpung sekarang belum empat puluh hari, doa mereka masih makbul. Seperti kata Kyai Bisri orang yang belum genap empat puluh hari pulang dari tanah suci, doanya masih makbul. Kita minta mereka mendoakan kita."
Siti Qonaah diam. Ia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Satu sisi ia dapat menerima pendapat Hayatun Nufus. Sebab Miranti dan suaminya, memang, belum lama tiba di Tanah Air. Bahkan belum genap sepekan mereka berada di rumah. Hampir tiap hari pasangan suami-istri itu kedatangan tamu, para tetangga yang ingin mengucapkan selamat kepada mereka. Namun, di sisi lain ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman lagi dengan Istri Nuralam tersebut. Sebab setiap orang yang bertamu ke rumah itu, hampir bisa dipastikan, pulangnya akan membawa kantong plastik. Isinya oleh-oleh dari orang yang baru dipanggil dengan embel-embel tambahan kata haji di depan namanya.
"Siapa tahu kita nanti dikasih oleh-oleh sama mereka," lanjut Hayatun Nufus, setelah agak lama Siti Qonaah terdiam.
Siti Qonaah tersenyum
"Bagaimana?" tanya Hayatun Nufus.
"Ya, sampaikan salam saya saja kepada mereka," Siti Qonaah mengulang kalimat sebelumnya.
Hayatun Nufus diam. Kenapa Siti tidak mau? Mungkinkah Siti merasa minder ke rumah Pak Nuralam? Jangan-jangan Siti sudah mendapat oleh-oleh dari mereka, hingga ia merasa tidak perlu lagi datang ke sana. Sebab rumah Pak Nuralam tidak jauh dari sini, hanya berjarak lima puluh meter. Bahkan masih dalam wilayah erte yang sama. Atau jangan-jangan Siti sudah datang ke sana? Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi pikiran Hayatun Nufus.
"Kamu sudah ke sana apa belum?" tanya Hayatun Nufus, untuk menghilangkan keraguan yang ada dalam pikirannya. "Belum. Belum sempat Fus," jawab Siti Qonaah, "Nah, sekarang saja pekerjaan saya masih banyak."
"Ya, sudah. Kalau begitu," kata Hayatun Nufus.
Setelah berkata demikian, Hayatun Nufus meninggalkan Siti Qonaah.
* * *
SEBETULNYA ketika Hayatun Nufus mengatakan doa orang yang
baru selesai menunaikan ibadah haji makbul, Siti Qonaah merasa tertarik untuk
menemani orang yang mengajaknya bertandang ke rumah Haji Nuralam. Namun,
setelah sang tamu berkata "Siapa tahu kita pulang dikasih oleh-oleh"
Siti Qonaah langsung berubah pikiran. Ia tetap pada keputusan semula. Tidak mau
datang bertamu ke rumah Haji Nuralam.Siti Qonaah merasa yakin bahwa orang yang baru pulang dari tanah suci tersebut masih tidak suka dengan dirinya. Gara-gara ia pernah tidak mau mengeroki istri Nuralam.
Memang. Siti Qonaah - perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci itu - sering dimintai tolong untuk mengerok tetangga. Apabila ada tetangga yang masuk angin, misalnya. Miranti sering menyuruh Siti Qonaah mengeroki punggungnya. Lantaran ia merasa cocok dengan kerokan Siti Qonaah.
Suatu ketika Miranti menyuruh anaknya datang ke rumah Siti Qonaah. Maksudnya agar janda beranak dua itu mengeroki punggungnya. Namun, karena pada saat yang sama Sri Winarti sedang demam. Suhu badan anak itu tinggi, Siti Qonaah tidak tega meninggalkan anaknya yang masih balita itu di rumah sendirian. Sebab Karima, kakak Sri Winarti, masih di sekolah. Terpaksa ia menolak permintaan Miranti.
Penolakan ini rupa-rupanya membuat Miranti tersinggung. Marah. Siti Qonaah tahu setelah keesokan harinya ia datang ke rumah Nuralam, untuk meminta maaf. Karena ia tak bisa mengerok Miranti sebagaimana biasanya.
"Kamu tidak usah tanya, saya sudah sehat apa belum. Buat apa? Saya butuh dikerok itu kemarin. Bukan sekarang," demikian kata pedagang sembako itu.
"Tapi, saya ke sini juga mau minta maaf, Bu. Karena kemarin ..."
"Minta maaf?" tanya Miranti, memotong kalimat Siti Qonaah.
Siti Qonaah mengangguk.
Namun, anggukan Siti Qonaah telah disalahtafsirkan Miranti.
Orang yang minta maaf, pasti bersalah, Miranti membatin. Berarti sebetulnya kemarin dia tidak punya kerjaan. Kenapa dia tidak mau mengerok saya?
Ya, kemarin Supardi yang disuruh menghubungi Siti Qonaah. Dan, anak lelaki itu hanya bilang "Bu Siti tidak mau, Bu," tanpa menjelaskan kenapa janda beranak dua yang biasanya mau disuruh mengerok tetangga itu menolak perintah Miranti yang disampaikan lewat Supardi.
"Kemarin saya tidak bisa ke sini karena ..." "Sudah," potong Miranti, untuk kedua kalinya, "Sekarang kamu pulang saja, Saya sudah sehat. Tidak perlu dikerok lagi."
Sejak itu, Siti Qonaah tidak pernah disuruh Miranti mengerok punggungnya. Namun, perempuan yang ditinggal mati suaminya itu hanya berpikir suami Nuralam itu sudah tidak pernah masuk angin lagi. Lantaran paling tidak dalam sebulan sekali ia pasti minta Siti Qonaah mengerokinya.
Siti Qonaah baru menyadari kalau Miranti masih marah terhadap dirinya, tatkala ia mencoba utang beras tetapi tidak dikasih. Padahal, sebelum peristiwa itu terjadi, Miranti sering mengutangi beras kepada Siti Qonaah. Terutama sejak Siti Qonaah ditinggal mati suaminya.
Rupa-rupanya Siti Qonaah masih kecewa kepada orang yang baru menunaikan ibadah haji itu. Itulah sebabnya ia tidak pernah berusaha bertamu ke rumah tetangganya yang baru pulang menunaikan ibadah haji.
Ketika dua hari yang lalu Sri Winarti - anaknya yang kedua - minta buah korma. Siti Qonaah tak bergeming. Anak perempuan berusia tiga tahun itu minta buah padang pasir setelah melihat Asih dan Kurnia makan buah berwarna pekat. Rupa-rupanya tetangga kiri dan kanan Siti Qonaah sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam.
Siti Qonaah yakin sekali kalau tetangganya sudah mendapat oleh-oleh dari Haji Nuralam. Sebab ia melihat Supardi - anak Haji Nuralam - membawa tas plastik berwarna hitam ke rumah para tetangga. Termasuk ke rumah Kamal, orangtua Asih, dan ke rumah Agus, ayahnya Kurnia. Dua rumah yang berdiri mengapit tempat tinggal Siti Qonaah.
"Nanti kalau Emak punya duit, emak beli, Nak," kata Siti Qonaah kepada anak perempuannya yang merengek minta buah korma.
"Nia sama Asih tidak beli Mak. Tapi dioleh-olehi pak Haji Nuralam," jawab Winarti.
"Ya, sudah ..."
"Tapi, emak mestinya ..."
"ASSALAMUALAIKUM," sebuah suara membuyarkan lamunan Siti Qonaah.
Perempuan yang sejak tadi belum beranjak dari tempat duduknya, tersentak kaget. Ia tidak menyangka orang yang tadi mengajaknya bertandang ke rumah Haji Nuralam sudah kembali lagi. Ia membawa dua buah kantong plastik kecil warna hitam.
Belum dipersilakan penghuni rumah, Hayatun Nufus sudah masuk. Ia duduk di tempat semula, seperti beberapa saat sebelumnya. Hayatun Nufus memang selalu berbuat demikian jika bertandang ke rumah Siti Qonaah. Ya, apabila sudah mengucapkan salam dan pintu rumah dalam keadaan terbuka Hayatun Nufus langsung nyelonong masuk.
"Ini ada titipan dari Bu Hajah Miranti," ujar Hayatun Nufus, sambil meletakkan satu kantong plastik hitam di atas meja. "Apa ini?" tanya Siti Qonaah.
"Kurma sama kacang arab," jawab Hayatun Nufus.
Siti Qonaah diam. Ia seperti tidak percaya dengan penuturan Hayatun Nufus. Betapa tidak, beberapa saat sebelumnya ia sempat membatin tentang sikap orang yang baru datang dari tanah suci. Lantaran rumahnya dilewati oleh Supardi tatkala lelaki kecil itu membagikan buah tangan kepada para tetangga.
"Kamu tidak salah Fus?"
"Buat apa saya bohong?" Hayatun Nufus balik bertanya.
Siti Qonaah diam. Ia tetap masih tak percaya kalau kantong plastik kecil berwarna hitam itu untuk dirinya.
Selanjutnya Hayatun Nufus menceritakan pengalaman pahit yang dialami Nuralam dan Miranti ketika menunaikan ibadah haji, sebagaimana yang dituturkan oleh Miranti.
* * *
Siti Qonaah masih tidak percaya dengan penuturan tamunya,
sesaat setelah sang tamu pulang. Bagaimana mungkin di tanah suci mereka bisa
kelaparan? Siti Qonaah membatin.Mungkinkah apa yang dialami Bu Miranti karena ia pernah menolak saya hendak utang beras? Kalau cuma kejadian itu kan saya baru dua kali ditolaknya utang beras.
Sebab sebelumnya ia sering memberi pinjaman beras kepada saya? Atau barangkali bukan hanya saya yang sering diperlakukan demikian oleh Bu Miranti sehingga ia harus kelaparan di tanah suci? Jangan-jangan ....
Siti Qonaah segera istighfar, ia tidak ingin mengembangkan prasangka buruknya terhadap orang yang baru pulang dari menunaikan ibadah haji itu.
Siti Qonaah memang sudah dua kali ditolak utang beras, lantaran Siti Qonaah terlambat menerima upah dari orang yang menyuruhnya mencuci pakaian. Terpaksa hari itu Siti Qonaah hanya mengisi perutnya dengan air. Jika siang itu Siti Qonaah makan, dapat dipastikan, kedua anaknya tidak akan kebagian nasi. Siang itu pun, nasi yang masih ada diusahakan Siti Qonaah untuk dua orang anak. Kendati ia yakin mereka tidak terlalu kenyang. Untunglah sore harinya Andi, anak Priono, datang. Lelaki kecil itu mengantar upah cucian dari orangtuanya.
"Ibu bilang, ibu minta maaf, Lik," kata Andi setelah menyodorkan uang kepada Siti Qonaah, "Ibu baru sempat ngasih."
"Tidak apa-apa, le," jawab Siti Qonaah, "Bilang sama Ibu, Lik Siti terima kasih."
Setelah menerima upah dari orangtua Andi, Siti Qonaah belanja beras di warung Miranti. Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan berhutang jika punya uang. Namun, tanggapan Miranti lain. Ia menganggap Siti Qonaah telah membohongi dirinya dengan mengatakan belum dapat uang.
"Kalau memang punya uang lebih baik beli seperti sekarang ini," kata Miranti, tatkala menyerahkan uang kembalian kepada sang pembeli, "Tidak usah pura-pura tidak punya uang segala."
Betapa sakitnya perasaan Siti Qonaah mendengar pernyataan sang penjual. Andai kata kalimat itu diucapkan sebelum Siti Qonaah menyerahkan uang, ingin rasanya Siti Qonaah membatalkan transaksi jual beli itu.
Peristiwa ini, sebetulnya, sempat terlupakan oleh Siti Qonaah. Tidak heran jika ia mencoba utang beras lagi, tatkala belum mendapatkan upah dari orang-orang yang menyuruhnya mencucikan pakaian. Hasilnya tetap saja sama. Siti Qonaah tidak diberi kesempatan mengutang beras lagi.
Padahal biasanya Siti Qonaah mudah mendapat utang beras di warung Miranti. Namun, setelah Miranti merasa kecewa karena tidak dituruti perintahnya. Perempuan bertubuh gembrot itu tak mau mengutangi beras lagi kepada Siti Qonaah. Dan, Siti Qonaah pun tahu diri. Ya, setelah dua kali tak diijinkan utang beras ia tak mau pinjam beras di warung Miranti. Siti Qonaah memilih membeli beras di warung lain. Lantaran ia tidak ingin mendengar suara yang tak enak dari mulut Miranti.
"Mudah-mudahan peristiwa yang dialami Pak Nuralam sama Bu ..."
"Katanya kita sudah dikasih korma, Mak?" Sri Winarti membuyarkan lamunan Siti Qonaah.
"Tadi Lik Nufus bilang emak sudah dikasih korma sama Bu Miranti," tambah gadis kecil yang baru masuk rumah itu, "Mana Mak?"
Siti Qonaah masih tetap mematung. Sebab beberapa saat sebelumnya ia sempat berpikir untuk mengembalikan korma itu, karena ia yakin tetangganya satu erte yang baru pulang haji itu terpaksa memberi oleh-oleh setelah diingatkan oleh Hayatun Nufus. Setelah dirinya 'kirim salam' lewat Hayatun Nufus.
Kini ia bingung sebab anaknya tampak sangat ingin sekali menikmati buah korma yang masih terbungkus di kantong plastik hitam yang ada di depannya.
"Ini ya Mak?" lanjut Sri Winarti.
Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, gadis kecil itu membuka kantong plastik hitam. Lalu memakannya. Membawanya ke luar rumah.
Sebenarnya Siti Qonaah ingin melarang anaknya memasukkan buah itu ke mulut. Namun, ia tidak tega melakukannya. Lantaran anak itu kelihatan senang sekali menikmati buah padang pasir yang baru pertama kali dimakannya.
"Ini buat Sri semua ya, Mak," ujarnya tanpa menoleh, sambil melangkah menuju pintu. Siti Qonaah diam.
Di depan pintu Sri Winarti berhenti sebentar. Menoleh ke arah ibunya. Lalu katanya, "Korma ini cuma sedikit. Mbak Rima tidak usah dikasih."
Siti Qonaah mengangguk. Tetapi, ia tidak tahu kenapa harus mengangguk.***
Cerpen Beni Setia
LIMA tahun lalu mereka bertengkar berkepanjangan, sebelum Ina mau menerima ide berhenti bekerja dan mempersiapkan diri untuk hamil - punya anak. Pertengkaran yang dimulai di pembaringan, dilanjutkan sebangun tidur, ketika sarapan, saat naik mobil, ketika pisah di halaman kantor Ina, saat menjemput Ina, ketika menonton TV, dan ketika mau tidur beradu punggung. Bahkan, seminggu kemudian, ketika berserentak berpura-pura bersenggolan sambil serentak masing-masing melengos membuang bayangan anak yang diuleni saat itu. Berkali-kali.
"Tapi aku tidak terbiasa tinggal di rumah tanpa melakukan apa-apa," kata Ina membantah dengan kalimat baku buat menunjukkan penolakan formal. Berkali-kali, seperti membaca mantra penyihir untuk mengubah batu jadi apel, daun jadi duit seribu rupiah, dan orang jadi gagak. Setengah frustasi karena yakin tak mungkin akan ada perubahan sesuai ilusi dari kenyataan yang mengada - telah lima tahun mereka menikah, dengan ikrar utama ingin secepatnya beranak. Ya!
"Aku biasa sibuk," kata Ina, terisak-isak - pada akhirnya. Muksin merangkul Ina dan lembut membelainya. Mengecupi bibirnya, dengan sentuhan ringan yang berulang, seperti arus listrik dinamo menghidupkan sipat magnetik di besi batangan lewat arus di lilitan kawat. Berulang dan makin lama panjang melekat dan kelekatannya, seiring reaksi Ina. Yang percaya pada kalimat dr Kulanter Tengtong, kalau kualitas sperma Muksin dan daya renangnya prima, kalau sel telur, keasaman mulut rahim dan rongga rahimnya Ina kondusif untuk hamil.
Ya, tapi kenapa tak ada kehamilan?
* * *
MEREKA bercinta dan bermesra, atau bermesra dan bercinta,
seperti setengah hari lagi dunia kiamat. Kapanpun, lepas kerja, dan terutama di
akhir pekan, mereka bermesra dan bercinta - bahkan tanpa pembaringan -, karena
sete-ngah hari lagi tokh akan kiamat. Dan kalau itu terjadi tahun depan, pada
saatnya: mereka nanti sudah punya anak. Tapi Ina tidak pernah hamil. Karena itu
mereka pindah konsultasi ke dr Pong Kettipong, yang menganjurkan agar mereka
menngurangi frekuensi bercinta, mengurangi kegiatan kerja agar tak terlalu
cape, dan mempersiapkan diri untuk precintaan pada masa puncak kesuburan Ina.Kini hari-hari mereka ditempuh dengan petunjuk dan perhitungan primbon kalender Ogino-Knaus, berlatih untuk memastikan dan menuruti petunjuk Keefe, Billings dan Mittelschmerz, dan berpraktek untuk memastikan peningkatan suhu basal tubuh Ina, kelimpahan lendir rahim, dan perubahan jaringan dan cervix. Sementara itu lukisan panorama di dinding kamar diganti dengan diagram ovulasi Dr J.A. Menezes, Dr Josef Rotzer, dan seterusnya - mengalahkan klinik KB bidan Istoolat. Tapi meski posisi Ina di atas agar jarak ke mulut rahim memendek dan semburan menderas - yang dipicu berpantang tiga minggu -, bahkan ditambah mantra yang diawali shalat malam, dzikir, dan puasa Daud: tidak sekalipun ada gejala hamil. Mensturasi Ina lancar terus. Deras seperti kran PDAM.
"Apa takdir kita harus sebatangkara?"
"Mungkin harus dipancing dengan anak pungut?"
"Kenapa nggak istri pungut? Gendakan?"
"Aku serius, Ina," kata Muksin. Ina tersedu. Muksin merangkul dan perlahan melembutinya. Itu hari Sabtu, satu hari setelah Ina memenuhi jadwal rutin bulanannya - mensturasi yang ketiga puluh lima di tahun ketiga mereka mengikuti petunjuk dr Pong Kettipong. Dan bagai batang besi yang dililiti kawat, tapi lama tak dialiri arus listrik, sipat magnetik Ina bangkit dan berinkarnasi sebagai si kekasih yang dikutuk setengah hari lagi dunia kiamat. Malam itu mereka bermesra tanpa bercinta, berbisik-gurau sampai hari berganti dan malam berikut datang. Bermesra sambil masak, makan, mencuci, mandi dan tidur tanpa bercinta.
* * *
LIMA hari kemudian mereka kembali ke pakem awal, bermesra
dan bercinta, bercinta dan bermesra seperti dunia akan kiamat setengah hari
lagi. Lantas bagaimana bila dunia kiamat tanpa sempat punya anak?
"Emangnye gue pikirin?" kata Ina, dan Muksin manggut-manggut sambil
membayangkan Rod Stewart menyeruak serak, "I Don't Want to Talk About
It". Bahkan, di tahun berikutnya, Ina minta izin untuk kembali bekerja.
Usaha yang sangat gampang, karena Ina punya relasi dan Muksinpun punya jabatan.
Sehingga kemesraan si pengantin baru yang selalu romantis menyelenggarakan
honey moon di setiap momentum seperti sembilan tahun lalu terulang. Berentet
tak ada habisnya."Kita tak akan punya anak," kata Muksin sambil tersenyum dan berguman ikut Pahama menyenandungkan "Kidung" di radio mobil. Ina cuma tersenyum, tanpa marah dan tersinggung ditakdirkan jadi perempuan yang tidak akan punya anak. Mereka percaya garis nasib, semacam jalan tol yang terbuka untuk ditempuh dengan menikmati apa-apa saja yang tiba-tiba menyeruak dan menggejala di sekitar mereka. Dan memang kegiatan mereka kini, tiap akhir pekan: traveling .ke luar kota dan bersantai di mana saja. Selalu bermesra di mobil lalu mampir ke sembarang hotel dan losmen untuk bercinta tanpa takut dirazia polisi susila. Bu-kankah mereka suami-istri, yang berpergian dengan membawa STNK, BPKB, SIM, KTP, kartu kredit, kartu debit dan surat nikah? Lengkap. Bermartabat.
Sampai satu malam, sehabis bermesra selama empat jam dalam perjalanan panjang dari Surabaya, seusai bercinta di sebuah villa di tepi danau di Sarangan yang dingin - setelah masing-masing menghabiskan lima belas tusuk sate kelinci -: Ina terjaga. Tersentak ditindih Muksin, yang memegang telor ayam cangkang putih. Ina memberontak, tapi kakinya dipegang oleh bapak dan bapak mertuanya. Muksin tertawa. Ibunya dan ibu mertuanya, sambil menindih tangannya berusaha mengangakan mulut. Tanpa senyuman Muksin memasukkan cairan telor - setelah cangkangnya dipecah di ujung ranjang. Ina terbelalak saat cairan telor itu me-rasuk kerongkongan dan mencercah lambung, membangkitkan kontraksi mual. Ina berteriak. Tersentak. Terjaga. Celingukan dalam dingin tak berpakaian. Lalu menyelusup ke balik selimut dan hangat tubuh Muksin.
"Aku mimpi dicekoki telor mentah," kata Ina, mual-mual, pagi-pagi ketika bangun terlambat. Muksin, sambil membaca koran pagi, tersenyum. Mengecupnya. "Oleh siapa? Aku?" katanya. Ina tersentak. Ina tersipu. Lalu pura-pura sigap meraih nasi pecel dan membuka bungkusan sate kelinci yang sudah dibeli Muksin dari kios di tepi telaga. Siangnya Ina makan nasi kelinci. Malamnya Ina makan sate kelinci. Dan paginya, sebelum pulang, kembali sarapan sate kelinci. Bahkan memesan lima puluh tusuk sate kelinci, yang dimakan tanpa nasi, sampai habis dalam perjalanan pulang ke Surabaya. Muksin melirik.
"Masih trauma mimpi dicekoki?"
"Ya,"
"Kenapa?"
"Anu, telornya amis - telor ayam kampung sih," gumannya. Lalu bungkam, karena perutnya melilit-lilit. Seakan-akan irisan daging kelici dari lima puluh tusuk sate itu, yang hancur oleh enzim dalam lambung itu, bergabung dan membentuk sesosok kelinci kloning yang mencari jalan ke luar. Meloncat-loncat. Memanjat. Merangkak sampai di pangkal kerongkongan. Ina pening - mual. Ina ingin muntah. Dan memang muntah ketika mobil sampai di rumah, dan Muksin turun membuka pintu halaman. Tubuhnya dingin. Muksin gopoh membimbingnya masuk. Memijit kuduknya. Membalur tubuhnya dengan minyak kayu putih. Membuat minum hangat ketika Ina kembali muntah. Tubuhnya dingin. Menggigil di tempat tidur. Meringkuk bagai tahanan politik.
* * *
PAGINYA Ina tidak ke kantor. Ia ingin ke dokter, tapi
menyuruh Muksin tetap ke kantor, dan baru lima menit Muksin tiba Ina sudah
menelepon: minta dicarikan asinan kedongdong. Saat Muksin pulang dengan asinan
kedondong itu Ina malam menangis minta dibelikan sate kelinci dari Sarangan.
Muksin gopoh melarikan mobil ke Sarangan, dan pulang lagi dengan lima puluh
tusuk sate kelinci. Ina tertawa, ia memakan sate kelinci itu, satu demi satu
tanpa nasi. Pada tusuk sate yang ketiga puluh tiga ia mendelik, lalu bergegas
lari ke WC untuk muntah. Muksin tergagap mengajaknya ke dokter, ke RS. Ina
menggeleng dan mulai menekuni sisa sate kelinci. Malamnya ia minta pukis
Banyumas. Paginya ia minta tahu campur Lamongan, yang bakul nyamangkal di
gerbang Mandedadi."Ada apa ini?"
Ina menggeleng. Dan, tidak seperti biasanya, ia mulai menangis, sehingga Muksin gopoh berangkat ke Lamongan. Di jalan ia menelpon Ibunya dan ibunya tertawa. "Kamu mungkin jadi bapak," katanya. Muksin tak percaya. Ia menelepon ibu mertuanya dan mendapat jawaban yang sama. Ia tak percaya. Ia meneleponi semua temannya dan mendapat jawaban yang serupa. Ia ingin menelepon lagi tapi pulsa HP-nya habis. Ia membeli lima porsi tahu campur dan bergegas pulang. Di rumah ia melihat Ibu dan Mertuanya tertawa menyambut kegopohan dan kepanikannya. Tapi benarkah Ina hamil? Benarkah Ina ngidam? Muksim tak yakin, ia masih harus menunggu tujuh hari, sampai jadwal mensturasi Ina tiba.
***
Cerpen Farizal Sikumbang
Aku seperti seonggok batu yang bisu di malam hari. Diam dan kaku. Tubuhku disepuh cahaya bulan. Aku duduk di gubuk sawah milik abak yang tak berdinding dan beratap daun rumbia. Udara dingin menyergap dari berbagai arah. Entah sampai berapa lama aku akan mampu bertahan dari udara malam ini. Udara malam yang mengilu kulit sampai ke semua rusuk tulang. Juga sampai ke hati, karena hati membuka diri untuk membunuh rasa sepi dan pedih tak terperi ini. Sebab bukankah kesedihan hati juga akan membuat suasana akan terkondisi?
Iya. Seperti malam ini rasanya entah apa. Kesedihan menyergap dari berbagai arah. Luka serasa semakin menyiksa karena malam yang sunyi seperti sembilu yang turut melukai hati. Tapi hanya malam dan di gubuk ini aku bisa merenung diri. Menimbang-bimbang nasib. Menyesali diri, mengapa dulu pindah ke kampung halaman ini. Menyepelekan saran sahabat dan kerabat. Kini aku terperangkap dalam keputusan yang digulung adat. Mengunyah harapan dan mematikan keinginan. Di bawah langit yang berbintang, berkali-kali berkelebat wajahmu sambil menusuk sepi ini. Wahai Faraswati, adakah engkau rasakan deritaku ini ?
Semua berawal dari enam bulan yang lalu. Pada sebuah perkenalan yang tak disengaja. Di atas bus ANS pertama kali aku melihatmu. Kala itu aku pulang ke Padang setelah pengajuan surat pindah tugasku dikabulkan. Kutahu engkau naik dari Bukittinggi pada pagi hari. Di kala kedua mataku masih mengantuk dan tubuh terasa penat setelah satu hari aku duduk di kursi bus itu.
Entah sebuah kebetulan atau tidak. Kamu menghempaskan tubuh di tempat duduk di sebelahku. Di antara kantukku yang masih menggantung, aroma tubuhmu berputar-putar menusuk hidungku. Buru-buru aku cepat memperbaiki duduk. Merapikan pakaian yang terlihat kusut. Meraba rambut supaya tidak terlihat semrawut. Faraswati, kau tahu, di masa itu aku sebenarnya begitu gugup. Betapa tidak. Engkau muncul di sisiku seperti bidadari di pagi hari. Tubuhmu ramping. Kulitmu kuning bersih. Pakaian yang kau kenakan memperlihat lekuk tubuhmu.
Maka ketika bus melaju meninggalkan terminal Bukittingi yang sempit itu, aku mulai mencari kata untuk mengenalmu.
Di dalam bus yang melaju. Berlari gegas menyusuri jalan berkelok. Kuperhatikan wajahmu. Kamu seperti memikirkan sesuatu. Tatapanmu lurus ke depan memperhatikan ujung-ujung jalan yang akan dilewati bus itu.
Tepat pada jalan yang agak meluncur, kamu terlihat agak susah payah mengeluarkan handphone di saku celana jeans-mu yang ketat. Lalu kamu mengutak-atik handphone-mu itu. Sepertinya kamu ingin mengirimkan pesan singkat buat seseorang. Setelah selesai kembali kau sorongkan handphone ke dalam celana jeans-mu. Dan di saat itulah, siku tanganmu menyentuh bahuku.
"Maaf," katamu pelan sambil sedikit tersenyum.
"Tak apa," jawabku pula.
Lalu kamu kembali duduk seperti semula. Menatap ke depan.
"Mau ke mana," tanyaku.
"Ke Padang," jawabmu.
Aku terdiam. Mencoba mencari kembali kata untuk mengajakmu berbicara.
"Ke Padang tempat siapa," begitu kataku selanjutnya.
Sejenak engkau diam. Seperti mencari sebuah jawaban.
"Ke rumah orangtua," jawabmu.
"Lalu di Bukittingi tempat siapa?"
"Tempat kakak."
"O."
"Kalau uda dari mana?"
"Dari Medan," jawabku
"Dari Medan," katamu pelan.
Lalu selanjutnya kita terus berbicara berbagai hal. Menghabiskan jam demi jam. Sampai kau ceritakan tentang dirimu yang akan segera diwisuda di Universitas Negeri Padang. Di atas bus yang menderu, kita bagai dua orang yang sudah lama cukup kenal. Aku pun tak mengerti, mengapa kita lekas begitu akrab. Ketika kamu akan turun di tempat tujuan, tidak lupa kuminta nomor handphone-mu.
Esok harinya aku mencari rumahmu lewat SMS yang kau kirim. Seperti seekor kumbang dengan sayap penuh bunga aku terbang menyusuri kampungmu. Kutahu kampungmu masih dipenuhi sawah-sawah membentang. Ada jalan setapak dari simpang tiga yang menuju ke rumahmu seperti yang kau tulis lewat SMS. Setelah terbang cukup lama akhirnya aku menemukan rumahmu.
Rumahmu berupa rumah panggung. Dipagari bilah-bilah bambu yang melingkar. Bunga-bunga mekar di dalamnya. Setumpuk bunga mawar yang tumbuh di dekat anak tangga memperlihatkan bunga-bunganya yang merah hati. Sewaktu kuinjak anak tangga pertama, jantungku berdebar kencang membayangkan kamu akan membukakan pintu dengan tersenyum. Tapi, ternyata tidak. Setelah pintu kuketuk, rupanya bukan kamu yang membukakan pintu. Akhirnya kutahu dia ayahmu. Badannya kekar. Berkumis tebal. Faraswati, di saat itu aku merasa sangat penakut. Namun setelah berbicara dengan ayahmu, nyatanya dia sangat baik.
Kebaikannya itu pulalah yang membuat aku di hari-hari berikutnya kembali ke rumahmu. Menemuimu di setiap aku merasa seekor kumbang yang ingin hinggap pada sekuntum bunga. Hari dan bulan berlalu. Aku seekor kumbang yang semakin mabuk harum bunga. Akhirnya pada suatu malam, kita memutuskan untuk menikah.
"Menikah? Dengan Siapa? Anak siapa dia, ha. Di mana rumahnya," tanya abak setelah kunyatakan keinginanku itu.
"Rumahnya di Air Dingin," jawabku
"Di Air Dingin? Ham. Bagus, berarti masih orang Minang juga. Kutakut, kau bawa pula gadis Batak itu kemari," jawab amak.
"Tidak-lah mak. Sewaktu bertugas di Medan. Sudah kutanamkan bahwa aku tak akan kawin di sana."
"Kalau memang sudah begitu, kau suruhlah orangtuanya ke mari. Biar kita buat kesepakatan."
"Iya bak."
Lalu dua hari selanjutnya kedua orangtuamu datang. Kuingat itu pada suatu malam. Di dalam kamar, di antara hati yang berbunga-bunga aku berusaha mencuri percakapan mereka. Ternyata, di malam itu, semuanya berubah. Semuanya seperti yang tidak kita duga.
"Apa? Sepuluh juta?"
"Ya."
"Bagaimana kalau tiga juta. Karena kami tidak punya uang sebanyak itu. Belum lagi uang untuk pesta dan membeli perlengkapan lain."
"Itu sudah sepantasnya. Kalau tiga juta itu-kan, untuk laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Tapi anak kami seorang guru pegawai negeri. Kami rasa sepuluh juta itu sudah sepadan."
"Terus terang kami tidak bisa memenuhi uang jemputan sebanyak itu. Untuk saat ini kami mengalah. Uang itu terlalu besar buat kami."
Lalu tidak berapa lama kemudian kudengar kedua orangtuamu minta pamit diri.
"Abak, mengapa jadi begitu. Mengapa harus ada uang jemputan sebanyak itu," tanyaku.
"Sepuluh juta itu sudah biasa buyung. Kau tahu, si Husen anak Apak Kahar yang bekerja sebagai montir Honda dijemput lima juta. Apalagi kau, seorang pegawai negeri."
"Tapi abak, aku tak butuh uang sebanyak itu. Aku punya uang untuk pesta pernikahanku."
"Ini soal adat dan harga diri buyung. Apa kata orang nanti. Masa anak seorang pegawai negeri tidak ada uang jemputan."
"Itu kan lebih bagus abak."
"Tidak. Tidak ada uang jemputan itu lebih tidak bagus. Pokoknya uang jemputannya sebanyak itu. Jika tidak, jangan harap kau bisa menikah dengannya. Kau sudah susah payah aku sekolahkan. Biayamu besar. Kau tahu."
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku mondar-mandir di kamar seperti orang kesurupan. Hatiku gelisah. Ruangan kamar itu berubah seperti sebuah petakan yang siap hendak menjepit tubuhku. Setelah lelah berputar, aku akhirnya menghempaskan tubuh di atas kasur. Tidak lama kemudian kuterima kiriman SMS-mu.
"Uda, ayah sudah pulang dari rumah uda. Ayah sudah menceritakan semuanya. Katanya ayah tidak punya sebanyak itu. Itu memang benar. Ayah beberapa bulan yang lalu sudah menjual satu ekor sapinya untuk uang wisudaku yang lalu. Kami bukan orang kaya uda. Jadi bagaimana kami bisa memenuhi uang sebanyak itu? Aku bingung uda. Apakah kasih kita akan patah sampai di sini? Aku tunggu jawaban uda"
Begitu bunyi SMS-mu yang semakin membuat mataku tak bisa dipejamkan malam itu.
Kini, di malam ini aku belum juga bisa membalas SMS-mu itu. Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Aku tak bisa menentang abak. Aku benar-benar menjelma seperti batu. Diam dan kaku. Oh Faraswati, di bawah cahaya bulan, di dalam gubuk tak berdinding ini, kuharap kau mengerti deritaku ini.
***
Padang 2007
Cerpen Hasan Al Banna
Ompu Gabe?" sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, "…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar...."
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, "Marihot…." katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
Ompu Gabe terkesima, lidahnya terkepang. Pun ketika anak muda bernama Marihot itu mengajaknya minum, ia patuh. Ompu Gabe begitu saja mendapatkan dirinya menghadap deretan botol tuak. Lalu, tanpa basa-basi. Marihot leluasa saja merubuhkan kegelisahan—entah kegeraman? Dan ketika Ompu Gabe masih dijerat peranjat, tiba-tiba Marihot membentangkan cita-cita dengan istilah—yang kedengaran asing bagi Ompu Gabe: Revitalisasi Opera Batak!
Marihot tertantang untuk menggempitakan kembali kesenian leluhurnya, opera batak. Bukankah sudah bertahun-tahun ia terlibat pertunjukan teater di Medan, bahkan keliling Sumatera dan Jawa? Maka, dengan air muka yang berkeciak, Marihot membeberkan liuk-lekuk rencana. Ia hendak mengawinkan keluguan opera dengan kilau pertunjukan modern. Marihot juga hendak mendaur torsa-torsa (dongeng), turi-turian (legenda), serta mitos- mitos batak menjadi naskah-naskah yang mujarab untuk ditampilkan. Maklum, opera batak tempo dulu cuma mengandalkan kekuatan bertutur dan improvisasi.
Maka, sudah sejak lama ia, katanya, mencicil semangat, merajut referensi, juga menggalah dukungan—motivasi dan tentu materi. Lantas, ketika semuanya rangkum, ia pun mengokang tekad: ini saatnya! Pusat Pengembangan Opera Batak layak deklarasi. Maka, Marihot mendesak Ompu Gabe pulang ke tahun-tahun lampau. Dengan harapan Ompu Gabe terlibat, tentu. Tapi, meski takjub, Ompu Gabe mengelak, tidak! Ia mengaku telah lama menebas segala kenangan tentang opera batak.
Namun, Marihot terus menggeledah, mengintai, menggoda, dan menyodokkan pertanyaan yang mesti dijawab Ompu Gabe: ya. Marihot berpekik, opera batak jangan mati, tak boleh jadi mumi! Bah, luar biasa gairah anak muda ini, puji Ompu Gabe di sudut hati.
Demi Tuhan, ia pun pernah ditabuh gairah semacam itu, mungkin jauh lebih dahsyat. Aku akan bermain opera sampai batas napas, begitu ia pernah bersumpah. Ketika itu, siapa yang sanggup meninggalkan gelora opera? Ou, dulu, opera batak adalah primadona, selalu ditunggu-tunggu. Maklum, jangankan tivi, listrik pun masih langka. Selain pasar malam, hiburan warga, ya, opera batak yang tur dari kampung ke kampung. Mereka bertahan di sebuah kampung berhari-hari, bahkan dalam hitungan minggu.
Eit, jangan khawatir jika tak ada uang. Tiket bisa dibeli dengan beras atau hasil ladang. Monis pe dijalo do (beras yang terbuang dari hasil menampih pun diterima), seloroh orang kampung. Maka, orang-orang berbondong menonton ke tanah lapang sambil margobar, berselubung selimut tebal. Tentu demi mematahkan angin yang mencengkeram tulang. Tapi iyalah, kelebat tepukan dan jengking siutan pun cukup ampuh menjerang tubuh.
Mmh, darah Ompu Gabe kerap bergeriap setiap melawat kemeriahan opera. Maklum, sejak usia 18 tahun ia sudah menunggang panggung; berlakon, menari, memainkan musik, dan bernyanyi. Ia pemain opera yang dielu-elukan penonton. Puja-puji apalagi yang tidak digemuruhkan ke telinganya. Ia jaya, ternama! Meski pada suatu kesempatan tur, ia pernah kehilangan daya. Diam- diam, seorang penonton setia selalu membikin dadanya berdegup. Setiap malam hadir dan tidak segan menonton di barisan depan.
Oi, ialah gadis bernama Teresia. Katakan, lelaki mana yang tidak hendak meminang pucuk bunga pesohor kampung? Maka tiada yang dapat menghadang kibasan bendera cinta. Pun ketika mereka saling bersulang kasih sayang. Maka, pada kesempatan tur yang ke sekian kali, mereka sepakat berangkat ke pelaminan. Menjadi suami istri muda!
Kehadiran Teresia kian membongkahkan tekad Ompu Gabe untuk tetap berlakon di panggung. Di mana cerita digelar, di situ Teresia bersandar. Ia senantiasa mendampingi, menyemangati—juga memberi dua anak lelaki untuk Ompu Gabe. Teresia adalah mata air kekuatan dan ketabahan. Suatu waktu, ketika zaman berganti gaun dan masyarakat halal menukar selera, grup-grup opera memilih tumbang, termasuk grup tempat Ompu Gabe bernaung. Pemilik opera angkat tangan, bangkrut dan bubar! Awak grup tercecer.
Ompu Gabe meronta: opera tidak boleh mati di tanah Toba! Lalu, Teresia tak tega. Ia pun berjuang keras menimba semangat Ompu Gabe yang amblas ke lubang yang gulita. Ia himpun serpihan kepercayaan Ompu Gabe yang berantakan. Dan ya, berhasil. Ompu Gabe perlahan bangkit, membentuk grup baru, serta menampung kembali pemain dan pemusik grup lama. Tur opera pun kembali berdebur, mengedar lakon demi lakon. Iya, kian berkelang memang jejeran penonton. Pun hasil keuntungan dangkal dan keruh. Tapi Teresia menolak beranjak dari gebyar panggung.
Tentu, Ompu Gabe bangga kepada istrinya. Teresia bahkan pernah didaulat pahlawan oleh awak grup. Saat itu, seorang pemain, tokoh inang, mendadak sakit. Lantas penonton nyaris mengamuk karena pertunjukan lalai dimulai. "Aku yang main!" Teresia menghadap suaminya, lalu segera mendaki panggung. Ia berhasil mengupas rasa canggung sekaligus menghipnotis penonton. Hasilnya? Lumayan, sanjung Ompu Gabe.
Maka, tak heran jika Teresia menjadi pesona baru. Dari opera ke opera, dia memikat hati penonton—juga mendulang pujian dari awak grup. Tapi sumpah, Ompu Gabe tidak pernah menghasut Teresia memikat hati siapa pun di luar lakon. Terlebih itu lelaki, apalagi lelaki itu adalah lawan main Teresia di panggung? Dasar tak beradat! Semula, baginya Teresia adalah kebahagian sempurna! Tapi kebahagiaan apa lahir yang dari sebuah pengkhianatan? Togu, sahabat Ompu Gabe, bermain opera sejak belia bersekutu cinta dengan Teresia. Mereka raib meninggalkan sekerat surat. Hanya sembilan tahunkah usia kesetiaan? Ompu Gabe pun bersemak isak sembari mendekap kedua anaknya: ah, sudah berumur tujuh dan lima tahun. Ompu Gabe berkubang luka!
Tapi apalagi, selain pasrah? Siapa hendak menampung lampiasan amuk? Lagi pula, Ompu Gabe tak berniat mengampuni pengkhianat. Luka memang berkibar, dendam, ya, menggelepar. Namun tidak untuk menagih Teresia dari pangkuan Togu. Iya, pikiran Ompu Gabe lintang-pukang. Ia bubarkan grup. Tak ada opera, tiada lagi tur. Ia lipat hasrat untuk mengusung panggung ke kampung-kampung. Sambil menangkis tangis, Ompu Gabe pun menjual seluruh perangkat musik dan segala aset opera. Lalu, janji pun ditancapkannya ke udara: tidak untuk opera dan tidak untuk perempuan!
Nah, ketika sebagian teman— mantan pemain opera—masih tetap berkesenian meski berprofesi pengamen, Ompu Gabe malah membelot menjadi penarik becak siantar. Entahlah, ia serasi sebagai penarik becak antik itu. Kalau tidak, mana mungkin Ompu Gabe setia menarik becak sampai 22 tahun lebih. Ia bahkan sudah bercucu. Tapi belum mampu juga menumpas masa lalu? Kemudian, seorang anak muda bernama Marihot tiba-tiba mengelebatkan hujan cuka, tepat ke ladang luka.
Ah, tidak! Sebelum Marihot datang, Ompu Gabe sudah sejak lama gagal menjemur luka dan membunuh sisa cinta terhadap Teresia dan opera? Ia pun sebenarnya paham jika Marihot tidak berniat mencongkel bekas luka. Memang, Marihot mahir menjangkau geriak kehidupan Ompu Gabe yang hanyut ke muara waktu. Benar, Marihot lihai menyeret Ompu Gabe menelusuri kembali ladang kenangan: riang-gempita dan luka-cita! Tapi ia tidak pantas menuding Marihot sebagai pengobrak lemari kenangannya—bukankah sejak lalu tak terkunci?
Lagi pula, Ompu Gabe pun sadar atas kegagalannya menggenapkan kesumat. Bayangan Teresia sering timbul tenggelam di laut lamunannya. Lalu, ke mana pun angannya berpaling, terperosok juga ke semarak opera; lakon, musik, nyanyian, dan hiruk penonton. Tengoklah, di bawah jok becak tersimpan hasapi. Iseng Ompu Gabe membelinya, tapi tekun memainkannya, bersanding lagu-lagu sampai lalai waktu. Pernah, ketika Marihot menjumpai Ompu Gabe pada kesempatan yang lain, mereka menempuh malam sambil menenggak tuak, bercerita, dan bernyanyi sampai serak.
"He, jariku masih mahir memetik senarnya," Ompu Gabe mengumbang diri.
"Lebih paten kalau dipetik di panggung," Marihot berdesis. Lalu kembali meniup sulim.
"Mmh, tidak…" Ompu Gabe menggeleng, tapi matanya bimbang.
Marihot memang anak muda yang gigih. Sabar dan pintar. Apalagi ketika mengetahui pendirian Ompu Gabe mulai oleng. Ia belum mau menyerah. Apalah sulitnya menggedor pintu yang mulai goyah? Maka, pada malam yang lebih menggigilkan, Ompu Gabe akhirnya kehilangan kekuatan.
"Baiklah. Aku bersedia, Marihot…" Teriak Ompu Gabe menaklukkan suara mesin becak. Saat itu Ompu Gabe dan Marihot sedang berputar-putar di kota Siantar, "Aku juga akan membujuk kawan-kawan untuk berlatih dan main." Marihot menyelidik wajah Ompu Gabe. O, mata Ompu Gabe berkilau, memendar buncahan gairah.
"Tapi ada syaratnya, Marihot…" sesabit senyum mengait di bibir Ompu Gabe. Pangkal hidung Marihot mengerucut, "Aku yang menjadi anak mudanya, heh!" Ompu Gabe mengerling, Marihot terbahak sambil menahan kencing.
Malam ini penampilan perdana: Lakon Guru Saman! Penonton tidak melimpah dalam gedung. Mungkin pekan depan lebih meriah saat mereka tampil di Lapangan Sisingamangaraja, Balige. Menurut rencana, lakon Sipurba Goringgoring yang digelar di sana. Tapi Ompu Gabe tidak peduli dengan jumlah hadirin. Ia cuma menanti kedatangan seseorang untuk menyaksikan kehebatannya ketika berlakon. Ia kembali merasa muda. Matanya menyala.
Ompu Gabe berperan sebagai Guru Saman, jagoan asal Lau Balang-Tanah Karo. Berilmu kebal dan lihai main silat. Nah, cerita punya cerita, tokoh ini membunuh seorang hamba Tuhan— vorhanger, juga istri korban yang sedang hamil. Memang, Guru Saman mendapat ilmu dari seorang guru yang membolehkannya membunuh, tapi ibu hamil jangan! Tapi, petuah itu telah dilanggar Guru Saman. Kesudahannya, Guru Saman berhasil ditangkap komandan intel. Lalu, ya, dihukum gantung….
Ompu Gabe bergelimang peluh. Ia sibuk memompa napas ke dada. Sesekali, Ompu Gabe membidikkan pandangan ke jantung panggung. Hujan cahaya. Tortor Sawan, selingan sekaligus bagian pertunjukan sedang berlangsung. Para penari bersimbah aksi. Musik bertabur, saling menyalip. Suara taganing berkulitak-dung, bunyi garantung bergedatuk- tang. Meski masih berada di luar panggung—wing kanan, Ompu Gabe turut dirasuk musik. Tapi ia masih harus kembali ke panggung. Adegan penangkapan Guru Saman menunggunya.
"Lihat, aku masih bermain mantap. Tapi di mana kau…?" Ompu Gabe bergumam. Dari tadi, dalam kekhusyukan berlakon, sungguh, sepasang mata Ompu Gabe begitu telaten mengedar pandangan ke barisan penonton. Tempias cahaya panggung memang samar,tetapi cukuplah untuk menyenter wajah hadirin di barisan depan. "Biasanya kau duduk di depan itu…." Namun ia tidak menemukan sosok yang diharapkannya. Ia pastikan berkali-kali. Hasilnya serupa, "Mmh, kau tidak datang…?" bisiknya ke telinga sendiri. Harapannya terjungkal!
Adegan pengujung lakon Guru Saman tetap berlanjut. Ompu Gabe sedang tertunduk ditodong tiang gantungan. Ia tegak ditopang bangku kayu. Alunan sarune menyayat, sesaat. Lantas, setelah pembacaan pledoi hukuman, adegan eksekusi pun dimulai. Lengkung tali dikalungkan ke leher Guru Saman. Algojo eksekusi bersiap menebas bangku tumpuan Guru Saman berdiri. Lampu panggung pun seketika padam diiringi jerembab bangku dan bunyi derak tali. Nyawa Guru Saman tamat. Lantas tetabuhan meletup, susul-menyusul. Suara sarune meliuk, mengoyak.
Penonton bertepuk merayakan akhir pertunjukan. Riuh sorak- sorai. Tak ada yang tahu ajal sudah tercerabut dari mulut yang berceracau:
"Ah, di mana kau, Teresia? Di mana? Mampuslah…!"
***
Cerpen Sunaryono Basuki Ks
GUNG Ayu Ariani seolah merasa berdiri di depan candi bentar1 yang terukir indah, pintu gerbang yang terbuat dari batu merah jalan masuk ke dalam puri.2 Dia tak menyadari bahwa peristiwa itu sudah lama berlalu, sejauh dia dapat merasakan perasaannya yang tercabik-cabik. Dua puluh enam tahun telah berlalu sejak terakhir kali dia berdiri di depan pintu gerbang puri tempat keluarga besarnya tinggal. Di rumah besar itu tinggal kakek neneknya yang sekarang sudah almarhum, ayah ibu dan saudara-saudaranya. Dia selalu ingat Gung Biyang, ibunya, dan Gung Aji, ayahnya, sangat baik kepadanya. Mungkin dialah anak yang paling mereka sayangi. Kenangan kepada keduanya mengguncangkan bandul lonceng perasaan di dadanya, yang kemudian terasa sesak, mau meledak, dan benar-benar pecah dalam derai air mata yang tak terbendung. Desakan perasaan dari dalam itu seolah memompa dadanya dan satu-satunya cara merekamnya ialah berurai air mata. Di ujung bandul dia bisa merasakan kesedihan yang tertekan, di ujung yang lain dia merasakan kegembiraan. Bukankah kedua orang tuanya sudah memberinya kebahagiaan sampai dia dewasa?
Beberapa tahun lamanya dia merasakan perih tersayat di dadanya bilamana memikirkan keluarganya, terutama Gung Biyang. Kepedihan itu makin menyayat saat dia mendengar Gung Biyang meninggal, dan pada tahun berikutnya, Gung Aji menyusul. Pada kedua kesempatn itu dia ditolak para orang tua dalam keluarga untuk masuk ke dalam puri untuk memberikan penghormatan terakhir pada kedua orang yang dicintainya dan mencintainya itu. Upacara kematian itu harus berlalu dengan menorehkan luka di dadanya.
Hantaman badai di dadanya itu membuat Gung Ayu Ariani patah hati, dan tak akan pernah memberi tahu anakanaknya siapa dirinya sebenarnya, dari mana asalnya. Terasa berat untuk berbohong, tetapi dia harus berbohong agar anak-anaknya tidak terkena getah keputusannya meninggalkan keluarga dan memilih menikah dengan lelaki idamannya. Kalau anak-anaknya bertanya, dia selalu menjawab bahwa dia berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Timur, dan bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Dia memang berbohong tentang kampung asal usulnya, tetapi tidak tentang kakek nenek mereka yang memang sudah meninggal. Anak-anak tidak tahu bahwa dia berasal dari sebuah puri di Klungkung, bahwa dia adalah seorang perempuan bergelar Anak Agung, dan bahwa anak-anaknya itu punya sepupu dan juga paman yang bergelar Anak Agung. Dia kubur semua itu dalam-dalam, dan dia menjadi seorang wanita baru. Alangkah terkejut anak-anaknya bila mereka tahu asal usulnya dan kemudian ditolak oleh keluarga besar untuk sekadar menengok kediaman kakek nenek mereka.
Gung Ayu Ariani bisa berbahasa Jawa dengan lancar karena sejak kecil dia banyak bergaul dengan orangorang Jawa yang sudah lama menetap di Klungkung, bermain-main dengan sebayanya, bahkan memainkan permainan anak-anak yang berasal dari Jawa. Orang bilang, dulu mereka keturunan Majapahit, datang ke Bali sejak jatuhnya kerajaan besar itu. Dulu mereka menjadi pengawal seorang putri yang sudah memeluk agama Islam, untuk menjemput pangeran yang lari ke Bali. Pangeran itu menolak untuk diajak pulang dan berganti agama, dan tetap bersikukuh untuk memeluk agama Hindu. Karenanya sang putri pulang kembali dengan sedikit pengawal, sedang pengawal-pengawal lain ditinggalkan di Klungkung. Kisah itu mungkin benar, mungkin juga tidak benar. Tetapi memang kalau ditanya dari mana asalnya, mereka hanya bisa menjawab bahwa mereka sudah lama menetap secara turun-temurun. Lalu, ada pendatang baru dari Jawa yang berbaur dengan mereka. Kebanyakan dengan pendatang baru inilah Gung Ariani bergaul.
Tak seorang pun mengira bahwa dia bukanlah seorang penutur asli bahasa Jawa. Aksen Bali tak terdengar, apalagi namanya bukan Anak Agung Ayu Ariani lagi. Sekarang orang-orang mengenalnya sebagai Hajjah Ari, yang rajin menghadiri pengajian dan ke manamana mengenakan jilbab. Seorang mualaf 3, tak seorang pun mengira bahwa dia seorang mualaf. Tak seorang pun mampu menelusuri asalnya. Bahkan beberapa teman yang berasal dari Bali yang tinggal di kota ini, tak pernah mengira bahwa dia berasal dari Bali. Dan bahasa Jawanya makin halus karena dia pernah tinggal di Yogyakarta.
Dua puluh tahun telah berlalu, tujuh tahun setelah pernikahannya dengan Retmono, saat dia sudah melahirkan bayi perempuan dan lelaki. Dia pernah memberi tahu kedua orang tuanya bahwa lelaki yang dicintainya itu adalah Raden Mas Retmono, putra Raden Mas Retono dengan Raden Ayu Ambarwati. Namun, mereka tak pernah memasang gelar itu di depan nama mereka. Orang tua Retmono berasal dari keluarga bangsawan di Solo, namun tak pernah menganggap gelar kebangsawanan itu penting.
Mungkin, yang dianggap kesalahan besar adalah pernikahan itu. Gung Biyang pernah menyebut nama Gung Jelantik, paman jauhnya, untuk menjadi suaminya. Di dalam kehidupan bangsawan Bali, seorang gadis baik menikah dengan sepupu atau sepupu jauh. Lebih baik lagi kalau bisa menikah dengan paman jauh, jadi dapat memanggil suaminya nanti dengan sebutan Gung Aji. Walaupun Gung Jelantik pamannya, usianya hanya berbeda tiga tahun dengannya. Dia adalah sepupu ayahnya, putra termuda dari saudara termuda kakeknya.
Bisa juga karena proses pernikahan mereka tak pernah direstui kedua orang tuanya. Karena tahu Gung Ayu Ariani tak akan mendapat simpati kedua orang tuanya dalam pernikahan itu, dia pun berkonsultasi dengan seorang paman yang tak terlalu konservatif. Pamannya itu mengenal Retmono dengan baik dan dapat menilai bahwa lelaki itu memang lelaki baik-baik, sesuai untuk suami Gung Ayu Ariani, walaupun dia bukan dari kalangan keluarga. Paman itu memberi saran agar sebaiknya mereka kawin lari saja.
Merangkat merupakan solusi biasa bilamana ada halangan dalam sebuah perkawinan, terutama bilamana mempelai berasal dari kasta yang berbeda: yang wanita dari kasta yang lebih tinggi. Merangkat dilaksanakan dengan rapi sesuai tuntutan adat: Gung Ayu Ariani membawa beberapa potong pakaian ketika dijemput Retmono di tempat yang telah disepakati. Mereka langsung menuju tempat persembunyian yang dirahasiakan, dijemput sejumlah kenalan yang lebih tua, yang sudah siap mengenakan pakaian adat Bali. Merekalah yang bertindak sebagai utusan, sebagai pejati yang mengabarkan bahwa Gung Ayu Ariani sudah dilarikan orang. Mereka mulamula menuju rumah ketua RT tempat keluarga Gung Ayu tinggal, untuk melaporkan maksud mereka. Dengan diantar ketua RT, mereka menuju puri dengan menyalakan dua lampu minyak tanah sebagai tanda bahwa mereka adalah utusan. Kedua pejati itu bertemu keluarga Gung Ayu, bicara dengan bahasa halus, bahkan teramat halus, namun pihak keluarga merasa terkejut dan marah. Mereka minta Gung Ayu dan calon suaminya dibawa menghadap agar bisa ditanyai langsung, apakah mereka memang saling mencintai.
Dari pertemuan itu, Gung Ayu Ariani mendapat keputusan yang memukul perasaannya. Keluarga tidak akan menghadiri upacara pernikahan dan mereka tak diperkenankan memasuki puri untuk waktu yang tak ditentukan. Mula-mula Gung Ayu Ariani mencoba meyakinkan dirinya bahwa kedua orang tuanya tidaklah bersungguh-sungguh dengan keputusan ini. Di dalam pertemuan keluarga yang bersifat resmi ini, mereka memang harus menunjukkan sikap tegas untuk memberi kesan bahwa mereka memang sungguh-sungguh mematuhi peraturan keluarga dan tidak melanggar adat. Tidak satu pun gadis dari keluarga itu boleh menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah atau juga dengan lelaki dari suku lain. Namun Gung Ayu Ariani juga tahu bahwa sejumlah keluarga lain mengizinkan putri mereka menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih rendah asal punya gelar akademik khusus atau bahkan berpangkat. Dia tahu temannya menikah dengan Dr Wayan Dibia yang lebih rendah kastanya, atau dengan Kapten Marinir Ketut Pugeh. Mereka seolah menutup mata. Dan dia akan menikah dengan Ir Raden Mas Retmono, bukan lelaki biasa. Dia berharap, lama-kelamaan hati kedua orang tuanya akan melunak, apalagi bila mereka berhadapan dengan cucu-cucu yang lucu. Mungkin Gung Ayu Ariani akan diizinkan pulang, disambut sebagai keluarga. Namun, hal itu tak pernah terjadi, apalagi kedua orang tuanya meninggal satu per satu. Pernah mereka datang ke puri dengan membawa dua bocah kecil yang lucu untuk melunakkan hati Gung Biyang dan Gung Aji. Namun Komang Ratning, pembantu mereka yang sudah tua yang keluar dan dengan lidah hampir terpaku menyampaikan pesan bahwa Gung Biyang dan Gung Aji tak berkenan menerimanya. Dilihatnya mata perempuan tua itu berkubang air mata. Ingin dia memeluk perempuan tua ini, yang mengasuhnya sejak kecil, namun niat itu diurungkannya. Diam-diam diberikannya beberapa lembar uang kertas yang mula-mula ditolak, namun akhirnya diterima dengan isak tangis. Saat itulah dia memandang dengan hati bolong candi bentar yang memisahkan dunia keluarganya dan dunianya. Gapura itu tak pernah lagi dilintasinya. Itulah kenangan yang diingatnya untuk waktu yang sangat lama: dua puluh tahun.
Gung Ayu Ariani masih memegang gagang telepon yang bergetar di tangan.Antara rasa bahagia dan rahasia yang ingin dikuatkannya. Hampir tak dapat dipercaya apa yang didengarnya. Telepon dari Dewi Saraswati, anak sulungnya dari Columbus. Jam lima pagi, udara sejuk di luar.
"Dewi harap Mama tidak terkejut. Dewi berhasil memperoleh gelar master, dan juga seorang calon suami."
Calon suami? Apakah orang Amerika? Tapi teka-teki segera pecah.
"Dia sangat baik, sabar, penuh pengertian, dan setia. Mama dapat menilai dari suaranya. Dewi bukan lagi gadis kecil, Ma. Mau tahu namanya? Anak Agung Alit, lulusan ITB. Dia juga memperoleh gelar master di Ohio State University tempat Dewi belajar. Alit dari Klungkung! Pasti Mama menyukainya!"
Memang, Dewi bukan gadis kecil lagi, yang rambutnya dijalin dengan hiasan pita merah. Bukan gadis kecil yang dengan manja minta dipangku dan disuapi kala makan walau sudah duduk di kelas dua SD.
Dewi seorang perempuan dewasa. Pribadi yang mungkin tak lagi dikenalnya. Dan dia segera pulang dengan seorang calon suami pilihannya sendiri. Bukankah dia juga memilih Retmono sebagai calon suami, memilih sendiri, dan menolak pilihan Gung Biyang? Dia tidak terkejut oleh isi berita yang disampaikan padanya, tetapi dengan cara Dewi bercerita tentang calon suami. Rasanya, Dewi bukan gadis remaja yang dikenalnya. Tetapi, siapakah Gung Alit? Apakah dia anggota keluarganya sendiri? Apakah sejarah akan berulang kembali seperti kata orang Prancis? Tak kuasa dia menahan air matanya yang tumpah.
Gung Ayu memberi tahu Gung Alit agar keluarganya datang berkenalan, tanpa memberitahu bahwa sesungguhnya dia juga seorang Anak Agung dari Klungkung. Tetapi, banyak keluarga Anak Agung yang tak saling berhubungan, yang berasal dari Klungkung.
Pada hari yang ditentukan, Gung Ayu merasa gelisah, tak tenteram di tempat duduknya. Dia bergerak dari ruang ke ruangan, memberi petunjuk kepada kedua pembantunya tentang hidangan yang akan disuguhkan. Dewi sendiri nampak bahagia dan anggun dalam pakaian kain kebaya gaya Yogya. Gung Alit memang pemuda yang tampan dan menarik. GungAyu mencoba menelusuri wajah siapa yang menjejak pada wajah Gung Alit. Mungkin salah seorang keluarganya. Sekilas, Gung Alit mirip Gung Aji Purwa, salah seorang pamannya. Namun, sesaat kemudian lelaki itu mengingatkannya kepada pamannya yang lain, atau sepupunya. Pikiran-pikiran itu membuatnya tambah gelisah. Saat tiga mobil berhenti di depan rumah, keluarga Retmono dan tetangga dekat yang bertugas sebagai penyambut tamu bergegas menuju halaman. Kemudian mereka diantar masuk ke dalam rumah. Mereka berpakaian adat Bali. Yang lelaki mengenakan sarung dan kemeja yang dibungkus jas, serta mengenakan ikat kepala dari kain batik. Yang perempuan mengenakan kain dan kebaya, dengan hiasan kepala dari bungabunga emas. Setiap tamu diperkenalkan kepada Retmono dan Gung Ayu Ariani seorang demi seorang oleh yang nampaknya paling tua. Gung Ayu Ariani menyalami mereka. Ketika yang tertua maju, Gung Ayu memandangnya tanpa senyum. Walaupun dia bertambah gemuk, mungkin sepuluh atau lima belas kilogram, Gung Ayu Ariani tetap mengenalinya sebagai Gung Jelantik. Lelaki itu terkejut dan ingin mengatakan sesuatu, namun Gung Ayu Ariani diam saja. Lelaki itu tahu pasti situasi sulit baginya, jadi dia diam saja dan hanya tersenyum kecil.
Gung Ayu Ariani merasa pertemuanitu sangat resmi. Ketua rombongan menghaturkan oleh-oleh yang diletakkan di atas nampan kayu yang berkaki. Di atasnya setumpuk kain batik dan songket warna-warni. Di atas nampan lain buah-buahan segar dan juga kue-kue. Mereka menyampaikan maksud kedatangan untuk berkenalan dan juga melamar Dewi Saraswati untuk Ir Anak Agung Ngurah Alit MSc. Utusan itu juga mengatakan bahwa Gung Alit adalah putra Anak Agung Udayana yang berhalangan hadir dalam esempatan baik ini. Ariani tahu bahwa Gung Udayana adalah saudara tua Gung Jelantik, dan Gung Alit adalah bayi kecil yang dulu dilihatnya sebelum dia meninggalkan puri. Gung Ayu Ariani yakin keluarganya masihingat bahwa dia adalah salah seorang anggota keluarga yang pernah memprotes adat keluarga. Mungkin juga mereka tahu bahwa Gung Ayu Ariani berjuang keras untuk tetap hidup dengan melanggar peraturan itu. Semuanya diam, tak seorang pun berani mengungkap rahasia itu. Retmono tidak mengenal mereka secara dekat, namun dapat merasakan ketegangan antara istrinya dan keluarganya. Dewi dan Gung Alit nampaknya tak menyadari akan situasi sulit ini. Semua tamu menunggu tanda dari Gung Ayu Ariani untuk mengakhiri perselisilahan keluarga yang cukup lama itu. Mungkin saat yang tepat untuk rujuk di antara keluarga. Mereka merasa bersalah karena dulu tak berani melawan keputusan para tetua keluarga, dan seharusnya berdiri kokoh membela Gung Ayu Ariani. Gung Ayu Ariani tahu semua adik dan kakaknya hadir di sini. Mereka menentang pernikahannya dan tak pernah berkabar sekalipun kepadanya. Apakah dia harus menolak lamaran ini sekadar untuk mempertahankan rasa bangganya dan menghancurkan kebahagiaan anaknya? Apakah dia tidak bisa mengorbankan penderitaan masa lalunya untuk masa depan Dewi? Apakah dia harus bertindak kejam kepada putrinya sendiri? Apakah belum cukup penderitaan bertahun-tahun hanya untuk dirinya sendiri, tak perlu dibagi? Beberapa saat lamanya dia tak bisa mengambil keputusan. Retmono sudahmemberi tahu tamunya bahwa istrinya yang mengambil keputusan untuk anak perempuan, dan dia akan mengambil keputusan untuk anak lelaki mereka.
Hidangan kue dan minuman dibiarkan tak tersentuh. Ruang tamu seakan beku. Bahkan detak jam dinding pun tak terdengar. Semua menunggu. Menunggu. Tiba-tiba Gung Ayu Ariani melempar senyum yang makin melebar. Terdengar napas lega di sudut-sudut ruang tamu.
"Gung Aji!" kata Gung Ariani memecah sunyi, "Selamat datang di rumah kami."
Dewi Saraswati menoleh ke kanan dan kiri, mencoba untuk memahami keadaan itu.
***
Singaraja, 7 Juli 2007
KETERANGAN
1 Candi bentar= gerbang untuk rumah bangsawan
2 Puri = kediaman bangsawan Bali yang bergelar Anak Agung
3 Mualaf = seorang muslim sebagai hasil memeluk agama baru. Banyak mualaf, baik lperempuan maupun lelaki, akibat dari sebuah pernikahan.
Cerpen Beni Setia
Jemur bantal, guling dan kasur. Setidaknya seminggu sekali gantilah seprei dan sarung bantal-gulingmu." "Agar tak ada Dajjal, Yah?" "Agar Dajjal mengerut dan terbakar jadi abu. Agar abunya terbang di panas siang dan tidak buru-buru bersarang di dalam tanah pekarangan.Tepuk-tepuk bantal dan guling agar bulu-bulu halus Dajjal beterbangan dan tidak bersarang di bantal dan guling––sehingga kamu batuk-batuk."
"Apa Dajjal pocong itu, Yah?" "Bukan. Pocong adalah orang mati yang tak ikhlas menerima kematiannya. Ia mempertahankan tubuhnya, percaya bahwa satu saat tubuhnya akan hangat lagi, lalu bisa bangun dan pulih seperti biasa. Ia menekur, berjaga di sisi tubuh yang dikafani dan dikubur dengan berbantal gumpal tanah di rongga lahad.
Dan Dajjal, setelah tiga bulan penguburan, terkadang muncul dari balik bantal tanah untuk menggerayangi hidung dan menyelinap ke rongga dada. Dajjal selalu rindu lubang hidung, atau kuping, karena tidak punya kaki,tangan,badan, kepala dan mata. Ia ingin jadi manusia, segala hewan dan tanaman yang bisa muncul di permukaan tanah tanpa mati dibakar sinar matahari."
***
Dajjal itu monster, jejadian, siluman. Induk dari segala Dajjal berada jauh di dasar Bumi,berupa batang kelam seperti tanaman parasit berujud akar––seperti bunga bangkai––, yang terpendam lama sebelum memunculkan kuncup bunga dan kemudian mekar jadi bunga raksasa beraroma busuk pemancing serangga.Nun.
Tapi Dajjal tidak memunculkan kuncup bunga. Ia melepas ruas batangnya,seperti cara pembiakan cacing pita, yang terapung dan bersarang di bawah bantal yang lembap berbau. Bertahan sampai dua tahun––bila tak dijemur di panas matahari. Diam-diam mengincar isi rongga dada lewat lubang hidung, lubang kuping dan mulut orang tidur, yang tak pernah menjemur bantal, guling, dan kasur.
Mencengkeram dan tumbuh sebagai Dajjal sempurna di paru-paru, lambung, dan jantung. Pada mulanya Dajjal hanya serabut transparan berbulu, yang gampang rontok dan bila terhirup menyebabkan kita batuk-batuk di waktu tidur. Setelah sempurna, ia jadi sulur-sulur hitam dengan kepala yang berupa setangkup cocor bebek yang akan menggerogoti tulang rawan hidung dan kuping, atau menyedot cairan isi mata dan kepala sehingga setiap manusia seperti tidak punya hidung, kuping, mata, dan otak.
Mengendalikan manusia seperti dalang mengendalikan boneka marionette dengan tali atau wayang dengan batang bambu kecil. Mendominasi sehingga tubuh itu hanya alat untuk memuaskan keinginan Dajjal, sampai manusia bersangkutan kurus, kering dan garing seperti ranting, mati dan mayatnya dikuburkan.
Pada tahap ini ia bisa bertahan seratus tahun, sambil setiap lima tahun melepas ruas tubuhnya menjadi serabut-serabut Dajjal,yang bila dalam dua tahun tidak terbakar matahari bisa mencapai rongga dada manusia akan mencapai tahap dewasa––dengan mengendalikan dan menyedot daya hidup inang.
Lantas, dikuburkan untuk bisa berkembang biak dengan menerbangkan serabut transparan–– meniru Dajjal purba yang ada di dasar Bumi. Nun.Tapi apa Dajjal itu? Di abad apa ia mulai tumbuh? Apa kreasi liar yang terbentuk di masa purbani dan gagal disisihkan seleksi alam karena memiliki daya tahan sebanding dengan agresivitas destruktif? Atau ia makhluk vegetatif penyusup dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya asing? ***
Dalam cerita wayang, dalam komik Ramayana, Rahwana adalah makhluk raksasa yang lahir dari seorang putri ambisius yang kepingin menguasai ilmu kesempurnaan hidup milik dewa, dengan seorang lelaki petapa yang telah menguasai ilmu ke-sempurnaan dan tergoda kemolekan si putri ketika dia mencoba mengajarkan ilmu itu atas permintaan anak lelakinya yang menaksir si putri.
Mungkin karena mereka mengurung diri dalam kamar, terperangkap pada fakta ketubuhan di ruang tertutup, dan berselingkuh sehingga lahirlah anak-anak yang ada di antara gradasi nafsu dan keutamaan,Rahwana dan Wibisana.Dalam epos Ramayana itu diceritakan Rahwana mencuri Dewi Sinta, istri Betara Rama dengan tipu daya, dan tak mau mengembalikannya ketika diminta secara baikbaik.
Maka pecahlah perang besar, yang ditutup dengan kekalahan Rahwana. Tapi Rahwana tak pernah mati––ia memiliki aji Pancasona yang menyebabkan tubuh dihuni nyawa lagi begitu menyentuh tanah setiap kali terbunuh.Karena itu, ia dikejar-kejar panah sakti yang dilepaskan Rama, berusaha [tunggang- langgang] untuk bersembunyi di sembarang tempat.
Gagal dan karenanya ia menyusup ke dalam tanah dan akhirnya terjepit oleh kerak bumi yang saling bergesekan sebagai lempeng landas benua––terjepit dan terdorong ke kawah magma gunung kembar. Tidak bisa bergerak karena terjepit, tak mau bergerak karena diincar panah sakti, dan karenanya ia hanya mengorok dan menggelokgok melepas aneka rupa angan-angan, nafsu––seperti bocah kampung meniup busa sabun dari mangkuk air sabun.
Tetapi, tentu saja, tanpa tawa dan canda. Dipenuhi oleh kemarahan dan dendam ia meniupkan hipnotis dan sugesti kepada orang-orang hidup yang bebas gentayangan di muka Bumi–– agar angkara seperti dirinya. Ya! Tapi apa Rahwana itu biang Dajjal? ***
Aku kelas empat SD dan adik baru kelas satu SD. Saat itu hari hujan,lampu mati sehingga TV tak bisa dinyalakan–– kami yang tak bisa main game. Aku ingat pada cerita Ayah tentang Dajjal yang bersarang di bawah bantal. Teringat akan momen ceritanya di tiga bulan lampau––pada saat yang juga malang seperti sekarang ini––, yang kemudian disusul dengan desas-desus munculnya setan pocong Bu Bariah, yang meninggal dalam kondisi hamil muda.
Aku membayangkan Dajjal seperti membayangkan pocong, yang berwarna kelam dan bersembunyi di bawah bantal,karenanya hanya seruas jari kelingking.Aku minta Ayah menggambarkannya di kertas dan bukan memperagakannya dengan empat jemari di dua telapak tangan. Lantas Ayah menggambar di buku tulis dan memberinya warna sehingga aku yakin akan keberadaannya.
Karenanya aku bertanya lagi: apa Dajjal itu hewan atau tumbuhan? Apa Dajjal itu jantan atau betina? Apa Dajjal itu virus atau parasit? Ayah tertawa. Ayah bilang, tidak ada Dajjal dan yang ada hanyalah Om Zal. Aku dan adik mengernyit. Om Zal itu adik ayah. Sudah tua tapi kesenangannya bermalasan, teler, dan hampir setiap hari minta duit sama Oma––Opa sudah meninggal––, dan marah bila tidak diberi duit.
Karenanya Oma menelepon Ayah, menelepon Tante Maryam dan Om Yusuf. Bila ditelepon begitu,begitu terdengar, Ibu selalu marah dan mencaci maki Om Zal. Ayah bilang, ia terpaksa memberikan sokongan karena ingin menyenangkan Ibu. "Itu bakti saya kepada Mama," katanya. "Tapi itu sama saja dengan membiasakan Zal tergantung padamu. Menggerogoti kita .…" kata Ibu.
Ayah bungkam––Oma masih menelepon dan minta sokongan. Apa mungkin Om Zal itu Dajjal? Aku berpikir: mungkin Dajjal bersarang di bawah bantal Om Zal,lalu masuk ke rongga perut lewat lubang hidung, kuping atau mulut.Bersarang dalam lambung, dan menyerap segala rokok,minuman, pil, dan entah apa saja yang dimakan oleh Om Zal.
Dan pada gilirannya, Om Zal itu sendiri sudah bukan lagi Om Zal, tapi sebuah Dajjal yang memakai tubuh Om Zal––setidaknya karena mata dan otaknya kering terhisap. Kalau begitu, ke mana Om Zal yang sejati? Apa yang terusir dari tubuhnya itu nyawa atau ruh? Apa hanya kesadaran dan harga diri yang menyebabkannya jadi orang tak malu hidup bermalasan dan bermanja––parasit yang merepotkan orang, seperti yang dibilang Ibu bila tahu Ayah menyokong Om Zul?
Dan karenanya, untuk bebas dari Dajjal, kita tidak boleh bermanja, tidak boleh merepotkan orang lain––tak boleh jadi parasit. Punya harga diri dan kemauan untuk hidup mandiri.Dengan senantiasa menjemur bantal,guling,kasur, dan selalu ganti sarung bantal dan guling dan seprei seminggu sekali — seperti yang selalu dikatakan ayah. OK! Tetapi kenapa Ayah tidak membebaskan Om Zal dari dominasi Dajjal?
Apa di dunia ini memang tak ada obat untuk membebaskan orang yang di- cengkeram dan dikuasai Dajjal? Bila begitu apa Dajjal itu asli jejadian yang tumbuh bersama evolusi planet Bumi atau justru datang dari Planet Nun [jauh] di Tata Surya lain. Serdadu komando alien yang berusaha menguasai Bumi dengan menguasai dan menggerogoti tubuh manusia Bumi?
***
Apa mungkin Dajjal itu sabu-sabu, ekstasi, putaw, rhohipnol, pil koplo, ganja,bir,wiski, vodka, arak, dan segala entah apa lagi yang selalu dikonsumsi oleh Om Zul? Atau …
***
Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
Dalam tiap acara keluarga besar kami, sejak kecil aku merasa Antinglah yang jadi selebritis. Dari sekian puluh cucu eyang putri, cuma dia yang cantik. Konon, Anting mirip leluhur kami, garwa kepala prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Malang.
Saya yang belajar biologi, sebetulnya heran genetik leluhur (teori Mendel) eyang cuma jatuh ke Anting. Padahal, ada sekian puluh cucu perempuam eyang, termasuk aku (Dini). Anting paling beruntung. Om Didit (papa Anting) pengusaha restoran yang sukses. Di Jakarta saja punya lima belas cabang, padahal yang dijual hanya bakso dan ayam goreng khas Malang. Mama bisa lebih enak membuat masakan itu, tapi tidak pernah sukses memperdagangkannya.
Dibanding Om Didit, ekonomi keluarga kami kalah jauh. Mama dan Papa, lulusan IKIP Malang, hanya guru SMA. Bisa dibayangkan, sejak kecil, aku dan Mbak Anting seperti bumi dan langit. Sekalipun, sebisa-bisanya kala lebaran mama memberiku baju yang lebih bagus dari yang lainnya, agar aku tidak terlampau merasa kalah dengan Anting.
Tapi, papa selalu memprotes sikap mama. "Kamu tidak mendidiknya dengan baik. Seharusnya Dini sejak kecil diajari memahami realitas hidup ini. Aku bukan pebisnis. Gajimu dan gajiku tidak akan sama dengan pendapatan Om Didit."
Sejak remaja aku tidak suka mendengarkan itu. Seolah-olah aku betul-betul miskin, dan tidak akan pernah sejajar dengan Anting. Apalagi, pada waktu remaja Anting sudah bermain sinetron. Saat itu aku sudah tidak suka menceritakan pada teman-teman sekelasku bahwa dia sepupuku. Pastinya mereka tidak akan pernah percaya, bagaimana mungkin aku bisa bersaudara dengan Anting yang cantik dan anak orang kaya itu.
Semua orang tahu kami tinggal di perumahan BTN. Kedua orang tuaku hanya punya sepeda motor. Aku dan adikku, Dina, memang pernah membicarakan hal itu dan kukatakan padanya, "Jangan bilang sama orang, kalau Anting itu kakak sepupumu. Mereka tidak bakal percaya." "Mbak, teman-temanku percaya kok. Malah mereka bilang, sampeyan dan Anting itu mirip. Cuma saja baju sampeyan bukan baju bermerek." Aku benci mendengarkan itu. Sejak remaja aku sudah bertekad untuk tidak akan pernah kalah dengan Anting, yang semakin kelihatan naik daun.
Aku kini menjadi wartawan sebuah harian nasional. Suatu kali redaksi daerah memanggilku. "Dini, coba liput Anting, dia kan saudara sepupumu. Kamu akan berkerja sama dengan seorang wartawati senior dari Jakarta. Liputannya untuk halaman tokoh. Akan dimuat dua minggu lagi. Menurut kabar, dia akan menjadi artis terbaik tingkat ASEAN."
Aku menganggukkan kepala. Sesungguhnya aku tidak suka tugas itu! Tulisanku akan menjadikannya lebih populer. Aku, secara individu maupun secara lembaga, akan ikut membesarkanya. Aku benci memikirkan itu. Kala remaja aku adalah bayang-bayangnya. Aku tidak ingin mendorongnya menjadi orang besar dengan tulisanku di koran tersebut.
Tapi, tidak mungkin aku menolak tugas. Aku bisa disingkirkan dari media itu. Aku benci. Aku seorang sarjana teknik material. Seharusnya aku berada di perusahaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan Anting. Tapi, kehidupanku berbicara lain. Setelah hampir enam bulan menganggur, setelah tamat SI, aku cuma bisa diterima di media tersebut.
Sebetulnya, sampai hari ini, aku tidak suka bekerja di tempat seperti ini. Apalagi, harus bertemu dengan Anting, ikutan membesarkan orang yang membuat aku merasa tidak berarti apa-apa di muka keluarga besar kami, juga di muka Tom (pacarku) yang selalu dengan terkagum-kagum bilang, "Astaga, aku tidak tahu Anting, tapi luar biasa ya bakat dan cantiknya."
Tentu saja aku tidak menunjukkan perasaan tidak sukaku pada Anting di muka Tom. ketidaksukaanku itu akan membuat hasil liputanku amburadul. Padahal, aku ingin sekali ke Jakarta untuk membuktikan aku bisa menulis untuk media ini. Saat kukatakan tugasku ini pada Dina, gadis remaja itu berkata kepadaku, ''Mintakan fotonya ya, Mbak, dengan tanda tangan, biar teman sekelasku tahu kalau aku ini adiknya selebritis."
Dan, mama menambahi, "Kalau kau ketemu Anting, aku mau kirim keripik tempe untuk Om Didit dan tantemu, mangga yang masak di batang dari teman yang punya kebun mangga di Probolinggo."
Aku berlagak sibuk dan masuk ke kamar. Mengotak-atik komputer, mencoba membuat format untuk profil Anting. Menurut teman-teman, wartawati senior yang akan meliput bersamamu, orang yang cerewet. Dan aku harus berhati-hati, karena pengaruhnya besar pada atasan. Bisa jadi, aku diberhentikan dengan tidak hormat, kalau dia tidak suka, kepada pekerjaan yang aku lakukan. Bisakah dibayangkan aku sebetulnya tidak selalu ingin menjadi orang kedua sejak kecil. Aku sering mengatakan pada diriku sendiri, "Aku harus punya nilai lebih dari Anting."
Aku tidak pernah sepakat dengan omongan papa yang mengatakan bahwa, "Tidak setiap orang bisa menjadi nomor satu. Di dunia ini, pasti ada yang nomor dua dan tiga. Kita adalah aktris dan aktor yang disutradarai oleh-Nya. Setiap orang pegang peranan, hanya untuk kembali kepada-Nya."
Aku sangat marah mendengar ucapan papa. Menurutku papa seharusnya tidak pasrah seperti itu. Dia seharusnya mengambil S2, S3 dan menjadi guru besar di universitas, bukan hanya guru SMA. Waktu itu mama bercerita, "Papamu tidak mau kuliah di luar kota, karena takut membebani orang tuanya. Dia menyuruh adik-adiknya yang sekolah di luar kota. Secara ekonomi mereka tidak seberuntung aku dan saudara-saudaraku." "Toh adik papa yang kaya-kaya itu tidak memberi bantuan kepada kita sekalipun papa sudah berkorban untuk adik-adiknya."
Mama tersenyum, "Nduk, kita kan sudah cukup sekalipun tidak sekaya Pakde Didit." Yah, aku tidak tahu bagaimana seharusnya menghadapi Anting. Dia pasti akan menegakkan kepalanya di mukaku, kala berbicara seolah-olah dunia ini cuma dia yang memiliki. Tentu saja, dia tidak jelek seluruhnya. Kadang-kadang Anting memberiku sebotol parfum dari kelas bermerek. Kadang-kadang, dia menyelipkan uang kepada adikku yang membuat adikku berjingkrak-jingkrak.
Tapi, aku memang tidak begitu suka padanya. Apakah aku membencinya? Mungkin juga tidak. Kadang-kadang kalau pulang lebaran dia bercerita banyak. Tentang sinetron, atau jalan-jalannya ke luar negeri, dan aku menikmati juga ceritanya. Dia pasti tidak lupa memberi mama parfum, yang pasti tidak akan terbeli oleh kami. Jadinya, aku mungkin orang yang lagi iri hati saja. Dalam diskusi panjang dengan Tom, dia mengatakan, "Seharusnya kita mengukur baju kita sendiri."
Aku merasa omongannya tidak jelek. Tapi, aku selalu tidak mau terkurung omongan orang. Berhari-hari aku membikin profilnya dan kukirim ke wartawati senior yang akan meliput bersamaku. Wartawati itu bilang, "Saya sudah pas dengan semua pertanyaanmu, dan sudut yang kau ambil. Cuma aku harus menambah di sana-sini, tapi tidak banyak."
Pulang dari wawancara, seluruh keluargaku mendapat hadiah termasuk aku. Dia memberiku laptop yang sudah lama aku inginkan. Anting bilang, "Ini pakailah. Aku baru beli tiga bulan lalu, namun aku tidak suka warnanya. Kan kamu sekarang wartawati."
Hari minggu pagi adikku berteriak-teriak, liputan yang aku buat tentang Anting sudah ada di koran. Kemudian, wartawati senior dari Jakarta meneleponku, "Ini pekerjaan yang bagus. Saya merekomodasi kamu untuk bekerja di pusat saja."
Setelah itu, aku membaca lagi jawaban atas surat lamaranku yang datang kemarin. Aku diterima bekerja di sebuah perusahaan baja di Jakarta. Aku sudah menata kopor untuk keberangkatanku besok Senin. Dan, aku juga sudah menulis e-mail kepada Tom, pacarku, yang sedang meliput gempa bumi di Sumbawa.***
Cerpen Iggoy el Fitra
TIADA
yang tahu bagaimana perempuan itu dapat bertelur seperti unggas. Semua bermula dari kedatangannya yang tiba-tiba di sebuah pulau di tengah keheningan Laut Cina Selatan. Entah di mana pulau itu berada, tak setitik pun ia tampak di peta. Lebih jauh dari Kepulauan Paracel, lebih jauh lagi dari Kepulauan Filipina. Pesawat kargo yang terbang rendah menjatuhkannya di tengah lembah bersama sekotak peti yang telah mengurungnya sejak berangkat dari landasan udara di pesisir selatan Borneo. Dari pelabuhan Tanjung Perak, dia digiring bersama beberapa perempuan sebayanya menaiki kapal yang akan memberangkatkan mereka ke Telawang.
Dia tidak tahu bagaimana bisa dipisahkan dari rombongan ketika sampai di pelabuhan. Tentara-tentara Jepang berkali-kali menodong-nodongkan senjata ke wajahnya yang dekil. Di atas kapal, di sebuah kabin, dia diperkosa dengan kasar oleh seorang kuli angkut atas suruhan para tentara itu. Setelah tak berdaya, para tentara beramai-ramai meludahinya, lalu pukulan gagang senjata sekejap membuatnya pingsan.
Dan di lembah ini, dia langsung terbangun setelah seluruh tubuhnya terhempas dengan keras sekali. Peti kayu itu pecah, tetapi tubuhnya tidak apa-apa. Hanya kepalanya yang sedikit pusing. Dia tak menyadari bahwa tiada sehelai benang pun membalut tubuhnya. Sambil merangkak dia menghampiri sebuah air yang terpancur dari balik batu. Dia meminumnya dengan tergesa-gesa.
Barangkali dia terkena amnesia. Atau hanya demensia belaka. Berulang-ulang dia usap belakang kepalanya sambil meringis sakit, kemudian menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah dia baru terjaga dari tidur yang panjang. Dia mulai berjalan menyusuri semak belukar. Ada tebing menuju puncak lembah. Tidak begitu curam, mungkin dapat didaki. Dia mencoba memanjatnya hati-hati.
Telah seharian dia menyusuri hutan, namun pulau ini seperti tiada bertepi. Dia mulai mendekap dadanya. Dingin. Rimbun ilalang juga membuat kulitnya gatal-gatal. Dia menggaruknya sampai memerah dan berdarah. Semak-semak di depannya terlihat semakin sedikit, tanah yang dipijaknya mulai berubah menjadi pasir. Apakah dia telah sampai di sebuah pantai?
"Aku kedinginan dan lapar," gumamnya.
Dia dapat bicara meski sepatah kalimat saja. Sebuah pohon yang dapat dia jangkau buahnya menghentikan langkahnya. Buah itu hanya sebesar kepal, maka dia memakan banyak sekali. Perutnya langsung sakit. Dia buang air besar di atas pasir.
Ternyata di depannya bukanlah pantai, melainkan sebuah gurun yang tak dapat dilihat batasnya. Walaupun begitu, dia menyusurinya tanpa ragu-ragu. Berhari-hari sudah, berlama-lama dia berjalan menyusuri gurun pasir itu. Dia terlalu lelah. Perutnya telah membesar. Bukan karena terlalu banyak makan, tapi mungkin benih-benih orang-orang yang menyetubuhinya telah tumbuh.
Dahaga yang begitu hebat dirasakannya tertuntaskan oleh sebuah oase yang muncul sedikit demi sedikit dari balik gurun. Dia bukan nabi, bukan pula istri seseorang yang sangat mulia, tetapi kolam jernih itu begitu saja ada di depannya seakan-akan memang hanya diciptakan untuknya. Adapun dia hanya pelacur yang belum puas dengan hidupnya sendiri.
Dari orang-orang di desanya, dia mendengar pengumuman bahwa para gadis muda akan dipilih untuk dipekerjakan di Borneo. Sudah lebih dari dua tahun pengiriman itu berulang. Dia tak masuk dalam pilihan, sebab meskipun masih muda, tetapi dia sudah memiliki anak, lagipula kulit hitam dan wajahnya yang burik tidak membuat para agen tertarik. Namun dia bersikeras meyakinkan kepada orang-orang itu kalau dia bersedia bekerja apa saja. Dia berharap dipekerjakan menjadi pelacur, sebab sebelumnya dia telah melacur diam-diam di desanya. Seorang teman pernah melarang. Tapi dia sangat ingin melayani orang-orang Jepang yang banyak uang.
***
PERANG
masih berlangsung. Tentara Belanda memang makin jarang terlihat di Tanah Jawa, tetapi tentara Jepang sepertinya mengambil posisi mereka. Pada 11 Januari 1942, mereka kali pertama mendarat di Indonesia dengan menyerang pasukan Belanda di Tarakan. Dini hari itu terjadi pertempuran besar. Ladang-ladang minyak terbakar. Borneo telah penuh dengan tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, ketika perempuan itu dimasukkan ke dalam peti, pesawat yang membawanya hampir saja ditembus rudal dari pesawat tempur Australia. Dia telah menyingkir dari Perang Pasifik yang hampir berakhir.
Ditenggelamkannya kepalanya di dalam kolam. Sambil menyelam, dia meminum airnya. Langit bergemuruh sekali-sekali. Hari tidak mendung, melainkan sangat terik. Agaknya dia benar-benar lupa dengan pesawat-pesawat tempur yang berdesing-desing di atasnya. Dia memang mengalami amnesia.
"Di mana ini? Perutku sakit, siapa yang akan membantuku bersalin?" dia berucap menengadah langit.
Tiba-tiba dia mengerang. Kakinya mengangkang dengan tidur terlentang. Dia mengejan, dia berusaha mengejan sekuat-kuatnya. Sebuah cangkang muncul di liangnya, mulai membesar serupa kepala bayi yang biasa keluar lebih dulu. Perempuan itu berusaha mengeluarkannya.
Dia berusaha kuat mengejan mengeluarkannya. Mungkin saja liangnya sobek, sebab cangkang bulat sebesar kepala orang dewasa itu terlalu besar untuk dikeluarkan seorang perempuan. Napasnya terengah-engah, situasi sulit itu lewat sudah. Tanpa ketuban yang pecah, juga tanpa tali pusar dan plasenta, telur itu tergeletak di atas pasir begitu saja.
Mulanya dia heran dan takut. Tapi dia segera sadar bahwa di dalam telur itu ada buah hatinya yang harus dierami dan dijaga. Diseretnya telur itu ke dalam kolam, dimandikannya. Lalu dia mengambil pelepah-pelepah pohon palem satu-satunya yang menjulang di dekat kolam itu. Dia menjadikannya sebuah tas, tempat telur yang akan dibawanya berkelana.
Telur itu berat sekali.
Dia berjalan lurus, tapi gurun pasir ini sungguh-sungguh luas seperti tak berbatas. Seharian sudah dia berjalan. Dia kembali menemui keajaiban. Di depannya terbentang sungai yang mengaliri gurun. Dan di sanalah, dia mengerami telurnya semalaman. Perutnya kembali sakit, dia kembali mengerang. Dia akan bertelur sekali lagi. Kali ini tampaknya dia tidak lagi kesulitan untuk bertelur lantaran pengalaman yang sebelumnya. Akan tetapi pada saat dia mengejan, berkelebat ingatan-ingatan di kepalanya.
"Abang boleh nyobain saya dulu, deh. Kata orang, dicoba dulu baru dibeli. Iya, kan?" dia berkata kepada seorang agen di sebuah barak.
Lelaki brewok itu terlipat keningnya. Gairahnya tidak ada sama sekali. Namun sebelum ia beranjak pergi dan mengusirnya, perempuan berkulit hitam itu segera menanggalkan baju lalu menggoda si agen. Dengan keadaan demikian, tentu saja si agen tak dapat mengelak. Mereka bercinta di dalam barak, dengan harapan agar perempuan itu bisa ikut dengannya ke Borneo.
Telurnya terguling-guling sebentar.
Dia kelelahan bukan karena bertelur, tapi bayangan-bayangan di kepalanya telah membuatnya pusing. Telur barunya dia dekap, dia cium-ciumi. Telurnya yang satu lagi bergoyang-goyang. Sebuah kaki tiba-tiba menembus cangkang, sementara dia segera membantu telur itu menetas. Cangkangnya tidak lagi mengeras. Dia tak butuh menunggu 30 hari untuk kelahiran anaknya. Cukup semalaman. Tak ada tangisan. Tak ada keramaian seperti orang-orang desa yang bersama-sama menyambut kelahiran anak pertamanya yang lahir tanpa bapak. Hanya senyap, seiring bayang-bayang yang mengganggunya itu lenyap.
Tak lama dia langsung menyusui anaknya. Dia hanya tertawa-tawa sambil mengusap rambut anaknya yang tebal. Ah, barangkali bukan saja amnesia yang mengganggunya, tetapi juga skizofrenia.
***
MAKA
begitulah, perempuan itu bertelur setiap hari dalam perjalanannya. Di pulau itu tak seorang manusia pun dia temui. Tampaknya memang pulau yang tidak berpenghuni. Anak-anaknya satu persatu telah menetas. Tiada yang tahu bagaimana dia dapat bertelur seperti unggas.
Perang telah berakhir. Tak ada lagi pesawat-pesawat lewat di langit yang dia tatap. Dia tidak tahu ada kemenangan, dia tidak tahu ada kemerdekaan. Tetapi baginya, kesempatan untuk bertahan hidup adalah kemenangan yang mutlak. Di pulau itu hanya dialah orang dewasa selain anak-anaknya yang mulai dapat berjalan dan menangkap ular-ular di balik rerumputan.
Dia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana mencari makan, mengolah daging-daging hewan agar enak dimakan. Sisa-sisa ingatan masih ada di kepalanya, tentang hidup yang pernah dijalaninya bersama orang-orang. Mereka memasak dengan membakar api di dalam tungku, dia ingat hal itu selalu. Tetapi tak ada yang dikenalnya, tak ada satu pun orang yang dia ingat siapa mereka.
Dalam kehidupannya yang baru itu, dia telah menelurkan lima belas anak, tujuh perempuan, delapan laki-laki. Anak yang menetas terakhir bernasib malang, tubuhnya dikoyak-koyak anjing hutan. Jadi semua anaknya berjumlah empat belas. Dengan begitu, dia mengawinkan anaknya berpasang-pasangan.
Pada hidup yang terus berjalan, telur-telur bergeletakan di atas pasir, di tepi sungai, di dalam lembah, bahkan di puncak bukit yang paling tinggi. Mereka telah berkembang biak, telah beranak pinak, bertelur serupa induknya.
Semakin renta, perempuan tua itu semakin sering bertekur di sebuah lembah, tempat di mana dia dijatuhkan, dipisahkan dari dunia yang penuh dengan ledakan, rentetan peluru, dan darah. Tapi dunianya yang baru ini tiada memberikannya kebahagiaan. Telah bertahun-tahun kepalanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan, "Siapakah aku, di manakah diriku berada, apa tujuanku di sini?"
Betapa dia sangat kesepian di pulau ini. Tak ada lagi seorang pun yang dapat diajaknya bercanda, bersenda gurau, dan saling menyayangi.
Anak-anaknya hidup damai di segala penjuru pulau. Perempuan hitam itu telah menjadi nenek bagi cucu-cucunya. Dan di pulau ini, mereka membuat peradaban baru yang ganjil. Membuat rumah, membuat kampung, dan menyebarkan bahasa yang mereka yakini. Tentu saja, mereka jauh lebih cerdas ketimbang Homo Sapiens. Akan tetapi, amnesia yang dibawa induk mereka dahulu telah menjadi sesuatu yang diidap turun-temurun. Mereka hidup berkeluarga, dipisah-pisahkan oleh rumah-rumah, namun seorang ayah dapat masuk begitu saja ke rumah tetangga sebelah. Yang datang tidak tahu bahwa yang dimasuki bukanlah rumahnya, dan yang punya rumah pun tidak tahu siapa yang tiba. Lantas penghuni rumah tiba-tiba saja memanggil laki-laki itu sebagai bapak mereka, dan laki-laki itu seakan-akan sadar kalau rumah itu adalah rumahnya.
Oleh karena itulah, perempuan tua yang memunculkan kehidupan baru di pulau ini sering menjadi sedih. Tak ada satu pun dari anak-anaknya itu yang dia ingat, dan anak-anaknya pun tak mengingat siapa dia. Maka makin seringlah dia menyendiri. Barangkali dia terlalu tua, batinnya.
Dia menatap langit. Ah, andai pesawat-pesawat itu kembali berlalu di atas, dia hendak bertanya. Sudah berpuluh-puluh tahun tak ada suara gemuruh mesin di angkasa. Dia makin nelangsa. Tetapi sekejap saja dia berharap, deru-deru yang dirindukannya terdengar dari balik awan. Pesawat-pesawat jet berlewatan.
Mereka saling menembak. Suara-suara bersipekak, udara meledak-ledak, dia menutup telinganya. Setelah ledakan besar, sesuatu terjatuh di lembah itu. Seorang pilot dengan kursi lontarnya jatuh tanpa parasut. Melihat pilot itu tampak kesulitan membuka sabuk pengaman, perempuan itu tertatih-tatih pergi menghampirinya. Dikeluarkannya belati untuk memotong tali.
Dia mengusap wajah pilot itu yang pucat ketakutan.
"Telah lama aku menunggu seorang laki-laki tanpa istri. Aku ingin bertelur lagi," ucapnya sekonyong-konyong.
Perempuan itu tertawa sambil menutup giginya yang ompong
.***
Ilalangsenja, Padang, 2 November 2007
Komentar
Posting Komentar